Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gold Coast bak kiblat bagi warga Australia sebulan terakhir. Kota kecil di Negara Bagian Queensland itu tiba-tiba riuh oleh kehadiran wartawan tulis, radio, televisi, dan warga dari kota-kota terdekat. Mereka datang ke situ hendak mendengar kisah tentang Schapelle Corby, gadis cantik yang kini meringkuk di penjara Kerobokan, Bali. Nona manis ini berasal dari Gold Coast. Para wartawan datang ke kota itu atas undangan tim pembela Corby yang dibentuk oleh Ron Bakir, seorang pengusaha Arab-Australia, simpatisan gadis berusia 27 tahun itu.
Schapelle Leigh Corby ditangkap di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali, 8 Oktober 2004. Aparat menemukan 4,2 kg mariyuana di papan selancarnya. Ia berdalih mariyuana itu bukan miliknya, tapi hakim yang mengadilinya menilai ia pemilik sah barang haram itu (lihat, Terlalu Ringan untuk Miss Corby). Mahasiswi cantik ini dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.
Selain membela di muka sidang di Bali, tim kuasa hukum itu juga berkampanye di kampung halaman di Gold Coast. Di hadapan wartawan yang berduyun-duyun ke situ, mereka terus berkampanye bahwa kliennya tak bersalah. Mariyuana yang terdapat di papan selancar itu, kata mereka, milik sindikat internasional yang diselipkan ke papan selancar milik Corby untuk mengecoh aparat di Sydney. Sindikat itu hendak memindahkan mariyuana ini dari Sydney ke Brisbane. Entah kenapa, bungkusan itu malah bablas jauh sampai ke Pulau Dewata.
Alur kisah ini seakan menjadi benar setelah sejumlah warga Australia bersaksi tentang kisah-kisah aneh yang mereka alami di Bandara Sydney. Ada satu orang berceritera, suatu ketika bajunya yang tersimpan di tas di bagasi dikeluarkan dan dipakai oleh pekerja bagasi bandara. Tapi, sesampai di Brisbane, tahu-tahu baju itu sudah ada lagi di kopernya. Kisah-kisah sejenis lainnya turut berseliweran dalam tayangan-tayangan televisi Australia. Semuanya mengarah pada satu titik bahwa terdapat sindikat kejahatan yang beroperasi dari Sydney ke Brisbane. Corby cuma gadis lugu tak berdosa salah satu korban sindikat itu. Tapi pengadilan Indonesia, kata pembela Corby, mengabaikan semua fakta itu. Corby begitu dina, dijebloskan ke penjara yang jorok dan sumpek.
Maka, mereganglah urat amarah sebagian warga Australia. Program talk back dan halaman-halaman situs penuh dengan umpatan dan caci-maki kepada para hakim di Bali. Hakim dituduh tidak berperikemanusiaan. Sikap itu, kata Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer, dibentuk oleh berita media karena, "Banyak praktisi media yang yakin bahwa Corby tak bersalah." Keyakinan itu menyebar ke seantero negeri, walau jumlahnya juga tak begitu banyak.
Kebencian terhadap Jakarta kian mendidih karena media Australia juga membandingkan kasus ini dengan kasus teroris di Indonesia. Media menonjolkan Abu Bakar Ba'asyir, yang dituduh media setempat terlibat bom Bali tapi cuma dihukum 30 bulan. Schapelle Corby tak bersalah, tapi dibui 20 tahun. Media Australia seolah lupa bahwa hakim senior yang memvonis Corby 20 tahun penjara adalah hakim yang menjatuhkan hukuman mati pada tiga pelaku bom Bali, yaitu Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron. "Saya menyebut hal itu berkali-kali, tapi tidak mendapat perhatian media," keluh Alexander Downer dalam wawancara khusus dengan Tempo, Jumat pekan lalu (lihat wawancara Alexander Downer: "Saya Sangat Marah"). Persepsi warga tentang pengadilan kasus Corby ini kian miring. Ancaman muncul satu per satu.
Bulan lalu, sepucuk surat meluncur ke kantor Konsulat Jenderal Indonesia di Perth. Dua butir peluru terselip di dalamnya. "Kalau Corby dihukum, peluru ini akan menembus kepala kalian," begitu bunyi ancaman yang tercantum di surat tersebut. Marty Natalegawa, juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia, membenarkan ancaman-ancaman itu. "Kalau ancaman melalui SMS dan telepon sudah amat banyak, termasuk ancaman-ancaman pembunuhan," kata Marty.
Ancaman paling menghebohkan adalah amplop berisi bubuk misterius yang dikirim ke kantor Kedutaan Indonesia di Canberra. Semula diduga bubuk itu berisi virus antraks (lihat, Teka-teki Serbuk Putih). Itu sebabnya kantor kedutaan dan pegawai yang ada di dalamnya sempat diisolasi. Setelah diperiksa, ternyata bubuk itu tidak berbahaya. Setelah ditutup beberapa hari, kedutaan dibuka kembali Jumat pekan lalu.
Pemerintah Australia mengecam keras tindakan itu. Perdana Menteri John Howard dan Menteri Luar Negeri Alexander Downer menyebut tindakan itu tak bertanggung jawab dan biadab. Alih-alih menenangkan urat amarah warganya, Howard dan Downer malah ikut-ikutan menjadi sasaran. Terutama sang Menteri Luar Negeri, yang dianggap terlalu bermanis-manis terhadap Jakarta. Jumat pagi pekan lalu, sebuah amplop berisi bubuk mencurigakan juga meluncur ke kantor Downer di gedung parlemen di Sydney. Polisi dan tim penyidik yang datang ke situ segera mengisolasi staf yang membuka amplop, juga orang-orang yang ada di sekitar lokasi itu. Belakangan diketahui bubuk itu juga tak berbahaya.
Siapakah pelaku tindakan teror itu? Hingga kini belum jelas benar. Polisi Australia masih memburu pelakunya. Alexander Downer berjanji akan mengusut kasus ini hingga tuntas. Dugaan sementara, pelaku adalah simpatisan Corby.
Repotnya, para simpatisan ini tak cuma mengancam, tapi juga menyeru kepada warga Australia untuk tak lagi melancong ke Bali. Seruan itu cukup meluas di Australia. Sejumlah spanduk yang ber-tuliskan boikot Bali dipasang di sejumlah jalan utama di Queensland. Ajakan yang sama juga disiarkan oleh sejumlah penyiar radio.
Ancaman itu tak pelak membuat pening sejumlah pengelola pariwisata di Bali. Kesalahpahaman soal kasus Corby bisa berubah menjadi malapetaka bagi kepariwisataan Bali, yang masih rapuh sejak bom Legian meledak, 12 Oktober 2002. Aksi boikot itu bisa-bisa menjadi "bom kedua" yang meluluh-lantakkan dunia pariwisata di pulau itu. Kecemasan itu beralasan. Sebab, Australia merupakan salah satu negara penyumbang wisatawan terbanyak ke pulau itu. Jumlah wisatawan Australia ke Bali terus meningkat dua tahun terakhir.
Selama tahun 2004, jumlah pelancong dari negeri di sebelah selatan Indonesia itu mengalami kenaikan 92,44 persen bila dibandingkan dengan tahun 2003. Sepanjang tahun 2005 ini tercatat sekitar 22.244 pelancong Australia datang ke sana.
Itu sebabnya, pertengahan Mei 2005 lalu, sembilan pemegang saham Bali Tourism Board menggelar pertemuan dengan petinggi sejumlah hotel bintang lima di Bali, membahas antisipasi meluasnya aksi boikot itu. Gubernur Bali, Dewa Mde Beratha, berharap kasus ini tidak mengganggu arus pelancong dari Australia ke provinsi itu. "Bali adalah rumah kedua bagi warga Australia," ujar Beratha dalam acara minum kopi dengan para pelaku pariwisata Bali, Jumat pekan lalu. Sang Gubernur meminta agar pelaku pariwisata jangan panik.
Jakarta memang belum bereaksi keras atas berbagai ancaman dari Negeri Kanguru itu. Departemen Luar Negeri RI cuma memerintahkan seluruh konsulat Indonesia di Australia supaya waspada. Wakil Presiden Jusuf Kalla memahami reaksi emosional sebagian warga Australia itu. Reaksi itu terjadi karena penyelundup itu seorang perempuan muda dan cukup cantik sehingga bisa menimbulkan persepsi macam-macam. "Kalau Corby itu seorang laki-laki dan bertato, saya kira mungkin orang Australia tak peduli," kata Kalla. Namanya juga reaksi emosional. Bisa sesaat, bisa timbul-tenggelam.
Pemerintah Australia pada Jumat malam pekan lalu akhirnya mengeluarkan travel advice. Isinya, mengimbau warga Australia agar tak bepergian dulu ke Indonesia. Canberra juga meminta anak-negeri Kanguru yang masih berada di Indonesia agar segera pulang kampung. Kasus Corby, disusul teror di KBRI Canberra, bagai kerikil yang tiba-tiba melenting ke dalam sepatu dua jiran yang sama-sama besar: Indonesia dan Australia.
Wenseslaus Manggut (Jakarta), Dewi Anggraeni (Sydney, Australia), Rilla Nugraheni (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo