Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Segalanya, Demi Rumah Satu Miliar

Empat belas peserta reality show Penghuni Terakhir di ANTV berebut rumah Rp 1 miliar. Ada yang pusing akibat tersumbat hasrat biologisnya.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Raut muka Wulansari Hartono, 35 tahun, seperti kepiting rebus. Merah menahan amarah. Tak lama, suara tangis perempuan yang menjadi dokter gigi di Rumah Sa-kit Umum Karawang ini meledak. Wulan baru melakukan malpraktek? Bukan, ia tengah bersitegang dengan Ernesta Olivia dan Purnama Ginting, dua perempuan yang tinggal serumah dengannya. Soalnya sepele. Ernesta dan Purnama mencaci-maki Wulan gara-gara seonggok pakaian dalam Wulan di wastafel. Adegan seru itu terjadi pada tayangan Penghuni Terakhir yang disiarkan ANTV pekan lalu. Jutaan pemirsa televisi tiap malam larut dalam adegan demi adegan pada reality show itu.

Ceritanya, 14 orang, antara lain Wulan, Ernes, Juli, Asep, dan Alex, tinggal bersama di sebuah rumah di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan. Mereka berkompetisi, saling menjegal dan menyebar intrik untuk menjadi penghuni terakhir di rumah tersebut. Nah, siapa pun yang mampu bertahan paling lama akan menjadi pemilik rumah yang bernilai Rp 1 miliar itu. Kalau berhasil, "Untuk mengganti rumah kami yang terbakar di Dili," ujar Ernes.

Rupanya, ANTV tak mau ketinggalan dengan stasiun televisi lain dalam tayangan reality show. Penghuni Terakhir—seperti Akademi Fantasi Indosiar (Indosiar), Indonesian Idol (RCTI), dan Kontes Dangdut Indonesia (TPI)—mencoba melibatkan emosi para pemirsa televisi. Setiap saat pemirsa bisa mengirim SMS untuk mendukung peserta favoritnya. Pemirsa televisi akan mengirim SMS untuk peserta yang dianggap paling baik dalam bersosialisasi di Penghuni Terakhir. Setiap akhir minggu, tiga peserta yang mendapat dukungan SMS terendah akan terancam diekstradisi. Salah satu dari mereka akan diusir dari rumah oleh seseorang yang menjadi "juru kunci".

Helmi Yahya, pemilik rumah produksi Triwarsana, yang membuat Penghuni Terakhir, mengaku terinspirasi oleh film Mindhunters. Film yang dibintangi Val Kilmer itu mengisahkan petualangan tujuh agen FBI di sebuah pulau terpencil. Alih-alih berhasil memecahkan kasus, para detektif itu malah tewas satu per satu. Dari sanalah, "Saya terinspirasi untuk membuat Penghuni Terakhir," ujar Helmi Yahya, yang akan mempatenkan konsep tayangan Penghuni Terakhir.

Ide Penghuni Terakhir itu kemudian dibicarakan dengan pihak ANTV. Setelah tercapai kesepakatan, ANTV dan rumah produksi Triwarsana membuka lowongan di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan. Psikolog Sartono Mukadis, artis Ria Irawan, dan presenter Monica Desideria menjadi juri untuk memilih 14 peserta dari ribuan pelamar. Agar acaranya menarik, tim juri sengaja memilih calon yang memiliki pelbagai karakter yang unik. Julianto Wibowo, 26 tahun, misalnya, adalah seorang lelaki dengan sifat feminin yang sangat kental. Meski bertubuh gempal, "Saya 50 persen laki-laki dan 50 persen perempuan," ujar Juli tanpa malu-malu. Lain lagi Alex Susanto, 25 tahun. Pemuda imut ini dibesarkan tanpa kasih sayang kedua orang tuanya. Sejak usia 10 tahun, Alex menjadi anak yatim. Ayah tirinya tak mau menerima Alex. Akhirnya, Alex muda itu harus hidup dan disekolahkan oleh sepupu dari neneknya dalam keadaan serba kekurangan.

Tapi inilah Penghuni Terakhir: 14 orang dengan karakter unik (terdiri dari tujuh laki-laki dan tujuh perempuan) hidup bersama di sebuah rumah. Mereka tak boleh keluar, tak boleh berinteraksi dengan pihak luar, bahkan tak boleh melakukan satu panggilan telepon pun. Untuk memantau aktivitas mereka, 20 kamera tersembunyi dipasang di pelbagai penjuru rumah. Hanya kamar mandi dan ruang ganti baju yang steril dari kamera tersembunyi. Percekcokan, senda gurau, dan curhat peserta dengan sangat jelas terdengar oleh pemirsa televisi. Tengok saja Pak Asep, ayah tiga orang anak itu, misalnya, yang mengeluh soal kebutuhan biologisnya yang mulai tersumbat. Sambil cengengesan, Julianto yang feminin itu mencoba menawarkan solusi. "Gimana kalau saya bantu?" kata Juli berseloroh. Para penghuni lain langsung tertawa renyah.

Ya, reality show yang melibatkan emosi jutaan pemirsa televisi, juga Penghuni Terakhir, kini menjadi tren baru. Perlahan, reality show menemukan satu format ampuh. Mereka menayangkan drama dari dunia nyata, sebuah lakon drama dengan pemain orang biasa. Ada penghargaan terhadap pemirsa sebagai sosok perkasa yang bisa "menghidupkan" dan "mematikan" para kontestan. Ada keuntungan besar yang dipetik stasiun-stasiun televisi dari keterlibatan pirsawan itu.

Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus