Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Napoleon kalah, hidup Napoleon! Semangat inilah yang berkumandang di Waterloo menjelang akhir adegan reka ulang pertempuran. Walau pasukan Inggris merangsek maju dan bendera mereka berkibar di wilayah pasukan Prancis, yang paling bergaya dan dielu-elukan para penonton adalah pemeran Napoleon. ”Hidup Kaisar!” seru mereka.
Pengacara Prancis yang memeran kan Napoleon, Frank Simpson, berujar: ”Saya tidak bisa dikatakan kalah. Tidak ada yang berkata, ’Hidup Wellington,’ tadi. Saya akan kembali tahun depan, lagi dan lagi.” Entah kenapa, panitia memastikan memang tak ada pe meran Wellington tahun ini.
Di luar absennya Wellington, para pehobi dan komunitas reka ulang pertempuran-pertempuran bersejarah memang menemukan idaman mereka dalam acara-acara semacam ini. ”Peringatan sebesar ini terjadi setiap lima tahun sekali,” kata Bernd Wickmann, seorang peserta dari Berlin, Jerman.
Ia berkendara 800 kilometer bersama rombongan dan atas biaya sendiri. ”Memang ada subsidi dari penyelenggara 35 euro per orang,” kata Wickmann, yang bekerja sebagai pegawai pemerintah daerah Berlin.
Subsidi sebesar itu tak begitu berarti. Untuk biaya bensin saja, tiap mobil menghabiskan sekitar 200 euro (sekitar Rp 2,3 juta). Belum lagi biaya persiapan, juga makan-minum di jalan dan selama mengikuti acara. Untuk seragam dan perlengkapannya pun sudah ratusan hingga ribuan euro dihabiskan. Itu belum termasuk senapan hingga artilerinya.
Selain soal perlengkapan dan pengetahuan sejarah, para pereka ulang itu harus terampil dalam baris-berbaris dan keterampilan militer lainnya. Di Jerman, menurut Wickmann, untuk para penggemar reka ulang, ada latih an selama seminggu dan ujian tertulis untuk menangani bubuk mesiu, termasuk menembakkannya. Melanggar izin itu, mereka bisa ditahan dengan ancaman sampai dua tahun tahanan. Aturan ketat ini banyak membantu untuk mencegah kecelakaan.
Yang membuat para penggiat komunitas menggemari acara reka ulang pertempuran bersejarah adalah suasananya. ”Kembali ke masa 200 tahun lalu. Tanpa telepon seluler, komputer, listrik, kacamata hitam, dan fast food. Tidur di tenda-tenda, di atas jerami. Sangat romantis!” kata Wickmann.
Di luar kepuasan yang didapat oleh para peserta, tentunya ada pesan lain yang terkandung dalam peringatan semacam itu, seperti nilai-nilai perdamaian. Louis-Napoleon Bonaparte-Wyse, 74 tahun, salah satu keturunan Napoleon, mengutarakan secara demo kratis kepada The Times soal reka ulang kekalahan leluhurnya itu, ”Sangat melegakan melihat bahwa hampir 200 tahun setelah pertempuran itu, Inggris, Prancis, dan Jerman dapat memperi gati bersama-sama secara bersa habat.”
Tentunya, kepuasan peserta, tersampaikannya makna peringatan, dan meriahnya pengunjung membuat gembira pihak penyelenggara dan pengelola monumen peringatan Pertempuran Waterloo. Dari jumlah pengunjung tahunan yang mencapai 300 ribu orang ke monumen itu, lebih dari 20 persen datang bertepatan dengan acara itu, dan hampir 60 persen warga asing.
Jumlah ini terasa luar biasa bila datang ke tempat itu di hari biasa. Tanpa adanya acara, tempat itu hanyalah hamparan dataran pertanian dengan bukit berpatung singa serta beberapa bangunan museum, pusat kun jungan, diorama, dan kafe. Dengan pengelolaan yang baik dan acara demi acara diselenggarakan, nama Napoleon dan Waterloo tetap menjadi daya tarik utama para pengunjung.
Berkaca pada Waterloo, sebetulnya kemampuan satu tempat untuk menarik pengunjung dan melestarikan nilai sejarahnya tidaklah harus megah, mewah, dan berbiaya besar. Suatu tempat bersejarah nilai utamanya adalah keaslian, konteks, dan informasi. Dipadu dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik, ia bisa menjadi warisan bersejarah yang hidup dan dinamis.
Di Indonesia, walaupun terlambat, upaya ke arah itu sedang berlangsung. Salah satunya adalah upaya dari Pusat Dokumentasi Arsitektur yang menindaklanjuti data dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dalam mendokumentasikan benteng-benteng di Indonesia. Dari 279 benteng di 33 provinsi, hanya 16 yang masih terpelihara. Yang lainnya tinggal reruntuhan atau sisa-sisanya saja.
Benteng yang masih terpelihara salah satunya adalah Fort Rotterdam di Makassar. Pemilik dan pengelolanya adalah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Saat ini ia digunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Pening galan Purbakala Makassar dan Museum La Galigo.
”Saat ini benteng itu telah menjadi ruang publik bagi masyarakat Makassar. Mereka, selain masuk ke museum, duduk-duduk di pelataran benteng. Ada yang bawa anak sambil bersepeda, main layangan. Asyik kalau sore-sore ada di benteng itu,” cerita Nadia Rinandi, Direktur Eksekutif Pusat Dokumentasi Arsitektur.
Selain itu, ada Benteng Vredeburg di Yogyakarta, Benteng Van der Wijk di Gom bong, dan Benteng Victoria di Ambon yang secara fisik masih cukup tera wat.
Yang berkaitan dengan era Napoleon hanya Benteng Lodewijk di Gresik, yang dibangun pada masa Herman Willem Daendels (1808-1811), selain bangunan pertahanan di Jatinegara, Jakarta. Da endels ditugaskan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Napoleon setelah Belanda mengakui Kekaisaran Prancis. Dalam bentuk lain, sarana pertahanan yang monumental adalah Jalan Raya Pos yang terkenal itu.
Belajar pada pengelolaan warisan-warisan bersejarah di negara-negara maju, terlihat peran pelestarian sejarah tak semata-mata diambil oleh pemerintah. Paduan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat madani dalam bentuk komunitas-komunitas penggemar sejarah dapat memberikan bobot kepada sebuah lokasi menjadi ”sejarah yang hidup”. Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia dengan Badan Pelesta rian Pusaka Indonesianya yang berasal dari masyarakat sipil bisa menjadi mitra awal yang baik.
Tentu, upaya pelestarian kawasan bersejarah tak langsung sebaik pengelolaan Medan Pertempuran Waterloo, karena mereka pun masih punya pekerjaan rumah. Paling tidak untuk peringatan 200 tahun Pertempuran Waterloo, mereka harus punya peme ran Wellington.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo