TEMPAT-tempat mandi uap di Jakarta sudah lama sepi. Malahan
banyak yang tutup. Ini dibenarkan seorang pejabat Dinas
Pariwisata DKI. Sementara itu para pemilik hotel-hotel kecil
maupun menengah sejak beberapa waktu lalu berkeluh-kesah.
Kamar-kamar mereka banyak yang kosong. Kata orang karena arus
pelancong menurun. Namun bagi beberapa pemilik hotel kecil,
makin banyaknya deretan nama hotel-hotel bertaraf internasional
yang baru berdiri, merupakan salah satu penyebab lain.
Tapi akhir-akhir ini kamar-kamar di hotel kecil maupun menengah
itu mulai ramai lagi. Sudah menggalak lagikah arus wisatawan?
Bukan. Syarif Hidayat dan Slamet Djabarudi dari TEMPO pekan lalu
secara berturut-turut telah mengunjungi beberapa hotel yang
tergolong kecil dan menengah di Jakarta. Sambil melakukan
beberapa wawancara, begini laporannya.
Tidak kurang dari 10 buah hotel di Jakarta sejak beberapa waktu
lalu telah menyediakan kamar-kamarnya untuk disewa secara tetap
oleh wanita-wanita tuna susila (wts) melalui germo-germo mereka.
Bahkan 3 buah di antaranya yaitu hotel M, Mp dan hotel P di
bilangan Jakarta-Kota, menyerahkan sekitar 75% dari seluruh
persediaan kamarnya untuk penyewa-penyewa tetap itu.
Masing-masing kamar ditempati 3 hingga 4 orang wts. Mereka
menerima tamu untuk praktek di kamar itu juga, setelah terdapat
saling pengertian dengan teman sekamarnya untuk menyingkir
terlebih dulu.
Para pria yang berminat mendatangi wanita-wanita itu dapat
melalui penerima tamu hotel maupun langsung ke kamar-kamar.
Menurut beberapa germo yang mengkordinir wts-wts itu, tarif main
dengan wanita-wanita itu bermacam-macam. Tapi yang pasti
bergerak mulai Rp 5.000, Rp 25.000 sampai Rp 50.000 "Mereka
kebanyakan bekas juru pijit di steambath" tutur seorang germo
yang laim dipanggil mami oleh para wts itu. Bahkan di bilangan
Ancol tersedia wts-wts dengan tarif Rp 100.000 sampai Rp
200.000.
Tapi hotel-hotel itu tak begitu saja menerima sembarang wts
untuk menjadi penyewa tetap. Melalui para germo para pemilik
hotel menetapkan hanya wanita-wanita tertentu saja. Jadi yang
cantik-cantik sajalah kira-kira. "Agar tidak memalukan nama baik
hotel kami", ucap seorang manajer hotel yang tak mau disebut
namanya. Apakah dengan adanya penghuni tetap itu tamu hotel yang
baik-baik tak merasa terganggu? Menejer hotel yang lain menjawab
dengan tersenyum-senyum. "Yang pasti kalau tak ada wts-wts itu
hotel kami sepi dan tentu saja kami akan rugi", hanya itu
jawabnya.
Bagi menejer hotel P memelihara wts di kamar-kamar hotelnya
rupanya memang menguntungkan. "Dengan banyaknya hotel di
Jakarta", tuturnya, "kita jadi bersaing untuk mencari tamu.
Salah satu cara kami mengisi kamar adalah dengan membiarkan
wanita-wanita itu. Dengan demikian sedikit banyak tertolong.
Setidak-tidaknya beberapa kamar sudah disewa tetap oleh
germo-germo.
Akan Sepi & Rugi
Hotel-hotel itu juga menyediakan kamar bagi mereka yang membawa
wanita untuk beberapa jam saja. "Ini lebih menguntungkan, sebab
kamar dipakai sebentar tapi bayarannya sama seperti kalau disewa
sehari semalam", tambah menejer tadi. Dengan yakinnya menejer
ini mengungkapkan bahwa tanpa menyediakan wanita-wanita,
hotel-hotel akan sepi dan lama-lama tutup karena rugi.
Hotel-hotel yang tiba-tiba tumbuh menjadi sarang wts itu agaknya
bukan tak diketahui pihak pemerintah DKI, maupun kepolisian.
"Masalah itu bukan masalah polisi semata, sebab pemecahannya
harus difikirkan oleh banyak instansi", kata letkol R.A. Tonang,
Kepala Dinas Penerangan Komdak Metro Jaya - setelah mengakui
instansinya memang sudah lama tahu adanya wts di beberapa hotel.
Bagi Syariful Alam begini: "Income dari hotel tidak ada, hanya
100 untuk pajak saja".
Kepala Hubungan Masyarakat DKI itu menambahkan bahwa pemda DKI
tak ingin hotel-hotel menjadi tempat seperti Kramat Tunggak.
Tapi tak ada aturan yang melarang pria membawa wanita ke
hotel-hotel, sebab hotel juga tak menutup pintu bagi tamu
wanita. Tapi Syariful tak lupa menambahkan bahwa "sekarang
sedang difikirkan bagaimana menyelesaikan beberapa hotel yang
menyediakan wanita P". Syarif juga mengingatkan, bila hotel
sulit hidup akan menyebabkan modal yang ditanam pemiliknya
kacau, lalu kredit macet, akibatnya pemerintah yang jadi repot.
"Bila ini terjadi, Jakarta sebagai kota jasa akan menerima
akibatnya pula", ucap Syariful.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini