Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pemburu dan pencuri benda purbakala di museum Indonesia tak pernah berhenti beraksi. Empat artefak berlapis emas peninggalan Kerajaan Mataram Kuno di Museum Nasional Jakarta raib September lalu. Tiga tahun lalu, 144 buah koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta juga hilang.
Pencurian di Museum Nasional dan Sonobudoyo hingga sekarang belum terlihat jejak pelakunya. Padahal, 40 tahun lalu, polisi pernah mengungkap pencurian benda purbakala di Mojokerto. Majalah Tempo edisi 16 Juni 1973 mengulas penggasak benda purbakala, Drs A.S. Wibowo.
Polisi menangkap Wibowo dengan tuduhan mencuri benda purbakala pada April 1973. Ia dituduh menggelapkan uang negara sebanyak Rp 4.625.485. Sebelum ditangkap, Wibowo sedang merencanakan penyelewengan uang sebesar Rp 912 ribu. Ia berdalih menggelapkan uang untuk membayar 82 juru kunci candi-candi Jawa Timur.
Karier Wibowo tampaknya terlalu cepat. Lulus dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Purbakala pada 1963, lima tahun kemudian sarjana itu bertambah keahlian: memalsukan stempel. Setelah ia menjabat Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional cabang III Mojokerto, rezeki nomplok datang bertubi-tubi.
Wibowo memalsukan 15 jenis stempel dinas Bupati Trenggalek, Nganjuk, dan Magetan serta berbagai toko. Dari keahlian memalsu itu, dia mengangkut benda purbakala dengan jip dinas yang dikemudikannya sendiri. Comotannya cukup banyak, antara lain patung Durga Mahesasura Mardini di Candi Jawi, Malang, dan Durga dari Candi Rimbi, Jombang. Dia juga mengambil beberapa barang purbakala dari Museum Trowulan, seperti arca Durga, porselen Suromino, kepala Gajahmino, dua vas perunggu, dan kepala Gunungan. Tentu mudah saja Wibowo beroperasi, sekalipun itu berarti penyalahgunaan wewenang. Apalagi, kata dia, semua benda purbakala itu akan dipamerkan di Jakarta atas perintah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Walhasil, bukan hanya masyarakat dan pejabat heboh, kalangan purbakalawan pun tentu malu. Barangkali nenek moyang yang sudah memfosil di lapisan bawah tanah jadi murka pula dan mengutuknya. Paling tidak Matari Durga sendiri. Barangkali Wibowo ingin jadi semacam Sinbad atau Paladin yang dengan enaknya mengenyam penemuan harta karun nan berlimpah ruah.
Gara-gara ulah Wibowo itu, barangkali, letupan meriam Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban pun berdentuman lagi melalui instruksi Panglima Kopkamtib Nomor 002/Kopkamtib/I/1973 pada 27 Januari 1973. Inti instruksi yang dialamatkan kepada segenap kepala daerah berbagai tingkat itu antara lain supaya mencegah mengalirnya benda budaya dalam perdagangan dengan luar negeri yang memiskinkan kehidupan budaya, di samping melindungi keselamatan obyek bersejarah di daerah masing-masing. Tak lupa, supaya menyadarkan ABRI dan keluarganya untuk mengamankan kehidupan budaya dari proses pemiskinan kebudayaan nasional.
Sebenarnya, jauh sebelum adanya instruksi Kopkamtib, pernah dicanangkan instruksi oleh Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah pada 5 Februari 1960 dengan Nomor Pem. 65/1/7. Semuanya bertolak dari Monumentel Ordonantie 13 Juni 1931 Staatsblad 1931 Nomor 238 alias MO. Bukan cuma pencurian dan mengalirnya benda harta budaya ke luar negeri yang menjadi sasaran MO, melainkan juga penemuan penyimpanan, perubahan, penghancuran, bahkan perbaikan.
Usaha penanggulangan bersama memang sudah diusahakan berupa saling pengertian dan kerja sama di antara beberapa instansi yang bersangkutan, dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Luar Negeri, Departemen Perdagangan, Bea dan Cukai, Kepolisian RI, sampai Interpol. Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional hanya berhak melapor, bukan bertindak. Namun upaya menguak jaringan lebih besar, seperti dalam kasus Wibowo, tak pernah terungkap. Tak sedikit benda kuno tersimpan di banyak museum luar negeri, seperti di India (Kolkata), Thailand, Belanda, Prancis (Paris), Jerman (Berlin), dan Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo