Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA belas tahun silam, Universitas Mataram mencatat sejarah dalam budi daya. Dimulai dari sebuah jurnal yang mengatakan gubal pada gaharu sebenarnya merupakan penyakit. ”Namanya penyakit pasti disebabkan mikro-organisme seperti jamur atau bakteri,” ujar Surya Hadi, peneliti utama di Gaharu Centre, dosen Universitas Mataram. Namun jamur seperti apakah? Nah, pertanyaan itulah yang ada di benak para periset tersebut.
Mereka berembuk di sebuah tempat. Masing-masing menjawab cara merekayasa agar pohon gaharu mampu memproduksi gubal, yang menghasilkan wangi luar biasa, dengan cepat.
Pertemuan itulah yang menjadi titik awal kehebatan para periset di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, terhadap budi daya gaharu.
Bicara tentang kayu wangi ini, rasanya tak lengkap tanpa menengok ke sana. Di sanalah metode inokulasi berhasil membuahkan gubah gaharu lebih cepat. Tanpa mengesampingkan hasil penelitian lainnya, penemuan ini merupakan fenomena dari kampus ini.
Dengan teknologi ini, masa munculnya gubal, yang biasa 20 tahun, bisa datang separuh lebih cepat. Itu artinya nilai ekonomisnya tiba lebih dulu, satu kilogram bisa dihargai Rp 5 juta. Maklum, gaharu memang mahal dan menjadi komoditas penting dalam industri kosmetik dan farmasi.
Namun semua itu tidaklah mudah. Surya Hadi serta dua koleganya, yakni Tri Mulyaningsih dan Doktor Parman (almarhum), harus mengeluarkan biaya dan mencurahkan pikirannya. Bahkan Tri harus merelakan biaya kompetisi risetnya dipakai untuk keperluan penelitian ini.
Itu pun tak cukup. Untuk sekadar sampel, gaharu tidak murah. ”Syukurlah kami dibantu asosiasi pedagang gaharu untuk membeli bahan kimia dan gubal,” kata Surya. Ketekunan pula yang membimbing mereka. Hingga akhirnya, setelah melakukan isolasi mikro-organisme pada gubal, mereka menemukan jenis mikro-organisme yang disebut fusarium.
Mikroba inilah yang kemudian diubah bentuknya menjadi isolat padat yang disuntikkan ke pohon gaharu. Itu pun tak langsung berbuah hasil. Pada awal riset, isolat itu mereka suntikan. Hasilnya? Banyak pohon yang mati.
Rupanya terjadi kekeliruan. ”Isolat inokulumnya atau mikro-organismenya terlalu agresif, sehingga menyerang pembuluh utama metabolisme pohon,” kata Taufik Fauzi, Kepala Gaharu Center Unram. Namun mereka tak menyerah. Belajar dari pengalaman, dari mikroba itu gubal gaharu dapat terbentuk.
Penelitian ini pun terus berkembang, hingga akhirnya mereka menemukan sedikitnya lima spesies fusarium dalam inokulum padat. Namun Surya enggan mengatakan apa saja spesies inokulum yang mereka temukan. ”Itu masuk dalam wilayah yang nanti akan kami patenkan.”
Alhasil, harum kayu ini begitu menggoda. Tak hanya tercium di Mataram dan daerah lain tapi juga menyeberang hingga ke Malaysia. Rupanya, negeri tetangga ini ingin juga mendapatkan teknologi penghasil kayu gaharu nan wangi itu.
Namun mereka menolak untuk melakukan kerja sama terpadu dengan sejumlah profesor dari Malaysia tahun lalu. Kampus ini hanya bersedia mengajari mereka cara melakukan penyuntikan atau inokulasi tanaman gaharu. Sedangkan teknologi isolasi mikro-organisme fusarium masih dirahasiakan. ”Teknologi pembentukan gubal belum kami patenkan, sehingga perlu dipatenkan dulu sebelum dipergunakan secara massal,” kata Surya.
Wajar jika mereka merahasiakan formula itu. Memang saat ini teknik inokulasi telah menyebar di seluruh penjuru dunia. Namun, khusus bahan isolat mikroba, hanya segelintir orang yang bisa memproduksinya.
Kini para peneliti di kampus ini belumlah puas. Mereka berharap menemukan teknologi baru yang bisa mempercepat tumbuhnya gubal. Untuk itu, sejak dua tahun lalu, Unram melakukan kerja sama dengan Jerman lewat IGBiotek. ”Gaharu ini merupakan masa depan kami,” ujar Profesor Ir Mansur Ma’shum, Rektor Unram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo