Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Vaya Con Dios Senayan

Akbar Tandjung dan Amien Rais lengser dari parlemen. Amien kembali ke kampus, Akbar berharap tetap memimpin Golkar.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suatu hari pada tahun 2003 lalu. Dengan sarung dan peci di kepala, Muhammad Amien Rais beraksi di depan kamera. Lampu bersetrum tinggi sudah dipasang di garasi rumah dinas Ketua MPR itu di Jalan Widya Chandra IV Nomor 16, Jakarta Selatan. Sejumlah pembantu rumah tangga dan petugas keamanan tersenyum menyaksikan aksi majikan mereka.

”Maaf, bisa tersenyum, Pak,” kata Tempo yang memotret Amien sehabis sebuah wawancara khusus. Lebih dari sekadar mesem, Amien beraksi. Ia mengangkat pecinya dan memasangnya miring seperti seorang tukang sate. Kali yang lain, ia terkekeh tanpa diperintah. Seperti fotomodel kawakan, Amien tahu apa yang diinginkan sang juru potret: seorang Amien Rais yang rileks meski ia pejabat tinggi.

Tak sulit meminta Amien beraksi. Ia pernah dipotret majalah ini sambil memegang bingkai kosong. Ia pernah juga diminta menyapu lantai kotor. Kali yang lain, tak sungkan Amien mempersilakan mat kodak mencuri fotonya ketika ia beristirahat di kamar tidur.

Tapi semuanya berakhir. Amien memang tetap ramah, tapi ia bukan lagi pejabat tinggi. Rumah dinasnya pekan lalu ia tinggalkan. Di sana yang tertinggal hanya petugas keamanan yang menunggu rumah lengang.

Di ruang tamu, tak terlihat lagi barang-barang pribadi. Foto keluarga jepretan Darwis Triadi yang biasanya menghiasi setiap dinding tak lagi tampak. Perabot yang tersisa hanya seperangkat kursi tamu dan peralatan kantor.

Amien Rais, sang tuan rumah, berada di dalam kamar, sibuk berkemas. Tak banyak yang dibereskan mantan Ketua MPR itu. Hanya sisa-sisa barang pribadi yang bisa sekali bawa. ”Soalnya, hampir semua sudah diangkut,” kata Eddy Soeparno, sekretaris pribadi Amien Rais.

Semua barang pribadi itu sudah diboyong dengan truk ke Yogyakarta pada Jumat dua pekan silam. Sejumlah perangkat kerja juga sudah diangkut ke Kantor Pusat Partai Amanat Nasional (PAN), Jalan Tebet Dalam VII Nomor 2, Jakarta—sampai kongres PAN tahun depan, Amien masih menjabat sebagai ketua umum partai. Selebihnya ditaruh di Jalan Taman Gandaria, Jakarta Selatan, rumah seorang kader PAN yang dipinjamkan jika Amien Rais ke Jakarta.

Amien memang sudah siap berkemas. Padahal ia masih punya kesempatan untuk tinggal di rumah itu hingga dua bulan kemudian. ”Tapi beliau tak mau. Begitu selesai, ya, pindah,” ujar Eddy. Tiga hari sebelum anggota MPR baru diresmikan, Jumat silam, Amien sudah mengosongkan rumah dan kantornya.

Kantornya, yang berukuran 9 x 10 meter persegi, juga terlihat lengang. Hanya tersisa satu set meja kerja, sofa, dua televisi, satu lambang burung garuda, satu jam dinding, dua rak buku yang sudah kosong, dan satu lukisan panorama.

Amien terakhir mampir ke ruang kerjanya pada Ahad dua pekan lalu, seusai menutup persidangan MPR. Tak ada yang dikerjakan Amien kecuali berfoto bersama staf sekretariat jenderal dan tim kerjanya, juga pemimpin MPR lainnya. Selanjutnya, mantan Ketua PP Muhammadiyah itu pulang ke rumahnya. Hari itu juga Amien menyerahkan mobil dinasnya. Selama lima tahun, Amien tak menggunakan sopir dan ajudan yang disediakan negara. Dia memilih menggunakan sopir dan ajudan pribadi dari orang-orang dekatnya.

Sidang MPR 1999-2004 yang ditutup Ahad, 26 September 2004, jadi momentum Amien pamit diri. ”Good-bye untuk semuanya,” kata Amien saat menyerahkan palunya dalam persidangan terakhir.

Dengan palu itulah Amien pernah memutus nasib tiga presiden di negeri ini: B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Habibie berhenti sebagai presiden karena pidato pertanggungjawabannya ditolak MPR dalam Sidang Umum 1999. Presiden Abdurrahman Wahid lengser dalam Sidang Istimewa MPR 2001. Pada saat yang sama, Amien mengantarkan Megawati Soekarnoputri menjadi presiden dan Hamzah Haz menjadi wakil presiden.

Palu itu pula yang mengantarkan karya penting Amien Rais: amendemen UUD 1945. Satu yang terpenting dari amendemen itu adalah diberlakukannya pemilihan presiden langsung dalam Pemilu 2004. Amien memang ikut bertarung dalam pemilu itu. Tapi ia tak beruntung.

Perpisahan Amien itu dirayakan secara khusus. Di salah satu ruangan di Gedung MPR, Amien mencukur kucir anggota DPR Alvin Lie yang dipelihara selama tiga tahun. Salah satu koboi Senayan dari PAN ini punya nazar: akan memotong kucirnya setelah masa bakti MPR berakhir. Dan yang memotong harus Amien Rais. ”Bismillahirrahmanirrahim. Selamat tinggal masa lalu, selamat datang masa depan yang lebih cemerlang,” kata Amien. Dan kres, kucir rambut sepanjang 20 sentimeter itu terpotong. Adegan lucu ini mengundang tawa hadirin. Alvin Lie hanya tersenyum.

Sebagai hadiah menjelang pensiun, Amien mendapat tiga undangan. Ia diminta menjadi pembicara utama di Konferensi Islam di Perth, Australia. Lalu ia juga diundang parlemen Turki untuk membicarakan masa depan dunia Islam. Terakhir, ia diundang ke Washington untuk menjadi panelis dalam seminar yang diadakan Concern on American Islamic Relations. ”Saya tidak akan nganggur,” kata Amien sambil terkekeh. Setelah itu, ia juga akan menengok sahabatnya, bekas Deputi Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang tengah berobat di Alpha Clinic, Muenchen, Jerman. Ia juga akan menemani dua anaknya, Tasniem dan Haqi, serta istrinya, Kusnariyati, yang akan mengikuti kursus bahasa Inggris di Singapura.

Laiknya Amien Rais, Akbar Tandjung juga punya cara sendiri untuk berpamitan. Sebuah kejutan disiapkan Akbar saat menutup rapat paripurna terakhir DPR periode 1999-2004, Kamis malam. Acara itu tak digelar di Ruang Rapat Gedung Nusantara I, tapi di lantai 3 gedung yang baru saja diresmikan beberapa jam sebelumnya. Interiornya wah, desainnya megah, dan kursinya empuk. Saat gedung itu diresmikan, Akbar dan sejumlah pemimpin DPR sempat mencobanya. Kursi itu diputar-putar. ”Nanti malam, rapatnya dipindah di sini saja. Yang pertama dan terakhir,” katanya kepada staf sekretariat jenderal.

Di gedung itu pula malamnya Akbar berpamitan. ”Hari ini saya sudah mengakhiri tugas saya sebagai Ketua DPR. Di antara pimpinan DPR, hanya saya yang tak jadi anggota DPR lagi. Jadi, di gedung yang baru ini, saya berpamitan,” kata Akbar. Akbar mengaku senang. ”Di hari terakhir ini, saya puas. Setidaknya ada dua prasasti peresmian yang saya tanda tangani. Jadi, kalau suatu saat anak saya nanti datang ke sini, dia akan lihat. Tuh, ayahnya pernah jadi orang di sini,” katanya.

Acara pamitan juga digelar di ruangannya saat makan siang tiba. Puluhan orang bersukacita di depan ruang kerja Akbar. Sebagian besar anggota Fraksi Partai Golkar, partai yang dipimpinnya selama 6 tahun terakhir. Juga staf sekretariat jenderal, kolega partai, dan wartawan. Mereka menikmati hidangan prasmanan, bersalaman, bahkan berpelukan. Akbar menebar senyum.

Lima tahun memimpin DPR adalah pengalaman penting bagi Akbar Tandjung. Ketika memimpin parlemen, ia pernah melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid lewat memorandum. ”Para pendukung Gus Dur menghujat saya dan Pak Amien Rais. Darah kami berdua dinyatakan halal,” Akbar mengenang.

Saat menjadi Ketua DPR juga Akbar terjerat kasus Bulog. Ketua Umum Partai Golkar ini dituduh terlibat penyelewengan dana nonbujeter Bulog sebanyak Rp 40 miliar. ”Saya dipenjara dan diminta anggota DPR untuk mundur,” kata Akbar. Kasus itu pula yang membuat Akbar pernah merasakan hidup di bui meski cuma beberapa hari. Ia lolos dari penjara dan belakangan dibebaskan Mahkamah Agung.

Pekan lalu, tak cuma berkemas di kantor, Akbar berkemas di rumah dinasnya di Widya Chandra. Di situ ia tinggal sejak 1988. ”Yang bikin sedih, rumah itu banyak kenangannya buat kami. Tamu banyak datang dan pergi di rumah itu. Entah apakah di rumah baru tamunya juga sebanyak itu,” kata Akbar. Rumah baru yang dimaksud Akbar adalah rumah pribadinya di Jalan Purnawarman, Jakarta Selatan, yang sedang direnovasi. ”Sambil menunggu renovasi, kami ngontrak rumah di Sriwijaya,” katanya.

Selanjutnya, Akbar akan berkantor di Slipi, Jakarta Barat, sebagai Ketua Umum Golkar. Sampai musyawarah nasional Desember mendatang, Akbar masih memimpin partai berlambang beringin itu.

Akankah ia mencalonkan diri lagi dalam Pemilu 2009? Akbar menolak berbicara. Yang jelas, dalam musyawarah nasional mendatang, karier politik pria kelahiran Sibolga, 14 Agustus 1945, ini akan diuji. ”Seperti juga Pak Habibie, jika pertanggungjawaban saya ditolak, selesailah karier politik saya,” katanya.

Amien Rais menyatakan akan kembali ke kampusnya di Universitas Gadjah Mada. Ia juga tak berminat jadi presiden lagi. ”Usia saya sudah 65 tahun. Lebih baik percaya yang muda-muda saja,” kata Amien beralasan. Tapi ia tetap akan berpartai. ”Mungkin akan aktif di Majelis Pertimbangan Partai, semacam Majelis Syuro. Jadi, masih bolak-balik Jakarta-Yogyakarta,” katanya.

Ada kabar presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono akan meminta Amien menjadi penasihat senior presiden. ”Tawaran itu sedang dipikirkan masak-masak oleh Pak Amien,” kata salah satu orang dekat Amien Rais.

Widiarsi Agustina, Istiqomatul Hayati, Ecep S. Yasa,. Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus