Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pam Alias Pompa

Belum sepertiga penduduk kota malang dapat menikmati air bersih dari PAM. Mereka yang beruntung itu adalah yang berada di sekitar permukiman pejabat.

9 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDUDUK kota Malang memang tidak kehausan. Tapi dari sekitar « juta jiwa warganya baru 23% di antaranya yang menikmati air bersih dari PAM. Dan dari jumlah langganan yang ada dan setia membayar bea tiap bulan, hanya 25 saja yang menerima kucuran air secara tetap melalui kran di rumah masing-masing. Mereka yang beruntung ini adalah warga kota yang tinggal di sekitar Jalan Ijen, tempat bermukim para pejabat dan mereka yang lazim digelari cukong. Selebihnya air hanya menetes dengan ragu, bahkan ada yang kering samasekali. Karena sudah tercatat sebagai langganan. maka golongan yang hanya menerima tetesan ini tetap dengan setia melunasi pembayaran di kantor PAM. Kepala PAM Kodya Malang, Soedjojo, maklum akan hal ini, barangkali karena sudah terlalu banyak keluhan menampar telinganya. "Sebaiknya para langganan yang tak pernah menerima air bersih itu mengajukan permohonan berhenti sementara sebagai langganan", anjur Soedojo. Tapi kalau keadaan air minum sudah baik, apakah para bekas langganan ini dapat mudah mengajukan permohonan menjadi langganan lagi? "Gampang, nanti diatur". sahutnya. Angkat Telepon Bagi warga kota yang beruntung dapat menerima kucuran air PAM secara cukup itu, tak dengan sendirinya tinggal memutar kran. Di sekitar jalan Ijen tadi pada umumnya para penghuni harus memasang pompa penghisap sehingga air mampu masuk ke dalam bak penampung. Jika tak demikian keadaannya akan sama saja: menetes. Makin besar daya sedot sang pompa, makin banyak air yang menyembur. Tapi ini berarti tetangga sekitar yang menggunakan pompa dengan daya sedot kecil tak akan mendapat bagian air. Kira-kira di sini berlaku ketentuan: si kuat menelan yang lemah. Untung akhirnya para warga di Jalan Ijen suka berdamai: angkat telepon kepada tetangga agar bergantitian memasang pompa penyedot. Ramai soal pompa sedot rupanya mengilhami Balaikota Malang untuk mengeluarkan Peraturan Daerah nomor 7 tahun 1976. Isinya: pemakaian pompa air dikenakan retribusi Rp 5.000 perbulan untuk pompa listrik yang menyedot langsung dari saluran: Rp 1.500 per-bulan yang menyedot dari sumur. Bahkan juga pompa tangan: Rp 500 per-bulan, dari manapun ia menyedot air. Air minum kota Malang sekarang berasal dari sumber di Batu (Malang barat), Dinoyo dan Betek. Dari ketiganya debet air yang mampu dicurahkan tercatat 265 liter per-detik. Namun perluasan bukannya tak direncanakan. Dengan bantuan kredit lebih dari Rp 2 milyar dari Bank Dunia di tahun 1979 nanti debet air sudah akan mencapai 765 liter setiap detik. Jadi, di samping masih harus menunggu dua tahun lagi juga debet air yang sekian itu baru mampu membasahi 45% warga kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus