Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMBARI melenggang lengang, Nursyahbani Katjasungkana menghunus telepon selulernya. Selarik pesan pendek menyembul: ”Awas, kondenya copot.” Belum sempat membalas itu pesan, dari barisan para perwira tinggi TNI di belakangnya Nursyahbani menangkap geguyon, ”Lihat tuh ibu-ibu, enggak bisa bedain pelantikan dengan pesta kawin, kondenya pake bunga segala.”
Nursyahbani menoleh, menukas santai, ”Saya enggak lho, Pak.” Dan tawa pun berderai. Begitulah Jumat pekan lalu, suasana pelantikan anggota baru DPR/MPR. Nursyahbani, aktivis perempuan itu, dilantik mewakili Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tanpa kebaya dan konde, perempuan 49 tahun itu merasa cukup mengenakan baju lamanya.
Perkara kesibukan, sih, Nursyahbani pasti makin repot. Ia masih Koordinator Jaringan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Indonesia, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan anggota Steering Committee Kartini Women and Gender Studies Network in Asia. Berbagai organisasi ini, katanya, tak akan ditinggalkannya.
Mewakili Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dilantik pula Rama Pratama, 30 tahun. Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) di awal reformasi ini ngetop sebagai salah satu motor unjuk rasa yang mengepung Senayan. Bersama 37 pimpinan senat mahasiswa se-Jakarta, Rama menduduki Gedung MPR/DPR, menginap di sana hingga Soeharto lengser. ”Saya merinding kalau mengingat itu,” katanya.
Menurut dia, ”Peristiwa enam tahun lalu itu adalah sejarah sekaligus pekerjaan rumah yang belum selesai, dan menjadi pertanggungjawaban moral saya.” Ayah dua anak ini berjanji akan tetap memperjuangkan hak-hak rakyat. Sementara dulu lewat aksi jalanan, kini di parlemen. Ia pun menyiapkan diri masuk bidang yang akan didudukinya, Komisi IX, yang mengurus masalah ekonomi.
Kini ia rajin menyimak berita ekonomi makro. ”Pernah sudah bolak-balik saya baca, tapi tetap tak mengerti,” katanya, ketawa. Meskipun lulusan fakultas ekonomi, Rama terbiasa berkonsentrasi pada hal-hal mikro, terutama akuntansi. Kalau sudah puyeng, biasanya Rama bertanya pada istrinya, Alin Halimatussadiah, yang juga lulusan FE-UI.
Selain berdiskusi dengan istrinya, kini Rama juga asyik mondar-mandir ke almamaternya. Bukan untuk menyiapkan aksi unjuk rasa, tentu, melainkan belajar dan berdiskusi dengan teman-teman lama dan para dosen. ”Saya ingin menjadi wakil rakyat yang menguasai masalah,” katanya.
Untuk urusan menguasai masalah ini, Angelina Sondakh tak kalah lincah. Putri Indonesia 2001 yang akan mengawali kariernya di lembaga legislatif itu mewakili Partai Demokrat. Menjelang pelantikannya, Angie sengaja melakukan studi banding ke parlemen di Amerika Serikat. Pulang dari sana, perempuan 27 tahun itu sudah ditunggu setumpuk buku soal rancangan dan undang-undang kepariwisataan, komisi yang akan digelutinya. Ia mempekerjakan beberapa mahasiswa magang untuk membantunya membuat ringkasan.
Dede Yusuf, 38 tahun, tak kalah sibuk. Aktor dan presenter ini mewakili Partai Amanat Nasional (PAN). ”Kondisi riil masyarakat kita masih miskin,” katanya serius kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Ia pun lalu bercerita soal kesejahteraan para guru, nasib para petani yang diimpit harga pupuk, dan seribu satu masalah lain.
Dede belum tahu akan ditempatkan di komisi mana. Kalau boleh memilih, ia lebih suka komisi yang ada hubungannya dengan teknologi, atawa seni budaya. Penggemar buku sastra dan filsafat itu kini banting setir melahap buku perundang-undangan. ”Sepertinya belajar 120 SKS dalam lima tahun,” kata eks mahasiswa Jurusan Teknik Industri Universitas Trisakti itu.
Pendatang lain di Senayan adalah Apri Hananto Sukandar, 37 tahun, dari Partai Damai Sejahtera (PDS). Sopan bertutur, cermat memilih kata, Apri sejatinya penginjil. Sebelum masuk Senayan, Apri giat berceramah dari gereja ke gereja, juga melayani persekutuan kampus dan persekutuan doa.
Dunia parlemen benar-benar gelap bagi Apri. Toh, ia menjalaninya sebagai ”panggilan Tuhan”. Lagi pula, menurut Apri, pekerjaan yang akan diembannya di DPR tak akan jauh-jauh amat dengan tugasnya sebagai penginjil. ”Bedanya, di DPR saya akan menjadi pelayan seluruh rakyat,” tuturnya.
Untuk menjadi pelayan yang baik, Apri mengubah sedikit penampilannya. Sementara biasanya cukup mengenakan kemeja, kini ia mengenakan jas. Karena selama jadi penginjil Apri hanya punya satu setel jas, ia pun memesan tiga setel jas baru. ”Yang ini belum lama saya pesan,” ujarnya tentang jas dengan motif kotak-kotak yang dikenakannya.
Apri juga membeli dua pasang sepatu kulit sekaligus. Saat geladi bersih pelantikan Kamis pekan lalu, entah kenapa pulangnya sepatu baru itu sudah robek. Tak hanya sebelah, tapi dua-duanya sekaligus. ”Padahal sepatu itu tidak murah-murah amat,” ujar Apri tergelak, seraya menyebut angka Rp 300 ribu untuk sepatu yang robek itu.
Sosok agamawan lain yang wajah beningnya tampil di Senayan adalah K.H. Rahmat Abdullah, 41 tahun. Di kalangan Islam Indonesia, Ketua Yayasan Islam Iqro’ Bekasi ini dikenal sebagai ”syaikhut tarbiyah” atau yang ”dituakan dalam gerakan pendidikan”. Posisinya sebagai Ketua Majelis Syuro, lembaga tertinggi di struktur Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mencerminkan betapa Ustad Rahmat—begitu ia biasa disapa—benar-benar dituakan.
Senayan tentu saja barang baru buat Ustad Rahmat. Maka, sejak beberapa pekan lalu berjenis-jenis buku perundang-undangan dan proses legislasi ia simak dengan saksama. ”Sampai sekuintal beratnya,” kata pria berjanggut putih itu sambil menunjuk sebagian buku yang dibawanya ke kamarnya di Hotel Mulia. Sama seperti yang lain, ia pun menyiapkan setelan jas baru. Harganya cuma Rp 40 ribu. ”Tidak bermewah-mewah, asal sopan,” ujarnya.
Agus Hidayat, Dimas Adityo, Indra Darmawan, Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo