Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengikuti jejak serigala

David yallop menulis buku tentang terorisme "tracking the jackal". ia menelusuri jejak ilich ramirez sanchez, teroris paling dicari di dunia. terlibat pembunuhan atlet israel dan sejumlah pembantaian

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

David Yallop, penulis buku In God's Name tentang meninggalnya Paus Yohanes Paulus I, menelusuri jejak Ilich Ramirez Sanchez alias Carlos, teroris yang paling dicari di dunia. Carlos terlibat pembunuhan atlet Israel di Munich, penyerbuan markas besar OPEC di Wina, penyerangan pesawat Israel El Al, dan banyak lagi. Hasilnya adalah buku Tracking the Jackal, yang dikerjakan sejak 1983 dan selesai Februari 1993. Tulisan ini diangkat dari buku yang disusun Yallop tersebut -- yang kadang bercerita dengan gaya aku -- dan ditambah hasil risetnya yang kuat. ILICH Ramirez Sanchez lahir di Venezuela tanggal 12 Oktober 1949. Ia lahir dalam keluarga yang disebutnya "borjuis kecil". Ayah Ilich, Jose Altagracia Ramirez Navas, pada waktu Ilich lahir adalah seorang pengacara yang berhasil. Ilich mulai terlibat gerakan revolusi ketika Presiden Romulo Betancourt berkuasa di Venezuela. Betancourt ingin sistem multipartai tapi hanya menerima dengan baik kelompok politikus yang punya pandangan sama, kelompok pengusaha elite, militer, dan gereja. Yang tidak disenangi Betancourt adalah pelajar, Partai Komunis Venezuela, dan massa yang tidak terorganisasi. Di sekolahnya, sebuah sekolah milik negara, bibit revolusioner Ilich mulai tumbuh. "Pengalaman pertamaku di Venezuela, aku ikut dalam konfrontasi antara pelajar dan polisi. Aku ikut dalam banyak demonstrasi. Kenyataannya aku adalah salah satu pemimpin," katanya. Tahun 1966, Ilich dan adiknya, Lenin, lulus ujian sekolah menengah dan memenuhi syarat masuk Universitas Caracas. Tapi ayahnya ingin agar ia pergi sejauh mungkin dari para pemberontak di Venezuela. Ayahnya memutuskan untuk mengirim keluarganya ke London. Soalnya, waktu itu Ilich adalah Ketua Pemuda Komunis yang punya anggota lebih dari 200 pelajar. Carlos -- begitulah nama populer Ilich Ramirez Sanchez yang diambilkan dari salah satu nama samarannya -- terbang ke London dengan ibu dan saudaranya pada Agustus 1966. Ketika ia menceritakan kisahnya itu, aku segera bertanya mengapa tidak membicarakan perjalanannya ke Kuba. Selama bertahun-tahun, televisi, surat kabar, artikel, dan sejumlah buku memperhitungkan bahwa pada tahun 1966 Partai Komunis Venezuela mengirimkan anggotanya ke Havana untuk latihan khusus. "Kau percaya semuanya?" ia balik bertanya. "Apakah kau mengatakan bahwa semua latihan di Kuba adalah salah? Bahwa itu disinfromasi?" "Aku mengatakan bahwa itu omong kosong. Januari 1966 aku sedang di sekolah, belajar dengan serius. Ujian akhir untuk masuk universitas hanya tinggal beberapa bulan." "Dan kunjungan rutin ke Kuba untuk latihan?" "Aku sudah mengatakan. Aku tidak pernah ke Kuba, tidak pernah." Sebelum berangkat ke London, Ilich dan Lenin sempat ikut ujian masuk ke Universitas Patrice Lumumba di Moskow dan mengajukan permohonan beasiswa. Beruntung ayahnya masih menjalin hubungan yang baik dengan dua pendiri Partai Komunis Venezuela (VCP), Gustavo dan Eduardo Machado. VCP kemudian setuju mensponsori beasiswa kedua anaknya ke Universitas Patrice Lumumba. Ilich dan Lenin segera meninggalkan pelajaran level A di London dan belajar bahasa Rusia. Ilich bercerita, pendidikan di Universitas Patrice Lumumba sangat disiplin dengan ujian-ujian yang teratur. Komite pelajar menjatuhkan hukuman berat untuk perkelahian dan mabuk-mabukan. Pemimpinnya, Profesor Vladimir Stanis, tidak melihat fungsi universitas untuk menghasilkan orang yang punya komitmen terhadap komunis walau "akan baik kalau mereka jadi komunis". Namun, tentu saja, KGB ada di univeristas. Semua ketua jurusan adalah anggota KGB. Mahasiswa asing harus tinggal di kampus, tiga orang dalam satu ruangan, dan mahasiswa yang ketiga adalah orang Rusia. Pada saat kedatangan, tiap mahasiswa asing dinilai secara terpisah oleh anggota KGB, dan mereka yang dipertimbangkan "potensial" segera diaktifkan. Sisanya dimonitor, biasanya oleh orang ketiga dalam ruangan. Ke dunia seperti itulah, tahun 1968, datang Ramirez bersaudara -- bukan dari Negara Ketiga yang miskin dan terbelakang, tapi dari London. Tidak seperti teman-teman mereka, Ilich dan Lenin tidak punya pengalaman tentang kamp pengungsi di Timur Tengah. Mereka juga tidak pernah tahu kelaparan dan perampasan kemerdekaan seperti yang dialami teman-teman mereka dari Afrika, dan mereka juga tidak punya pengalaman tentang hidup di bawah penguasa totaliter seperti yang sangat diketahui oleh teman-teman baru dari negara Pakta Warsawa. "Aku berusia 19 tahun ketika pergi ke Rusia. Moskow penuh wanita muda yang cantik, dan semuanya mencari kesenangan. Kau pikir apa responsku? Diberi pilihan apakah diskusi dengan orang partai Venezuela mengenai aksi gerilya atau kesempatan yang baik dengan musik, wanita, dan botol vodka. Diskusi politik menjadi paling bawah dalam prioritasku." Jelas sekali bahwa Ilich dan Lenin menikmati kehidupan di Moskow. Bebas dari keluarga, mereka seperti anak-anak yang dilepas di pabrik permen. Mereka belajar dengan keras tapi juga bermain dengan keras. Ketika VCP mengirimkan instruksi bahwa tidak ada mahasiswa yang disponsori VCP yang berteman dengan orang Kuba, Meksiko, Kolombia, atau Panama, Ramirez bersaudara dan beberapa teman dari negara mereka menjalin persahabatan dengan orang dari negara itu. Ketika VCP menyatakan mereka harus menyuarakan perubahan politik dengan cara damai melalui kotak pemilihan umum lokal, mahasiswa terpecah. Sebagian memilih kanan dan ingin demokrasi mulai dari dalam kelompok yang lain memilih kiri dan mendukung gerilyawan Venezuela, Douglas Bravo, yang menolak perubahan dengan cara damai dan tetap menentang pemerintah dari kamp-kamp di pegunungan. Secara rahasia, Ilich mulai mengorganisasikan sel-sel pro Bravo. Bulan Maret 1969, otoritas universitas menahan 200 mahasiswa karena terlibat demonstrasi dan kerusuhan di luar kedutaan asing. Di antara mereka adalah Ilich dengan tuduhan tindakan kekerasan. Perusakan milik pribadi. "Lemparanku meleset dari kedutaan. Botol tinta langsung menuju jendela rumah pribadi." Awalnya, paspor dari sekitar 30 mahasiswa Iran tidak diperbarui oleh kedutaan mereka. Beberapa yang masih memiliki paspor lama ditahan. Kewarganegaraan mereka dicabut oleh pemerintah Iran, dan mereka ditelantarkan di Moskow. Demonstrasi direncanakan dan diorganisasikan pada pertemuan darurat, dan lebih dari 200 mahasiwa bentrok dengan polisi Rusia dan KGB di luar kedutaan besar Iran. Pada tahun pertama pendidikan, Ilich dan Lenin berhasil menyelesaikan pelajaran persiapan umum dan mulai masuk kuliah. Namun, keduanya merasa perlu istirahat. Ilich dan Lenin pergi ke Amsterdam, dan selama di sana mereka mencari hiburan dan mabuk-mabukan, tidak seperti turis lain yang biasanya mengunjungi museum lukisan Van Gogh atau Rijksmuseum atau kanal-kanal. Kembali ke Moskow, Ilich makin aktif berkonfrontasi dengan VCP maupun dengan tutornya. Pada musim semi ia diberi tahu bahwa ia mendapat celaan dari VCP di Moskow yang menginformasikan pada Caracas bahwa mereka mempunyai persoalan dengannya. Menghadapi semua kesulitan itu, Ilich meneruskan pertemuan dengan sel Venezuelanya. Mereka merencanakan formula rahasia pada liburan musim panas untuk latihan perang gerilya di Timur Tengah. Setelah menyelesaikan sekolah, mereka akan kembali ke Venezuela dan bergabung dengan Douglas Bravo dan gerilyawan lain. Mereka akan meniru Che Guevara dan membawa revolusi menjadi kemenangan yang tidak bisa dihindarkan. Itu rencana yang baik, khususnya setelah botol vodka ketiga. Ilich, sebagai orang yang mengarahkan gagasan dan juga karena menguasai beberapa bahasa, dipilih menjadi orang pertama dan menyiapkan jalan untuk yang lainnya. "Banyak yang menulis bahwa kau mendapat latihan di Uni Soviet." "Lebih banyak fantasi." "Siapa nama orang Popular Front Liberation of Palestine (PFLP) di Moskow?" "Aku tidak ingat. Dia hanya seorang mahasiswa." "Apakah dia Momammed Boudia." Ia memandangku dengan heran. "Aku tidak pernah bertemu Mohammed Boudia, tidak di Moskow atau Paris. Ia dibunuh oleh Mossad sebelum operasi di Paris." "Ya, aku tahu itu. Dinyatakan bahwa Boudia merekrutmu di Moskow." Carlos berbicara perlahan, seperti dengan anak kecil. "Tidak ada yang merekrutku di Moskow. Aku mengambil surat perkenalan dari seorang anggota PFLP kepada Ghassan Kanafani di kantor mereka di Beirut. Surat itu berisi rencana kelompok kami untuk berlatih dan bergabung dengan gerilyawan Douglas Bravo. Boudia tidak ada hubungannya." LATIHAN DI YORDANIA Ketika Ilich terbang ke Beirut awal tahun 1970, ia terbang ke kancah yang disebut "persoalan Timur Tengah". Itu persoalan yang telah mengakibatkan matinya ratusan ribu orang, sebuah persoalan dengan bertumpuk-tumpuk "pemecahan", yang bervariasi sesuai dengan pihak yang tertarik. Persoalannya adalah "negara seseorang adalah tanah air orang lain". Namanya Israel dan Palestina. Orang Arab di Palestina menolak pendirian negara Yahudi di bagian Palestina karena mereka mempertimbangkannya sebagai sesuatu yang ilegal dan karena banyak dari manifestasi Zionis menunjukkan adanya tujuan untuk menciptakan "Israel Raya" yang akan memasukkan bagian besar dari dunia Arab, "dari Nil sampai ke Efrat". Orang Yahudi di Israel menolak negara Palestina di bagian Israel karena banyak orang Palestina ingin agar seluruh negara harus di bawah kontrol Arab. Paradoks ada di mana-mana. Yasser Arafat selamat dari 55 percobaan pembunuhan. Banyak kalau tidak disebut sebagian besar dari usaha pembunuhan itu dilakukan oleh orang Arab yang mempertimbangkan Arafat sebagai tokoh moderat yang berbahaya dan organisasinya sebagai pengkhianat Palestina. Ketika pemerintah Israel dipimpin oleh Menachem Begin sebagai perdana menteri, mereka mengatakan PLO sebagai "sindikat para pembunuh". Yitzhak Shamir menggambarkan Arafat sebagai orang dengan "kebencian yang tidak berdasar di hatinya", yang mencoba menyelesaikan pekerjaan yang dahulu dimulai Adolf Hitler. Dalam kesempatan yang tidak terhitung, Begin dan Shamir tak mau berbicara dengan PLO dengan alasan bahwa itu adalah organisasi teroris. "Ceritakan padaku tentang latihan yang diberikan padamu di kamp." "Di kamp pertama aku bergabung dengan kelompok campuran bangsa-bangsa dan juga orang Arab. Setelah sekitar sepuluh hari, kamp ditutup. Yordania semakin panas. Kami diberi beberapa latihan persiapan dengan senjata kecil, tetapi aku ingin benar-benar terlatih. Aku tidak pergi jauh dari Moskow hanya untuk menembakkan Kalashnikov, mengumpulkan kafiyeh, dan mengejar pesawat untuk pulang. Misiku adalah mendapat latihan profesional dan menemukan kenyataan dari revolusi Palestina. Aku ingin belajar tentang berbagai organisasi dan kemudian memutuskan apakah kelompokku di Patrice Lumumba bisa bergabung denganku," cerita Ilich. Dalam satu tahun PFLP sudah memiliki lebih dari 3.000 anggota aktif dan ratusan ribu orang Palestina yang bersimpati dengan ideologi Marxis-Lenin. Bagi George Habash, Yasser Arafat adalah borjuis gemuk yang mengambil uang dari negara-negara Arab yang bau busuk minyak Amerika. Sementara Dr. George Habash adalah pemimpin PFLP yang memberikan pemikiran intelektual pada PFLP, Dr. Wadi Haddad melaksanakan aksi yang digunakan sebagai panggung bagi Habash. Bagi Wadi Haddad, perjuangan jelas bersifat seluruh dunia -- pembajakan udara, penyerangan bandara, peledakan bom di ibu kota negara-negara Eropa. Jika seseorang atau suatu benda mempunyai hubungan dengan Israel, itu jelas merupakan sasaran. Mossad sudah melakukan beberapa usaha untuk membunuh Habash dan Haddad. Tanggal 11 Juli 1970, Haddad sedang bertemu dengan Leila Khaled, anggota penting dari komando gerilya. Istri Haddad, Samia, dan anaknya yang berusia delapan tahun, Hani, tidur di kamar sebelah. Pukul 2.14 subuh, enam roket Katyusha buatan Soviet ditembakkan secara otomatis dari sebuah ruangan di seberang Muhiedden Elchayat Street. Lantai tiga flat Haddad hancur. Sangat menakjubkan bahwa tidak ada yang terbunuh, Haddad dan Khaled luka kecil. Istri Haddad dan anaknya yang terluka dan terbakar segera dibawa ke rumah sakit. Tetapi rencana yang dibicarakan Wadi Haddad bersama Leila Khaled di Beirut, yang terganggu oleh usaha Israel untuk membunuh Haddad, telah mencapai hasilnya. Terjadi serangan bersama pembajak udara, yang belum pernah terjadi dalam sejarah penerbangan sipil. Maskapai penerbangan menjadi lebih berbahaya dibandingkan dengan semua tempat di dunia. Waktu itu tanggal 6 September 1970. Pukul 11.50, Boeing 7070 TWA, yang membawa 145 penumpang dan 10 awak dari Frankfurt ke New York, dibajak di atas Belgia dan dipaksa terbang ke Timur Tengah, dan mendarat darurat di padang pasir yang disebut Dawson Field. Lapangan terbang sepenuhnya di bawah kontrol PFLP. Pukul 1.14, DC-8 Swissair terbang dari Zurich ke New York dengan 143 penumpang dan 12 awak dibajak di atas Prancis tengah. Pilot yang terbang di bawah todongan senjata mengubah perjalanan dan mendarat di Dawson Field. Pukul 1.50. Dua pembajak mencoba menguasai Boeing 707 El Al dari Tel Aviv ke New York lewat Amsterdam. Pembajak gagal karena tim yang dikirim Haddad hanya berfungsi setengah. Mestinya lima orang berada dalam pesawat. Tetapi desakan tiga penumpang yang mengaku orang Senegal agar tempat duduk kelas satu mereka dekat dengan kabin pilot menimbulkan kecurigaan petugas El Al di Bandara Schipol. Tiket mereka dikembalikan dan mereka disarankan mencari maskapai penerbangan lain. Mereka tidak berhasil menghubungi dua anggota tim lain, Leila Khaled dan Patrick Arguello, di ruang tunggu penumpang seperti yang diinstruksikan Haddad. Ketika pesawat terbang itu di atas pantai Inggris, keduanya bangkit dari kursi. Arguello tertembak, granat yang dia lempar tidak meledak, dan Leila Khaled sudah disergap. Pukul 4.00. Tiga anggota tim Khaled yang ditolak El Al mengikuti anjuran untuk mencari penerbangan lain. Jumbo 747 Pan American yang terbang dari Amsterdam ke New York dibajak. Mereka mendesak pilot terbang ke Beirut. Hari berikut pembajak membawa pesawat serta 158 penumpang dan 18 awak ke Kairo. Tiga menit setelah itu mereka menyuruh penumpang dan awak keluar dari pesawat, pembajak juga melompat ketika bom pertama yang sudah disetel meledak. Semua aksi dinyatakan untuk mencegah inisiatif perundingan damai dengan Israel. Carlos mengingat dengan baik periode ini. "Awal September kamp ditutup. Semua pejuang yang berpengalaman, orang-orang terbaik, dibutuhkan untuk perang. Aku tinggal bersama dengan anak-anak muda, dengan orang-orang yang terluka. Aku marah. Aku tidak mengetahui pembajakan yang direncanakan Wadi Haddad, tetapi semua orang di kamp tahu bahwa hanya tinggal soal waktu sebelum terjadi perang skala penuh di Yordania. Aku masih dalam tahap awal latihan, tetapi aku merasakan cara terbaik untuk berlatih adalah dengan bertarung." "Pertengahan Januari, saudaraku Lenin mengirim surat kepadaku lewat editor Al Hadaf di Damaskus. Surat itu dikirim ke kamp. Ayahku punya rencana mengunjungi keluarga di London. Ia tetap percaya bahwa aku keliling Eropa. Keluarga ingin agar aku kembali ke London sebelum Ayah mulai bertanya. Aku menyampaikan masalah itu ke George Habash dan ia setuju aku harus pergi. Untuk mengurangi risiko, ia mengatur aku agar mendapat kartu PLO. Soalnya, setiap pejuang PFLP yang ditangkap oleh pemerintah Yordania segera dieksekusi. Aku pergi ke Beirut pada akhir Januari dan terbang ke Amsterdam. Di London aku mendapat kabar bahwa kelompokku di Moskow sudah dibasmi, tetapi kemudian aku punya komitmen terhadap Palestina. Perjuangan mereka menjadi perjuanganku juga. Aku bukan lagi orang yang hanya punya keyakinan abstrak tentang nilai-nilai revolusi internasional. Aku sudah menemukan takdirku. BERGABUNG DENGAN WADI HADDAD Keluarga Ramirez kembali ke London. Ilich mengatakan pada ayahnya bahwa ia memutuskan tidak melanjutkan pendidikan ilmu- ilmu eksakta seperti ketika di Moskow. Ilich mendaftar di London School of Economics untuk bidang ekomoni internasional. Waktu itu ia sudah menemukan takdirnya, tapi saat itu ia lebih ingin memenuhi keinginan ayahnya. Segera setelah Jose kembali ke Venezuela, Ilich kembali dipenuhi peristiwa di Timur Tengah. Menghadiri pesta di kedutaan Venezuela dengan ibunya dan menikmati sirkuit diplomatik di London yang sangat menyenangkan. Tetapi laki-laki berusia 21 tahun itu sekarang sudah tahu bahwa ada yang lebih dari apa yang ia sebut dengan obrolan kosong di pesta cocktail dari masyrakat Amerika Latin di London barat. Setelah ayahnya kembali ke Caracas, Ilich kembali mempersiapkan penerbangan. Bulan Juli, ia terbang ke Beirut lewat Paris. Di Beirut, ia bertemu juga dengan George Habash, yang kemudian memperkenalkannya dengan Wadi Haddad. Haddad tertarik pada anak muda Venezuela itu. Selain punya komitmen, ia juga anggota terlatih dari PFLP. Sebagai orang non-Arab, Ilich akan lebih mudah melewati pemeriksaan di Eropa dan tinggal di Paris atau London tanpa menimbulkan kecurigaan. "Aku sadar bahwa Front menghadapi masalah keuangan yang besar. Haddad membahas persoalan itu denganku. Kemudian ia mengusulkan pemecahan. Dalam minggu pertama September aku kembali ke London dan mulai bekerja," kata Ilich. "Kerja apa?" "Membantu penculikan orang-orang kaya dari negara musuh. Menahan sandera untuk sejumlah besar ransum." "Orang kaya Arab atau Yahudi?" "Arab" "Apakah negara musuh didefinisikan sebagai negara yang tidak sepenuh hati mendukung Palestina?" "Tepat sekali." "Ceritakan tentang penculikan di Eropa." "Aku tidak bisa menjelaskan detail-detailnya." "Mengapa?" "Haddad memutuskan untuk bergerak ke operasi berikut. Pembunuhan duta besar Yordania, Zaid al-Rifai. Ini akan berlangsung di New York. Sebelum itu aku harus mengamati gerakan-gerakan Rifai untuk melihat polanya. Anggota lain PFLP bergabung bersamaku dan aku menyediakan rumah aman bagi mereka. Kami menundanya sambil menunggu senjata datang. Dalam kasus ini ada perkembangan yang tidak diharapkan. Sebelum kami mendapat senjata, Black September melancarkan serangan terhadap Rifai. Mereka berhasil melukainya, tapi ia selamat." "Apakah sebelumnya kamu tidak mengetahui rencana penyerangan itu?" "Sama sekali tidak. Mereka di bawah Abu Iyad. Kami di bawah Haddad." "Dari mana polisi Inggris menyadari keterlibatanmu dengan Palestina?" "Seseorang di Black September memberikan nama asli dan alamatku. Itulah yang dikatakan Unit Khusus ketika menginterogasiku." "Kau percaya itu?" "Ya, aku percaya. Beberapa waktu kemudian, kontak di intelijen Prancis mengonfirmasikannya." "Bagaimana mengenai kontak dengan agen intelijen lain?" "Salah satu alasan mengapa aku masih hidup adalah aku punya banyak kontak di banyak negara." "Aku berbicara tentang kontak khusus dengan intelijen Barat. Bisa menyebutkan negara tanpa individunya?" Ilich mengangkat bahu. "Prancis, Jerman, Italia, Amerika Serikat. Ada lagi yang lainnya." "Bagaimana dengan blok Eropa Timur?" "Jerman Timur, Yugoslavia, Hungaria, Cekoslovakia." "Uni Soviet?" "Tidak dengan bangsat itu. Semua yang penah kudengar dari mereka adalah masalah." AKSI-AKSI BERSAMA TENTARA MERAH JEPANG "Haddad mengatakan sebelum aku diterima sebagai anggota penuh kelompok Moukharbel, aku perlu membuktikan diriku sendiri kepada dia dan yang lainnya," cerita Ilich lagi. "Dan apa yang menurut Haddad harus kaulakukan?" "Membunuh Joseph Edward Sieff." Ilich mengatakan itu dengan tenang. Aku telah melihat aksi pria yang hebat ketika memesan makanan, sekarang di sini kami duduk mendiskusikan pembunuhan presiden bisnis eceran Marks and Spencer, yang menurut Carlos, Zionis terkemuka di Inggris. "Moukharbel memberikan sebuah pistol tua dan lima peluru. Ia mengatakan bahwa pihak keamanan Prancis baru saja menyerbu orang-orang Turki di Paris yang membuat mereka tidak punya senjata lain," katanya. Keluarga Sieff mempunyai sejarah yang panjang atas komitmen, tidak hanya terhadap Israel, tetapi terhadap Zionisme. Edward Sieff adalah wakil ketua Federasi Zionis Inggris Raya. Selama lebih dari beberapa dasawarsa, keluarganya menyumbang jutaan poundsterling ke Zionis. Carlos menyimpulkan disertasi yang panjang tentang keluarga Sieff melalui observasi, "Kamu harus mengerti. Aku tidak dan tidak pernah anti Semitik. Anti Zionis, ya. Anti Yahudi, tidak pernah." "Bagaimana perasaanmu selama penyerangan?" "Pikiranku terburu-buru. Aku sangat cemas. Begitu aku menghentikan mobil di luar rumah Sieff, tidak ada lagi waktu untuk perasaan, hanya tindakan. Aku bergerak sangat cepat. Semuanya hanya lebih satu menit. Setelah itu aku marah." "Marah?" Ya. Jika Moukharbel memberikan barang yang aku minta, tidak ada lagi keraguan bahwa Sieff akan meninggal. Kau tahu dia selamat?" Tiba-tiba Carlos mengeluarkan pistol dan mengarahkan padaku. "Ini Makarov. Kalau saja aku punya salah satunya pada malam itu, Sieff akan meninggal." "Ya. Dia sudah meninggal tahun 1982." Responsnya terhadap berita itu luar biasa. Untuk seorang laki- laki yang mengetahui banyak tentang Edward Sieff, menjadi tanda tanya bahwa berita kematiannya menjadi suatu kebangkitan. Ia tersenyum. Ia meletakkan pistol di atas meja dan berteriak memanggil dalam bahasa Arab. Ia bergerak ke pintu, membukanya, dan terus memanggil dengan gembira. Seorang pelayan Arab muncul dan menghilang lagi. Sekelompok laki-laki bermunculan. Carlos menceritakan berita yang kusampaikan pada teman- temannya. Pelayan muncul kembali membawa gelas dan sebotol Dom Perignon. Sekarang ruangan sudah penuh. Botol dibuka dan gelas diisi. Carlos mengajak bersulang, dan teman-temannya minum untuk entah apa yang dikatakan laki-laki itu. Tak lama kemudian Carlos mengosongkan ruangan dan duduk kembali. "Maaf, mengganggu pembicaraan kita. Aku harus membagi berita baik itu kepada teman-temanku. Kau tahu aku merencanakan serangan lain terhadap Sieff, bulan Januari 1974. Waktu itu aku mendapat apa yang aku inginkan dari Moukharbel -- senjata yang baik. Tetapi keluarga Sieff sudah pergi ke Bermuda. Ketika mereka pulang aku sudah sibuk dengan operasi lain." "Apa yang kaulakukan?" "Sasaran berikutnya adalah bank Zionis Israel di London. Bank Hapoalim. Ini sekitar akhir Januari 1974. Aku yang mengusulkan sasaran itu. Wadi Haddad setuju. Sederhana saja, aku menaruh satu granat plastik dalam sebuah bungkusan, membuka pintu, dan melemparkannya ke arah meja kasir. Tetapi pintu mengayun kembali dan memukul lenganku, mengacaukan arah lemparanku. Bom bergulir di lantai sebelum meledak. Tidak ada yang terbunuh, tetapi sebagian bank rusak." "Bagaimana perasaanmu jika ada pegawai bank terluka atau terbunuh?" Ilich atau Carlos mengangkat bahu. "Jika seseorang bekerja di bank Zionis, itu adalah risiko yang harus ia hadapi." Setelah menunjukkan bahwa rasa bersalah tidak terlalu menonjol dalam emosinya, Carlos melanjutkan cerita. Awal Februari ia terbang ke Beirut. Michel Moukharbel bergabung dengannya dan membahas kampanye perjuangan berikut dengan Haddad. Juga bergabung dengan mereka anggota Tentara Merah Jepang (JRA). Mereka baru saja berhasil menyerang pengilangan minyak Shell Oil di Singapura. Wadi Haddad percaya bahwa paranoid Dunia Barat akan bertambah jika serangan Jepang yang meledakkan 15 tangki penyimpanan minyak dinyatakan sebagai kerja sama PFLP dengan JRA. Kenyataannya, menurut Carlos, orang-orang Jepang tidak berfungsi sebagai kesatuan tempur terpisah sejak awal tahun 1972. Sejak itu mereka di bawah kendali seksi Haddad. Semakin banyak kebangsaan yang terlibat, makin mudah bagi Haddad untuk merencanakan serangan internasional. Moukharbel telah mendapatkan sasaran berikutnya: tiga kantor surat kabar dan majalah yang pro Israel di Paris. Kali ini serangan akan diklaim oleh kelompok Paris di bawah nama baru: Komando Boudia. Sasarannya adalah majalah bulanan L'Arche, mingguan Minute, dan harian L'Aurore. Seorang Prancis yang membantu serangan itu meminta ORTF, stasiun radio dan televisi, bisa ditambahkan dalam daftar. Moukharbel setuju. Hanya beberapa hari sebelum rencana dijalankan, ada persoalan. Pada malam 26 Juli, orang Jepang lain dari kelompok Haddad tiba di Bandara Orly dari Beirut. Kesalahan pertama yang dilakukan pria yang dikenal sebagai Suzuki Furuya adalah terbang langsung dari Beirut ke Paris. Sudah bertahun-tahun, Haddad membuat peraturan tegas bahwa tidak boleh ada yang terbang langsung dari Beirut ke tujuan akhir. Siapa pun sangat terbuka untuk pemeriksaan dan pertanyaan jika datang dari Beirut. Furuya entah bodoh atau sombong atau keduanya. Orang Jepang yang terbang dari Beirut dengan hanya satu tas tangan saja sudah mengundang interogasi. Ketika membuka tas eksekutif hitam di depan petugas pabean, ia seperti membuka kantong Aladin. Nama aslinya adalah Yoshiaki Yamada. Ada paspor Amerika dengan nama Furuya, paspor Taiwan dengan nama Suzuki, dan paspor ketiga yang palsu, kali ini paspor Jepang dengan nama Furuya. Yamada juga membawa pesan yang setelah dipecahkan oleh duta besar Jepang di Paris berbunyi, "Nona Bulan Penuh Yang Kecil. Aku ingin bersamamu. Biarkan aku melihat badanmu yang indah lagi. Budak cintamu, Suzuki." Penahanan Yamada dirahasiakan beberapa hari. Pihak keamanan Prancis yakin bahwa Nona Bulan Penuh Yang Kecil adalah Mariko Yamamoto yang bekerja di sebuah toko Jepang. Ia bukan hanya seorang salesgirl, tapi juga anggota Tentara Merah Jepang, dengan fungsi utama sebagai kotak pos surat untuk anggota Tentara Merah yang ingin berhubungan dengan elemen dari seksi Paris Haddad. Sementara itu, Carlos memikirkan pembebasan Yamada. "Kami pelajari sejumlah kedutaan besar. Kami juga meneliti kediaman duta besar dan mengikuti beberapa duta besar untuk mempelajari gerakan mereka. Ini berlangsung dalam bulan Agustus. Akhirnya kami putuskan duta besar Prancis di Den Haag." Hari Jumat, Carlos dan Takamoko, pemimpin Jepang, naik mobil ke kedutaan besar Prancis di Den Haag. Mereka mengamati kedatangan Duta Besar Prancis Jacques Senard dan keberangkatannya untuk makan siang. Takamoko kemudian ke Den Haag untuk mengumpulkan timnya dan senjata. Mereka, tanpa Carlos, akan melaksanakan serangan kapan saja setelah duta besar kembali dari makan siang. Sang dubes akan ditahan dan perundingan dengan pemerintah Prancis dan Belanda bisa dimulai. Ketika regu penyerbu masuk kedutaan, Duta Besar Count Jacques Senard sedang mengadakan pertemuan dengan eksekutif perusahaan minyak Prancis, Total. Jadi, ada 11 sandera. Tiga jam kemudian mereka mengatakan pada polisi Belanda bahwa mereka ingin menukar nyawa sebelas orang dengan Yamada. Sabtu malam, kedutaan masuk dalam keadaan siaga hari kedua. Carlos memainkan peranan lain lagi dan tempatnya di Paris. "Sabtu malam aku berpikir tentang operasi kedua untuk mendukung orang-orang Jepang. Aku membutuhkan bom dan senjata untuk melaksanakan aksi kedua." "Dan kafe yang kauputuskan untuk diserang adalah Le Drugstore?" "Ya." Suara ledakan granat terdengar memekakkan telinga. Logam, potongan baja dan kaca beterbangan ke semua arah. Dua orang mati, dan lebih dari 30 orang terluka. "Setelah itu kami mengontak kantor berita, menyatakan bahwa serangan dilakukan Tentara Merah Jepang untuk memecahkan situasi di Den Haag. Moukharbel juga meninggalkan sejumlah kotak granat kosong di beberapa lokasi di Paris untuk menginformasikan pemerintah bahwa kami punya banyak senjata. Kemudian kami beri tahu mereka di mana letak kotak itu dan mengatakan, lain kali bioskop." "Dan apakah kau siap melempar granat ke bioskop yang penuh orang?" "Tentu saja. Tidak ada gunanya ancaman kosong." "Tapi bagaimana dengan orang-orang yang tidak berdosa? Orang- orang biasa yang tidak punya kekuatan maupun pengaruh?" Ia menunjukkan jarinya padaku. "Mengertilah ini, Tuan Yallop. Orang-orang biasa ini mempunyai kekuatan besar. Banyak pengaruhnya. Itu terwujud dalam apa yang disebut pendapat umum. Mereka mungkin tidak peduli mengenai Palestina. Mereka sudah pasti tidak peduli dengan sebagian anggota Tentara Merah. Tapi lemparkanlah granat ke mereka, dan mereka akan sangat peduli." Di Belanda, sandera akhirnya ditukar dengan Yamada pada hari Selasa dan pembajak terbang ke luar Belanda dengan anggota Tentara Merah, termasuk Yamada. Rencananya mereka bergabung dengan Wadi Haddad di selatan Yaman, tetapi tidak mendapat izin mendarat. Akhirnya Suriah menerima pesawat dan menyita US$ 300.000 yang juga dituntut pembajak. Tindakan kepahlawanan Palestina diterima, kriminalitas biasa tidak. Uang diserahkan ke duta besar Prancis dan dikembalikan ke Belanda. Desember 1974, Kolonel Ramon Trabal, atase militer Uruguay untuk Inggris dan Prancis, ditembak mati saat siang bolong di Paris. Ini merupakan salah satu pembunuhan yang dihubungkan dengan Carlos. Ada laporan yang membuktikan keterlibatan Carlos dalam serangan itu, yang ditemukan di salah satu rumah. "Itu pasti catatan Moukharbel. Ia mencatat semuanya. Kami tidak melakukan apa pun dalam hal matinya Trabal. Setelah rue Toullier dan kemudian setelah Wina, aku tentu saja bertanggung jawab terhadap semua yang terjadi di dunia. Banyak dari situ yang merupakan omong kosong," kata Carlos. Itu adalah situasi yang, setelah kami pelajari bersama Carlos, mengandung ironisme. Ia berpendapat, banyak dari fantasi tentangnya dibuat dinas rahasia Barat. Ia secara khusus menyebut CIA dan intelijen Inggris MI6. Menurut Carlos, ia menjadi senjata propaganda dalam masa Perang Dingin. Mereka menyatakan bahwa ia dikendalikan oleh Moskow dan KGB. Bagi Carlos, itu layanan informasi yang global. Kalau memang tidak terlibat dalam pembunuhan Kolonel Trabal, apa yang dilakukan Carlos pada saat itu? "Menyiapkan serangan roket pada pesawat El Al," katanya. Carlos menjelaskan situasi politik pada akhir Oktober 1974 itu. Bulan Oktober ada pertemuan Rabat, pemimpin Arab menerima dua resolusi. Yang pertama mengakui PLO sebagai perwakilan dari orang Palestina, yang membuat organisasi yang dipimpin Arafat sebagai pemerintah dalam pengasingan. Resolusi kedua menyatakan Raja Hussein dari Yordania akan menyerahkan Tepi Barat kalau daerah itu dibebaskan. Pada bulan November, Yasser Arafat berbicara di markas PBB New York. Ia sampaikan keinginan rakyatnya: "... kami menyiapkan sebuah tanah air kecil kami, dengan tujuan menciptakan perdamaian dengan Israel, sampai Israel memutuskan keinginan bebas mereka untuk bergabung dengan kami dalam negara demokrasi yang kami impikan." Di antara negara Arab yang sangat marah dengan inisiatif ke arah pemecahan damai dengan Israel adalah Irak. Enam hari setelah pidato Arafat, gerakan penolakan mulai berubah. The Popular Democracy Front (PDF), pecahan dari PFLP yang dipimpin oleh Nayef Hawatmeh, melancarkan serangan teror di Israel. Sasarannya adalah blok apartemen di Beit Shean. Empat orang sipil Israel terbunuh. PDF mengumumkan bahwa serangan itu menunjukkan bahwa walaupun Arafat masih membawa cabang buah zaitun, ia masih punya senjata. Fakta bahwa PDF dipimpin Nayef Hawatmeh, bukan oleh Arafat, diabaikan oleh Israel. Bagi mereka, aksi ini menegaskan kembali kebenaran pernyataan duta besar Israel di PBB ketika menanggapi pidato Arafat. Ia mengutuk PBB yang mengundang Arafat untuk berbicara. Bagi Duta Besar Tekoah, PLO adalah "organisasi pembunuh" dan PBB telah "menyerah" padanya. Jadi, ada instruksi Irak kepada Wadi Haddad untuk menghancurkan inisiatif damai Arafat lewat serangan terhadap pesawat penumpang El Al. Instruksi disampaikan pada Moukharbel pada akhir musim panas 1974. "Aku mempertimbangkan Heatrow dan sejumlah bandara di Eropa. Irak juga memberi kami RPG 7 (peluncur roket portabel). Karena basis utama di Prancis, Moukharbel memutuskan operasi harus dilakukan di Bandara Orly. Aku sampaikan rencanaku, yang dipertimbangkan oleh Moukharbel dan kemudian oleh Wadi Haddad. Semua detail dari serangan harus disetujui oleh si orang tua." Pesawat yang membawa 136 penumpang dan tujuh awak menuju Montreal dan New York sedang berada di landasan pacu. Pembawa senjata mempersiapkan peluncur roket dan menembakkan. Arahnya terlalu tinggi dan roket lewat di atas Boeing 707 El Al dan mengenai DC 9 milik Yugoslavia. Mendengar ledakan itu, pilot El Al mengabaikan perintah berhenti dari menara pengawas dan mempercepat laju. Pembawa senjata kembali mengisi roket dan menembak lagi. Roket kedua tidak mencapai El Al tapi blok administratif. Roket pertama mengenai pesawat yang kosong tetapi pecahan logam melukai seorang polisi, awak kabin Yugoslavia. Roket kedua tidak melukai orang. "Gagasan siapa untuk mencoba lagi hanya satu minggu kemudian?" "Michel. Ia menekan bahwa kami harus mencoba lagi. Itu bukan merupakan gagasan. Itu adalah perintah." Apa yang terjadi adalah kekacauan -- baku tembak antara tiga orang Palestina dan orang-orang Republic Security Companies (CRS) yang jumlahnya makin banyak -- di ruang tunggu keberangkatan. Penumpang, pengantar, staf maskapai penerbangan, terperangkap dalam sebuah perang kecil. Dua puluh orang terluka, termasuk seorang Palestina dan anggota CRS. Maret 1975, Moukharbel dan Carlos memulai lagi operasi berikut yang diperintahkan Wadi Haddad. Seperti operasi Haddad sebelumnya dan yang akan datang, ini merupakan operasi pengumpulan dana. Lokasinya London, sasarannya Duta Besar Uni Emirat Arab di Inggris, Mohammed Mahdi al-Tajir, yang menurut Carlos akan diminta US$ 50 juta. "Rencananya, diplomat di kedutan Irak akan memberi kami informasi mengenai gerakan-gerakan Tajir. Itu tidak pernah datang. Aku tetap mempertahankan semua tim di London sampai hampir tiga minggu. Selama waktu itu kami mengamati sekeliling kedutaan dan kediaman Tajir. Kami melihat ia satu kali dengan dua penjaga. Sangat penting untuk melihat pola gerakan- gerakannya. Orang-orang Irak mungkin kehilangan kesabaran atau mengubah pikiran." Salah satu yang dibawa Carlos di tasnya adalah tulisan yang menyatakan, jika penculikan Tajir gagal, ada banyak rencana lain. Banyak yang merupakan daftar sementara karena harus disetujui Wadi Haddad. Daftar sementara yang dibuat Carlos tidak hanya terdiri atas Zionis atau orang Yahudi biasa. Yang bukan Yahudi ada dalam daftar, juga beberapa orang Arab. Jadi, daftar itu tidak saja morat-marit tapi juga sangat panjang. Ada ratusan nama di situ. Beberapa orang sama sekali tidak ada hubungan dengan masalah Palestina. Mereka masuk dalam daftar mati semata-mata karena mereka orang terkenal. Pada akhir 1975, dua peristiwa, di rue Toullier dan "Operasi Wina", membuat Ilich Ramirez Sanchez alias Carlos menjadi orang yang paling dicari di dunia. "Serangan di OPEC dan penculikan menteri-menteri minyak di Wina itu gagasan siapa?" Carlos terkejut dengan pertanyaan ini. "Qadhafi tentu saja," katanya. Pemimpin Libya Muammar Qadhafi dianggap bertanggung jawab tak hanya atas serangan ke markas besar OPEC di Wina pada Bulan Desember 1975, melainkan dalam banyak kekejaman, walaupun kekurangan bukti. AKSI-AKSI CARLOS YANG LAIN Carlos menceritakan secara detail operasi penyanderaan menteri- menteri minyak OPEC di Wina tahun 1975. Namun, peristiwa paling legendaris itu tidak terungkap dalam buku Tracking the Jackal. Berdasarkan riset Yallop, ada beberapa peristiwa lain yang otaknya adalah Carlos. Peristiwa itu antara lain: 30 Mei 1970: 27 orang terbunuh dan 69 orang terluka ketika tiga anggota Persatuan Tentara Merah Jepang melepaskan tembakan di Bandara Lod, Tel Aviv. Serangan itu diorganisasikan oleh Carlos. 5 September 1972: Ketika Olimpiade Munich berlangsung, Carlos memimpin kelompok Black September menyerang tim Israel. Sebelas atlet Israel mati. Walaupun beberapa dari rekannya terbunuh dan yang lainnya terluka atau tertangkap, Carlos selamat tanpa luka sedikit pun. 28 September 1973: Dua gerilyawan Arab masuk dalam kereta Moskow-Wina di Bratislava. Ketika kereta tiba di Marchegg di sisi perbatasan Austria, mereka mengeluarkan senjata otomatis dan granat tangan dan menyandera empat orang. Desember 1975: Carlos masuk ke kantor pusat OPEC di Wina atas perintah Muammar Qadhafi. Para ahli bingung mengapa Carlos harus menyandera menteri-menteri minyak OPEC. Bagi Qadhafi, ketakutan dan malu yang dialami para menteri jelas sangat diinginkan. Ia memberikan imbalan kepada Carlos US$ 20 juta. 27 Juni 1976: Air France, yang membawa 250 penumpang dari Tel Aviv ke Paris, dibajak setelah meninggalkan Athena. Pembajakan dipimpin orang Jerman, Wilfried Bose, digambarkan sebagai Che Guevara Force of the Commando of the Palestine Liberation Forces. Semua operasi direncanakan oleh Carlos. HUBUNGAN DENGAN INTELIJEN Riset menunjukkan bahwa CIA dan intelijen Prancis campur tangan lebih dari satu kali untuk melindungi Carlos. Salah satu sumberku adalah bekas agen intelijen Prancis, yang lain adalah bekas anggota CIA untuk urusan Amerika Latin. Aku sadar sekali akan risiko jika mengandalkan sumber-sumber itu. Kedua sumber itu menyatakan bahwa informasi itu berdasarkan fakta-fakta dokumentasi. Bagaimanapun, ada data dari luar yang mendukung persekutuan itu. Sumbernya banyak: Palestina, Italia, Jerman, Suriah, dan Arab Saudi. Semuanya memperhatikan adanya hubungan antara Carlos dan dinas intelijen. Lebih dari itu, Carlos sendiri, berdasarkan mulut dari seorang pengacara Prancis yang terkenal, membenarkan tahun 1982 ia memang mencapai "pengertian" dengan intelijen Prancis. Itu pengertian yang menjelaskan mengapa dia bisa meneruskan kegemparan dan mengapa sampai hari ini ia masih hidup. Aku tanyakan kepada bekas agen CIA mengapa Carlos dilindungi oleh CIA: "Menjaga salah satu di antara orang mereka." Abu Iyad membenarkan muka dua Carlos kepadaku: "Carlos masih mempunyai banyak atasan. Sepanjang yang aku ketahui, ia menjalankan operasi lebih dari selusin yang diminta agen intelijen." "Apakah CIA termasuk?" "CIA melihat Carlos sebagai aset." Pertanyaan muncul di benakku. Siapa menjaga siapa? Dunia macam apa tempat kita hidup, ketika banyak pria dan wanita yang tugas utamanya melindungi masyarakat dari teroris, secara aktif bergaul dengan teroris? Bagaimana bisa Ilich alias Carlos terus-menerus menjadi orang yang paling dicari di dunia, tapi justru dilindungi, diberi perlindungan oleh mereka yang secara teori, tetapi tidak pada prakteknya, memburunya?Liston P. Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum