Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengisi Kamar Hotel

Untuk menutupi kerugian karena kemerosotan jumlah tamu akibat munculnya hotel bertaraf internasional pemilik hotel kecil dan menengah di Jakarta, terpaksa menyediakan kamar bagi WTS.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPAT-tempat mandi uap di Jakarta sudah lama sepi. Malahan banyak yang tutup. Ini dibenarkan seorang pejabat Dinas Pariwisata DKI. Sementara itu para pemilik hotel-hotel kecil maupun menengah sejak beberapa waktu lalu berkeluh-kesah. Kamar-kamar mereka banyak yang kosong. Kata orang karena arus pelancong menurun. Namun bagi beberapa pemilik hotel kecil, makin banyaknya deretan nama hotel-hotel bertaraf internasional yang baru berdiri, merupakan salah satu penyebab lain. Tapi akhir-akhir ini kamar-kamar di hotel kecil maupun menengah itu mulai ramai lagi. Sudah menggalak lagikah arus wisatawan? Bukan. Syarif Hidayat dan Slamet Djabarudi dari TEMPO pekan lalu secara berturut-turut telah mengunjungi beberapa hotel yang tergolong kecil dan menengah di Jakarta. Sambil melakukan beberapa wawancara, begini laporannya. Tidak kurang dari 10 buah hotel di Jakarta sejak beberapa waktu lalu telah menyediakan kamar-kamarnya untuk disewa secara tetap oleh wanita-wanita tuna susila (wts) melalui germo-germo mereka. Bahkan 3 buah di antaranya yaitu hotel M, Mp dan hotel P di bilangan Jakarta-Kota, menyerahkan sekitar 75% dari seluruh persediaan kamarnya untuk penyewa-penyewa tetap itu. Masing-masing kamar ditempati 3 hingga 4 orang wts. Mereka menerima tamu untuk praktek di kamar itu juga, setelah terdapat saling pengertian dengan teman sekamarnya untuk menyingkir terlebih dulu. Para pria yang berminat mendatangi wanita-wanita itu dapat melalui penerima tamu hotel maupun langsung ke kamar-kamar. Menurut beberapa germo yang mengkordinir wts-wts itu, tarif main dengan wanita-wanita itu bermacam-macam. Tapi yang pasti bergerak mulai Rp 5.000, Rp 25.000 sampai Rp 50.000 "Mereka kebanyakan bekas juru pijit di steambath" tutur seorang germo yang laim dipanggil mami oleh para wts itu. Bahkan di bilangan Ancol tersedia wts-wts dengan tarif Rp 100.000 sampai Rp 200.000. Tapi hotel-hotel itu tak begitu saja menerima sembarang wts untuk menjadi penyewa tetap. Melalui para germo para pemilik hotel menetapkan hanya wanita-wanita tertentu saja. Jadi yang cantik-cantik sajalah kira-kira. "Agar tidak memalukan nama baik hotel kami", ucap seorang manajer hotel yang tak mau disebut namanya. Apakah dengan adanya penghuni tetap itu tamu hotel yang baik-baik tak merasa terganggu? Menejer hotel yang lain menjawab dengan tersenyum-senyum. "Yang pasti kalau tak ada wts-wts itu hotel kami sepi dan tentu saja kami akan rugi", hanya itu jawabnya. Bagi menejer hotel P memelihara wts di kamar-kamar hotelnya rupanya memang menguntungkan. "Dengan banyaknya hotel di Jakarta", tuturnya, "kita jadi bersaing untuk mencari tamu. Salah satu cara kami mengisi kamar adalah dengan membiarkan wanita-wanita itu. Dengan demikian sedikit banyak tertolong. Setidak-tidaknya beberapa kamar sudah disewa tetap oleh germo-germo. Akan Sepi & Rugi Hotel-hotel itu juga menyediakan kamar bagi mereka yang membawa wanita untuk beberapa jam saja. "Ini lebih menguntungkan, sebab kamar dipakai sebentar tapi bayarannya sama seperti kalau disewa sehari semalam", tambah menejer tadi. Dengan yakinnya menejer ini mengungkapkan bahwa tanpa menyediakan wanita-wanita, hotel-hotel akan sepi dan lama-lama tutup karena rugi. Hotel-hotel yang tiba-tiba tumbuh menjadi sarang wts itu agaknya bukan tak diketahui pihak pemerintah DKI, maupun kepolisian. "Masalah itu bukan masalah polisi semata, sebab pemecahannya harus difikirkan oleh banyak instansi", kata letkol R.A. Tonang, Kepala Dinas Penerangan Komdak Metro Jaya - setelah mengakui instansinya memang sudah lama tahu adanya wts di beberapa hotel. Bagi Syariful Alam begini: "Income dari hotel tidak ada, hanya 100 untuk pajak saja". Kepala Hubungan Masyarakat DKI itu menambahkan bahwa pemda DKI tak ingin hotel-hotel menjadi tempat seperti Kramat Tunggak. Tapi tak ada aturan yang melarang pria membawa wanita ke hotel-hotel, sebab hotel juga tak menutup pintu bagi tamu wanita. Tapi Syariful tak lupa menambahkan bahwa "sekarang sedang difikirkan bagaimana menyelesaikan beberapa hotel yang menyediakan wanita P". Syarif juga mengingatkan, bila hotel sulit hidup akan menyebabkan modal yang ditanam pemiliknya kacau, lalu kredit macet, akibatnya pemerintah yang jadi repot. "Bila ini terjadi, Jakarta sebagai kota jasa akan menerima akibatnya pula", ucap Syariful.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus