Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Obat Kuat Nusa Cendana

Universitas Nusa Cendana mewajibkan penelitian sebagai syarat meniti karier. Apalagi, katanya, masih sedikit tenaga pengajar yang melakukan riset.

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

Obat Kuat Nusa Cendana
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DAN sapi pun butuh obat kuat.

Warga Desa Oesao, Kecamatan Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur, mempunyai problem dengan ternaknya. Markus Batmali, misalnya, lebih sering uring-uringan jika memikirkan ternaknya itu. Dari enam anak sapi yang dilahirkan sang induk sapi milik Markus, satu atau dua ekor dipastikan mati sebelum berusia 10 bulan. Adapun yang lain, jika pun hidup, tubuhnya kerempeng bak kurang makan. Padahal setiap hari Markus sudah menjejalkan berkarung-karung rumput segar untuk sapinya yang berjumlah 40-an itu.

Kegundahan itu berakhir dua tahun lalu. Seorang mahasiswa Universitas Nusa Cendana menawarkan suplemen pertumbuhan anak sapi. Tanpa ragu Markus membelinya. Harganya Rp 40 ribu untuk 10 kilogram makanan tambahan itu. Jumlah ini cukup untuk satu sapi selama setahun. Hasilnya, ”Sapi tumbuh sehat dan sempurna,” kata Markus sembari tersenyum lebar. Bagaimana tak tersenyum, ia berhasil menjual sapinya yang berumur dua tahun seharga Rp 4 juta. Inilah harga tertinggi yang pernah diperoleh peternak itu dari melego sapinya.

Makanan suplemen hewan itu adalah karya I Gusti N. Jelantik. Bersama timnya, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sapi Timor Universitas Nusa Cendana itu, sejak 13 tahun silam, meramu asupan penunjang sapi.

Pada 1996, bahan baku yang digunakan adalah dedak, jagung, dan labu. Penelitian pun diselenggarakan di laboratorium. Di ruang seluas 180 meter persegi tersebut, setiap hari Gusti dan koleganya menghitung tiap takar racikan dengan berbagai alat analisis untuk mengetahui kadar kalori, nutrisi, atau nitrogen. Tujuannya saat itu, selain untuk meningkatkan produktivitas hewan, buat memompa agar tubuh binatang yang menjadi andalan para peternak di Nusa Tenggara Timur tersebut montok.

Namun, melihat banyaknya kasus kematian anak sapi, tiga tahun kemudian Gusti membuat formula ”obat kuat”. Memang jumlah anak sapi yang mati di kalangan peternak cukup tinggi. Dari 150 ribu ekor anak, misalnya, rata-rata sepertiganya mati pada usia 0-8 bulan. ”Bila satu anak sapi harganya Rp 1,5 juta, setahun peternak rugi Rp 75 miliar,” kata doktor nutrisi ternak alumnus The Royal Veterinary and Agricultural University, Denmark, itu.

Dalam ramuan yang baru, bahan bakunya bertambah: bekicot, tepung ikan, kacang nasi, lamtoro, dan telur ayam. Asupan yang diberi nama pakan cair penambah susu (PCPS) ini diberikan kepada induk sapi. Harapannya membuahkan keturunan unggul yang juga memiliki daya tahan tinggi terhadap penyakit.

Pada 2001, dengan dana Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional sebesar Rp 50 juta, riset dilanjutkan di beberapa peternakan. Kali ini yang dijadikan eksperimen adalah 100 pedet—anak sapi—berumur kurang dari setahun. Suplemennya dinamai pakan padat pemula (P3). Menurut Gusti, dua jenis suplemen ini terbukti mampu menekan hampir seratus persen kematian anak sapi.

Kesuksesan ini membuat sejumlah lembaga internasional lantas mengucurkan bantuan untuk mendanai penelitian Gusti. Antara lain Asia Foundation dan Australian Center for International Agriculture Research. Kini basis riset Gusti mencapai 102 peternak dengan lebih dari 500 ekor sapi di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara.

Menurut Ketua Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana Fred Benu, penelitian sapi merupakan simbol riset perguruan tinggi negeri itu. Kajian ini menjadi satu pola ilmiah pokok yang dilaksanakan terus-menerus. ”Kami juga melakukan penelitian pertanian lahan kering,” kata Fred.

Menurut Fred, riset semacam ini akan didorong untuk mengukuhkan perguruan tinggi sebagai basis penelitian ilmiah. Untuk itu, Universitas Nusa Cendana mewajibkan penelitian sebagai syarat meniti karier. Apalagi, katanya, masih sedikit tenaga pengajar yang melakukan riset. ”Hanya 30 persen dari sekitar seribu dosen,” ujar Fred.

Sayangnya, kata Gusti, hasil penelitian yang ia lakukan itu belum bisa dibuat secara massal. Akibatnya, permintaan peternak atas ”suplemen sapi made in Nusa Cendana” itu banyak yang tak bisa dipenuhi. Lantaran biaya produksi masih besar, kini harga makanan suplemen itu sekitar Rp 4.000 per kilogram. Padahal, kata Gusti, bila makanan sapi itu diproduksi dalam jumlah besar—satu ton per hari—harga per kilogramnya bisa Rp 2.100 untuk P3 dan Rp 3.500 untuk PCPS.

Gusti mengatakan dana penelitian yang begitu tipis tak cukup untuk membuat mesin pakan skala besar. Karena itu, dia berharap pemerintah turun tangan. Menurut Fred, antusiasme peningkatan ternak ini seharusnya memang tidak berhenti di ruang-ruang seminar atau lokakarya ”Harus ada komitmen anggaran,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus