Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menguasai Senayan meski Tak Bulat

Agung Laksono, yang diusung Koalisi Kebangsaan, terpilih menjadi Ketua DPR RI. ”Pengkhianatan” Partai Persatuan Pembangunan menunjukkan koalisi ini bukan persekutuan yang solid.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENYUM berbunga ditebar anggota parlemen asal Golkar, Agung Laksono. Meski matanya telah memerah karena lelah, tak letih ia menyambut uluran tangan yang diajukan kepadanya. Di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jumat malam pekan lalu, Agung merengkuh apa yang telah lama ia dan partainya cita-citakan: menduduki kursi Ketua DPR periode 2004-2009.

Maka untuk sementara berakhirlah pertarungan di badan legislatif antara Koalisi Kebangsaan, yang menyokong pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dalam pemilu 20 September lalu, dan partai-partai non-Koalisi, terutama yang menyokong Susilo Bambang Yudhoyono. Kelompok yang kedua ini didukung Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Meski bukan nama resmi, kelompok itu menyebut diri koalisi pro-perubahan.

Dalam voting, Agung Laksono mendapat 280 suara. Agung, yang tergabung dalam Paket A—bersama Soetardjo Soerjogoeritno (PDI Perjuangan), Muhaimin Iskandar (PKB), dan Zainal Ma’arif (Partai Bintang Reformasi), masing-masing sebagai Wakil Ketua DPR—mengalahkan kandidat dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Endin A.J. Soefihara, yang mendapat 227 suara. Dalam Paket B, Endin didampingi tiga wakilnya, yakni Farhan Hamid (PAN), Ali Masykur Musa (PKB), dan E.E. Mangindaan (Demokrat). Malam itu 4 suara dinyatakan abstain dan 6 lainnya tidak sah.

Meski klimaks baru terjadi malam itu, pertarungan sesungguhnya sudah dimulai sebelum pemilu 20 September lalu. Menjelang pemilu, Megawati dan Golkar bergandeng tangan dengan membentuk Koalisi Kebangsaan bersama PPP dan Partai Bintang Reformasi (PBR) serta Partai Damai Sejahtera (PDS). Setelah Mega kalah, mereka berjanji akan memperkuat parlemen. Targetnya: menjadi kekuatan penyeimbang yang ”ekstra-kritis” terhadap pemerintahan Yudhoyono. Pembicaraan internal Koalisi bahkan sempat menyebutkan bahwa mereka akan menjatuhkan pemerintahan Yudhoyono dalam setahun (lihat majalah Tempo edisi 27 September-3 Oktober 2004).

Tapi tak ada yang tetap dalam politik. Pada detik terakhir, PPP justru meninggalkan Koalisi Kebangsaan. Rupanya, ada keributan serius dalam tubuh koalisi itu soal calon Ketua DPR. Partai berlogo Ka’bah itu tak setuju jika Golkar menyorongkan Agung Laksono sebagai calon ketua parlemen. Menurut Ketua PPP Surya Dharma Ali, salah satu pertimbangan menolak Agung adalah ”soal latar belakang Agung”. Surya enggan memerinci apa yang dimaksudnya sebagai ”latar belakang” itu. Alasan lain: PPP lebih suka wakil dari PDI Perjuangan sebagai ketua. ”Ini wujud dukungan kepada Mega-Hasyim,” kata Ketua Umum PPP Hamzah Haz.

Setelah cabut dari koalisi, PPP justru mengajukan calonnya sendiri, Endin A.J. Soefihara, dalam bursa calon Ketua DPR. Menurut Surya, keputusan itu diambil Hamzah Haz dalam rapat di kediaman Megawati sehari sebelum hari pemilihan Ketua DPR RI di Senayan. Waktu itu, rapat di Kebagusan bahkan sempat tertunda. Dari balik pagar rumah Mega, para tokoh dari partai yang berkoalisi itu pulang satu per satu. Malam itu, Hamzah Haz, yang biasa rajin berkomentar, memilih bungkam kepada wartawan.

Sejak itu, PPP menyatakan tidak mau lagi bergabung bersama Koalisi. Partainya, kata Surya Dharma, telah banyak berkorban dengan masuk Koalisi. ”Termasuk bergabung dengan Partai Damai Sejahtera,” ujarnya. PPP adalah partai politik dengan warna Islam yang kental, sedangkan PDS berideologi Kristen.

Majunya Endin A.J. Soefihara sebagai calon Ketua DPR sontak mengubah peta politik di Senayan. Kubu yang berseberangan dengan Koalisi menyambut gembira. Surya Dharma mengklaim pencalonan Endin didukung oleh PKS, PAN, PKB, Partai Demokrat, dan Partai Bulan Bintang. Dia menghitung, gabungan partai ini bakal menggembungkan suara kandang mereka. ”Ini sudah kesepakatan bersama,” ujarnya mantap.

Golkar kabarnya cukup terpukul dengan hengkangnya PPP ini. ”Ya, sudah, mau bilang apa lagi?” kata pengurus Golkar Mahadi Sinambela, ”Jika dibeginikan, boleh juga sekali-sekali kami tak tepat janji terhadap PPP.”

Menurut seorang anggota parlemen dari PKS, kubu mereka sebenarnya sadar benar Koalisi bisa lenggang-kangkung mendapat kursi Ketua DPR. Jika digabungkan, suara Koalisi lebih dari cukup untuk menguasai sidang (lihat Wajah Baru Gedung Bulus). Cara satu-satunya untuk melawan mereka adalah dengan mencuri suara dari partai penyokong Koalisi sendiri. ”PPP dianggap bisa dipengaruhi karena dasar mereka bergabung dengan Koalisi tak kuat,” kata sumber itu.

Di mata PKS, bukan PPP benar yang jadi tujuan. ”Yang penting bagi kami Ketua DPR bukan dari Golkar dan PDIP.” Keduanya dianggap oleh partai dakwah itu sebagai representasi kekuatan lama.

Maka, sejak Senin pekan lalu, pembicaraan untuk merangkul PPP itu dimulai. Sejumlah pemimpin fraksi non-Kebangsaan diutus untuk menemui Hamzah Haz. ”Rencana ini juga dikonsultasikan dengan Jusuf Kalla,” kata sumber itu. Kalla adalah pengurus Golkar dan calon wakil presiden dari kubu Yudhoyono. Nama Endin pun diusung untuk menyaingi Agung Laksono.

Tapi yang tak dipertimbangkan Endin dan kawan-kawan adalah unsur PKB. Partai bintang sembilan ini rupanya bermain dua kaki. Di Paket B, mereka mengirimkan Ali Masykur Musa. Tak dinyana, kubu Koalisi berhasil memecah kekuatan dengan membujuk Muhaimin Iskandar bergabung dengan Paket A. Standar ganda PKB sempat diinterupsi peserta sidang. Namun interupsi itu tak diacuhkan dan lewat begitu saja. Ketika pemilihan, banyak suara PKB yang masuk ke Muhaimin. Jadilah suara PKB menggantikan PPP di koalisi itu.

Sejauh ini, posisi partai papan tengah seperti PKB, PAN, dan PPP memang sangat signifikan. Dengan memegang 50-an kursi di DPR, mereka bisa menjadi penentu kemenangan. Posisi itulah yang disadari betul oleh para petinggi PKB.

Itulah sebabnya, sebelum persaingan mengerucut pada Endin dan Agung, calon independen dari PDI Perjuangan, Arifin Panigoro, sempat pula mencoba bergerilya melalui partai papan tengah ini. Dia menyiapkan diri sebagai ketua dengan mengajak Hatta Radjasa (PAN), Chozin Chumaidy (PPP), dan Muhaimin Iskandar (PKB) sebagai calon wakil ketua. Tapi Arifin tak bisa mendapatkan syarat yang diminta PPP: restu dari Megawati.

Arifin bahkan sempat menemui tokoh PKB K.H. Abdurrahman Wahid setelah Rabu pekan lalu membangun citra sebagai politisi reformis dengan meluncurkan dua buku. Bertempat di kantor Nahdlatul Ulama di Jakarta, bos kelompok bisnis Medco itu meminta dukungan dari Gus Dur. Menurut juru bicara Gus Dur, Adhi Massardi, keinginan Arifin ini direspons positif oleh Gus Dur. Bekas Presiden RI itu mengharapkan Arifin mau melakukan perubahan di dalam PDIP. Soal Ketua DPR, Gus Dur hanya menjawab enteng: ”Saya sih sudah enggak ikut-ikutan kayak gitu,” ujar si Gus seperti ditirukan Adhi.

Arifin membantah jika disebutkan pertemuannya dengan Gus Dur itu untuk meminta dukungan. Katanya, ia bertemu dengan si Gus hanya untuk minta nasihat. Tapi dia tak keberatan jika Gus Dur ingin menyokongnya sebagai Ketua DPR. ”Itu tergantung Gus Dur-lah,” ujar Arifin.

Arifin terbukti tak mampu bertahan. Ia harus mengakui gerilya kubu Koalisi.

Persoalannya: bisakah kemudian Koalisi Kebangsaan menguasai suara parlemen hingga lima tahun ke depan? Atau seperti yang dikhawatirkan banyak orang: mendikte pemerintahan Yudhoyono, bahkan menjatuhkannya sebelum 2009 nanti?

Menurut pengamat politik Andi Mallarangeng, Koalisi Kebangsaan tak efektif menjatuhkan presiden. Sistem politik, kata dia, sudah berubah. Sekarang yang berlangsung adalah sistem presidensial cenderung murni. ”SBY juga dipilih langsung oleh rakyat,” ujarnya.

Selain itu, Garis-Garis Besar Haluan Negara ditetapkan oleh presiden terpilih dan presiden tidak punya kewajiban melapor kepada MPR. ”Kecil sekali kemungkinan untuk dijatuhkan,” kata Andi. Presiden memang bisa dijatuhkan dengan prosedur impeachment. Artinya, presiden harus terbukti melakukan kejahatan berat—misalnya berkhianat kepada negara—melakukan korupsi-kolusi-nepotisme, dan terkena pidana berat serta melakukan perbuatan tercela. Pengaduan pelanggaran pun harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dipastikan apakah perbuatan itu termasuk dalam empat kategori tadi. Setelah itu, baru diajukan ke MPR. Lalu, jika dua pertiga anggota MPR setuju, barulah terjadi pemecatan.

Menurut Fahmi Idris—anggota Golkar yang dipecat karena memihak kubu Yudhoyono—jika pun nanti pemerintahan Yudhoyono dijegal parlemen, presiden bisa saja berdialog langsung dengan rakyat dan mengatakan kebijakannya tidak didukung legislatif. Dengan kemenangan dalam pemilihan presiden langsung, ”Bisa-bisa parlemennya yang diserbu rakyat,” kata Fahmi.

Mungkin karena optimisme itulah Yudhoyono sendiri tetap kalem menanggapi perkembangan di Gedung MPR/DPR. ”Rakyat sekarang sudah cerdas. Kalau ada lembaga seperti DPR atau presiden melakukan tindakan yang tidak-tidak, tentu rakyat tidak bisa terima,” ujarnya.

AZ/Nezar Patria, Istiqomatul Hayati, Ecep S. Yasa, Rochman Taufiq (Madiun)


Wajah Baru Gedung Bulus

Fraksi Partai Golkar: 127 kursi
Fraksi PDI Perjuangan: 109 kursi
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan: 57 kursi
Fraksi Partai Demokrat*: 57 kursi
Fraksi Partai Amanat Nasional: 53 kursi
Fraksi Kebangkitan Bangsa: 52 kursi
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera: 45 kursi
Fraksi Partai Bintang Reformasi: 14 kursi
Fraksi Partai Damai Sejahtera: 13 kursi
Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi**: 20 kursi

Catatan:
*Bersama Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
** Gabungan dari Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan, Partai Pelopor, Partai Penegak Demokrasi Indonesia, dan PNI Marhaenisme.

Jumlah anggota DPR muka lama: 152 kursi/27,27 %
Jumlah anggota DPR muka baru: 398 kursi/72,73 %

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus