PENDUDUK kabupaten Aceh Tenggara tercatat 148.139 kepala. Yang
turut memilih dalam pemilihan umum mendatang hanya 73.879
orang: Daerah ini terdiri 9 kecamatan, 31 kemukiman dan 229
desa. Penduduk yang tercatat adalah di kecamatan-kecamatan
sebelah timur Kutacane (213 km dari Medan). Sedang penduduk
sebelah utara menuju Blangkejeren, di kecamatan Kuta Panjang,
Terangon dan Rikit Gaib rata-rata kepadatannya tidak sampai
10 orang tiap 1 kmÿFD. Malah kecamatan Blangkejeren di daerah
Gayo kepadatannya cuma 5 orang per kmÿFD.
Jarangnya penduduk di sana, kendati daerahnya luas dan
tergolong subur, bukan gara-gara perang sejak zaman Belanda
tempo hari. Jalan yang parah sejak puluhan tahun sampai
merdeka, turut membuat uneg-uneg penduduk sana. Karena sudah
bosan terkurung dan hari depan mereka juga tak di~etahui apakah
suram atau cerah. akhirnya mereka terpaksa lari dari kampung
halaman. Ke daerah lain atau ke kota dianggap pilihan yang
tepat. Bagai kisah "orang usiran" saja.
"Sejak sepuluh tahun terakhir ini tak kurang dari tiga puluh
ribu manusia yang meninggalkan kampung halamannya", kata
Hadjarul Aswad. sekwilda Aceh Tenggara pada koresponden TEMPO
ketika berada di Kutacane. "Mereka sudah tak tahan lagi di sana.
Dan penghidupan dianggap bakal tak cerah kalau terus bertahan.
Mereka tak bisa pergi ke mana-mana karena hubungan sudah lama
putus", tambah Aswad yang berasal dari Blangkejeren itu. Ia
sendiri lama di Banda Aceh. Setelah Aceh Tenggara jadi kabupaten
pulang ke kampung atas permintaan bupati Syahadat. Mereka
sama-sama ingin membangun daerah yang terbelakang dan berada di
pedalaman itu.
Masih Gamang
Tata masyarakat, pembinaan wilayah dan dunia pendidikan belum
berkembang baik di kabupaten baru itu. Masalahnya bukan saja
menyangkut biaya dan minimnya subsidi yang diterima. "Selama ini
jalan begitu buruk dan kita tak bisa berbuat apa-apa. Lebih
banyak mengejar ketinggalan atau meniru daerah lain", kata
Syahadat. "Malah mau membicarakan soal pembangunan kita masih
gamang di sini". Misalnya membangun SD atau kantor-kantor. Bukan
hanya bahan-bahan seperti semen atau besi, tukang saja terpaksa
dibawa dari Medan.
Seorang pemborong di Blangkejeren mengatakan harga satu zak
semen di sana tidak kurang dari Rp 4.000, padahal di Kutacane
cuma Rp 1.500 atau di Medan berkisar Rp 1.250 sampai Rp 1.300.
Ongkos angkut barang dari Kutacane ke Blangkejeren Rp 60 per kg.
Yang tak payah mengurusnya hanya batu karena bisa dibeli di
sana. Tapi urusan papan, beroti atau bikin kosen pintu dan
jendela saja terpaksa diangkut dari Kutacane. Sedang di
Blangkejeren dan sekitarnya papan juga ada, tapi masih harus
dibelah dengan gergaji tangan. "Sehari paling-paling si
pembelahnya cuma mampu membereskan 3 keping saja", ucap
Syahadat. "Banyak pemborong yang takut ke Aceh Tenggara".
"Itulah sebabnya subsidi yang kita terima selama ini tidak
seimbang dengan pengalaman kita di lapangan", katanya. "Apalagi
jika subsidi itu diberikan berdasarkan jumlah penduduk, wah,
kita di Aceh Tenggara ini bisa menjerit terus. Atau kita
terpaksa memaksa pemborong menyiapkan bangunan, padahal dia juga
tertimpa rugi".
Begitupun bukan tak ada bangunan baru di daerah itu, terlepas
bagaimana mutu dan daya tahannya. "Semua yan sudah siap itu
kita padai-padailah, tambah bupati. "Tapi tak semua orang tahu
apa yang sedang kita alami. Malah ada yang menyangka
bukan-bukan. Habis. Dia 'kan tak pernah lihat lapangan. Ngomong
dan menuduh 'kan tak payah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini