Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Liburan sinjia presiden lee

Kunjungan presiden taiwan lee tenghui disambut hangat presiden Soeharto di Bali. kedua kepala negara membicarakan kerjasama ekonomi. kedatangan lee tak mengubah prinsip satu cina yang dianut indonesia

19 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAIWAN memang bukan negara besar. Penduduknya hanya sekitar 21 juta, wilayahnya cuma seluas Jawa Barat. Di pentas dunia ia bagaikan seorang dari kasta paria. Itu lantaran RRC, yang mengaku sebagai satu-satunya wakil bangsa Cina di dunia, mengunci semua langkah diplomasinya. Tapi, dengan cadangan devisanya yang lebih dari 83 miliar dolar Amerika, ia bagaikan seorang cewek kaya raya yang masih lajang dan ditaksir semua lelaki. Semua negara berhasrat mempersuntingnya sebagai penanam modal. Karena itulah ketika pekan lalu Presiden Taiwan Lee Teng-hui liburan Sinjia di Bali, Cina ngambek. Ia memperingatkan kedatangan presiden provinsi yang dianggap memberontak itu akan mengganggu keharmonisan hubungan Jakarta-Beijing yang baru saja cair dalam lima tahun terakhir ini. Tapi, Indonesia tak peduli. Bahkan di Pulau Dewata itu Presiden Soeharto bertemu dengan Presiden Lee meski dalam pertemuan informal. Lee datang ke Indonesia bukan dengan tangan hampa. Ia tak lupa membawa angpao berupa hibah sebesar 50 juta dolar. Dari jumlah itu 20 juta dolar akan digunakan sebagai modal untuk pengembangan Pulau Batam. Konon, ia pun membawa rencana pembangunan pelabuhan samudera untuk pulau itu yang akan dikerjakan oleh sebuah perusahaan swasta Taiwan. Dengan demikian, walaupun hanya buat cari angin, wajar kalau Presiden Lee disambut bagaikan kunjungan resmi presiden sebuah negara berdaulat. Tak salah bila Presiden Soeharto kongko- kongko dengan tamu dari utara itu, dan yang menjadi tuan rumahnya Menteri B.J. Habibie. Bagi para pengamat masalah internasional ada dua hal yang menonjol dari kunjungan Lee dan penerimaan hangat Indonesia. Pertama, ini sekali lagi menunjukkan bahwa era politik dan ideologi dalam hubungan internasional sudah usang dan sudah ditinggalkan. Faktor-faktor itu sekarang telah digantikan oleh ekonomi dan teknologi. Kedua, ini juga merupakan contoh klasik bagaimana kepentingan nasional lebih menonjol ketimbang ideologi. Indonesia, yang sedang haus penanaman modal, serta-merta merangkul Taiwan. Ia mengabaikan politik satu Cina, dan menganut prinsip dua Cina dalam hubungan ekonomi. Oleh karenanya, juga wajar kalau Menteri Luar Negeri Ali Alatas mengatakan, kedatangan Lee tak mengubah prinsip satu Cina yang dianut Indonesia, dan tak akan mengganggu hubungan Jakarta-Beijing. Dalam dua tahun terakhir ini Taiwan memang sedang menjalankan jurus politik luar negeri yang makin high profile, high profit. Setelah terusir dari PBB pada tahun 1971 karena normalisasi Washington-Beijing, di dunia diplomasi Taiwan seakan tak berdaya apa pun. Gerakannya dikunci dengan pembendungan diplomatik yang dikenakan Beijing. RRC selalu mengenakan pemutusan hubungan dengan Taiwan sebagai prasyarat bagi negara mana saja yang ingin berbaikan dengan Beijing. Karena itulah sejak tahun 1970-an, Taiwan lebih banyak menjalankan diplomasi "gerilya". Baru menjelang tahun 1990, ketika telah memperoleh kembali kepercayaan diri karena keberhasilan pembangunan ekonominya, Taiwan bersikap lebih agresif. Puncak keagresifan ini diawali dengan usaha kembali menduduki kursi di PBB. Itu tentu saja gagal, lantaran RRC mentorpedonya. Jurus "melangkah ke selatan" adalah usaha berikutnya untuk lolos dari politik pengucilan Cina. Apabila menengok sejarah diplomasi sejenak, kunjungan Lee ke Asia Tenggara ini tak banyak bedanya dengan jalan yang ditempuh RRC menjelang pertengahan tahun 1950-an. Dalam era itu Beijing berhasil keluar dari politik pembendungan Amerika dengan mendekati negara-negara yang tak mau didikte Amerika, antara lain Indonesia. Dengan cara itulah ia berhasil duduk dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Mungkin, tujuan lain Lee sowan kepada Presiden Soeharto adalah Konferensi Puncak APEC yang akan diselenggarakan pada kuartal ketiga tahun ini di Jakarta. Sukar bagi para anggota APEC untuk mengesampingkan Taiwan lantaran posisinya sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia walaupun, siapa tahu, Beijing keberatan duduk semeja dengan wakil-wakil wilayah yang diklaimnya sebagai bagian dari Cina itu. Ini sama saja sukarnya dengan posisi para penyelenggara KAA Bandung pada tahun 1955 dulu untuk mengesampingkan RRC sebagai salah satu kekuatan terbesar dunia. Karena persoalannya yang lebih menjurus pada kerja sama ekonomi, boleh jadi lobi Lee untuk hadir dalam APEC berhasil. Buat Indonesia Taiwan juga banyak artinya. Dengan uang sejumlah lebih dari 4 miliar dolar ia adalah penanam modal terbesar ketiga, setelah Jepang dan Hong Kong. Ia adalah mitra dagang peringkat keenam. Tahun ini diharapkan tak kurang dari 350 ribu wisatawan negara pulau itu akan datang ke sini. Maka, buat Indonesia apa boleh buat, "Huanying Li zongtong," selamat datang, Presiden Lee.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus