Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Nomor Anti-Importir Kuburan

Delapan komoditi hanya bisa diimpor dengan izin khusus yang dikeluarkan Deperindag. Izin khusus ini dianggap menerabas teritori Bea Cukai. Ada apa?

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NEGERI ini seperti diserbu siluman. Setidaknya, itulah yang dirasakan Direktur Jenderal Bea Cukai Permana Agung Drajattun. Ada banyak hal aneh tapi nyata yang ia temukan saat memburu penyelundup. Suatu waktu, tim yang dipimpinnya cuma garuk-garuk kepala setelah menyatroni alamat kantor yang tertera di sebuah dokumen impor. Ajaib, bukan gedung mentereng yang berdiri di situ melainkan sebuah lokasi pekuburan. Gemas dengan aksi-aksi para "importir kuburan", Rabu dua pekan lalu Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi meneken keputusan tentang nomor pengenal importir khusus (NPIK). Berlaku Mei depan, beleid ini dikeluarkan untuk melindungi delapan komoditi yang rawan terhadap penyelundupan: tekstil, elektronik, sepatu, mainan anak, beras, gula, jagung, dan kedelai. Kedelapan barang ini cuma bisa diimpor oleh mereka yang mengantongi NPIK. Sebagai pengenal, stiker khusus mesti ditempelkan di setiap komoditi yang masuk. Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Sudar S.A., menjamin lisensi ini bisa diperoleh gratis. Waktu pengurusan dijamin singkat: kelar dalam dua hari kerja, dan diterbitkan sekali dalam lima tahun. Ekonom Faisal Basri melihat kebijakan ini sebagai jawaban Menteri Rini terhadap penggerogotan yang dialami industri nasional gara-gara sepak terjang "importir kuburan". Menurut kalkulasinya, tiap tahun kas negara dirugikan sampai US$ 800 juta (sekitar Rp 8 triliun). "Bahkan ada yang mengalkulasi sampai dua juta dolar," ia menambahkan. Pengecekan Perindustrian per Februari kemarin menunjukkan, dari 8.000 importir, 1.800 di antaranya adalah perusahaan jadi-jadian. Nilai dan volume impor delapan komoditi ini memang signifikan. Menurut data Bank Indonesia, impor tekstil dan barang tekstil pada tahun 2000 mencapai lebih dari US$ 2,2 miliar (Rp 22 triliun). Grafiknya pun terus menanjak dalam empat tahun terakhir dan ini bisa menjadi ancaman bagi industri tekstil dalam negeri. Beras juga begitu. Dua pekan lalu Kepala Bulog Widjanarko Puspoyo menerangkan bahwa tahun ini impor beras akan mencapai 3 juta ton?2,3 juta ton akan diserahkan impornya ke swasta. Tapi ia juga mengeluh soal tak efektifnya kebijakan tarif. Tahun 2000 kemarin, misalnya, impor beras mencapai 2,6 juta ton. Seharusnya, dengan bea masuk Rp 430 per kg, ada duit masuk sekitar Rp 1 triliun. Ternyata cuma Rp 325 miliar yang diterima. Dan rupanya hanya 40 persen beras impor yang dilaporkan. "Selebihnya 'spanyol' alias separuh nyolong," katanya. Kebijakan Rini menghadang importir siluman ternyata mengundang kontroversi. Direktur Jenderal Bea Cukai Permana Agung terheran-heran dengan keluarnya beleid itu. Mengapa? Menurut Permana, beleid itu mestinya menjadi kewenangan lembaga yang dipimpinnya. "Ini yang lazim diterapkan di banyak negara," ujarnya. Data angka pengenal impor?lisensi yang dikeluarkan Perindustrian untuk setiap importir?terbukti bolong di sana-sini. Kasus importir yang "berkantor" di makam adalah contohnya. Dan importir siluman ternyata selalu bisa mengajukan izin baru dengan nama perusahaan berbeda. Untuk mempersempit ruang patgulipat itulah Permana menyatakan, perizinan mesti dilekatkan ke Bea Cukai, yang langsung terjun ke lapangan. Selain itu, Permana juga telah menggodok konsep stiker sejak Desember lalu. Namanya mirip: nomor pokok importir khusus. Formula ini ditelurkan dari serangkaian pertemuan dengan asosiasi importir dan Kadin. Ketika itu disimpulkan perlunya pengawasan khusus terhadap empat komoditi: tekstil, elektronik, mainan anak, dan sepatu. Memang, setelah dilaporkan, Menteri Keuangan Boediono minta supaya pelaksanaannya ditunda dulu. Tapi entah kenapa, tiba-tiba NPIK versi Menteri Rini menyalip di tikungan. Dunia usaha yang dirugikan oleh importir siluman itu langsung bereaksi. Soy M. Pardede, Ketua Bidang Perdagangan Kadin, memaklumi langkah ini diambil guna menangkal penyelundupan, khususnya dari Cina. Toh, ia waswas penerapannya cuma akan memunculkan ekonomi biaya tinggi. "Kan biasa, dibilang tidak ada biaya, ternyata nanti ada," katanya. Karena itulah ia mendesak supaya jalur ini dibuat transparan. Para pemegang NPIK, misalnya, mesti diumumkan. Asosiasi industri juga harus dilibatkan dalam pengawasan. Nada curiga juga disuarakan Sekjen Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia, Toto Dirgantara. Menurut dia, NPIK bakal memperpanjang jalur birokrasi. Dan karena cuma importir tertentu yang dibolehkan, "Ini jadi seperti tata niaga baru." Tudingan itu dibantah Direktur Impor Aang Kanaan Adikusumah. Semua pemain boleh masuk, katanya. Asalkan lima tahun terakhir pernah mengimpor barang, lisensi bisa langsung didapat. Ditambahkannya, tak ada pembatasan, baik perkara volume maupun harganya. Mendengar ini, lengkaplah kebingungan berbagai pihak tentang stiker NPIK itu. Bukankah sudah waktunya bagi Menteri Boediono untuk tampil dan menjernihkan situasi? Karaniya Dharmasaputra, Agus S. Riyanto, Gita W. Laksmini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus