Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perang yang Gembira di <font color=#990000>Waterloo</font>

Kekalahan dalam pertempuran di Waterloo pada 18 Juni 1815 mengakhiri kekuasaan Napoleon Bonaparte sebagai Kaisar Prancis. Peristiwa di kota yang kini merupakan wilayah Belgia ini mengakhiri konfrontasi di Eropa dan membuka jalan bagi era perdamaian di benua itu. Kontributor Tempo, Tantyo Bangun, berkesempatan menyaksikan dan merekam peringatan 195 tahun dan reka ulang besar-besaran pertempuran itu bulan lalu.

26 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam tak berbintang. Angin pada pengujung musim semi bertiup cukup kuat. Di tengah temaram lampu, ladang gandum yang mulai ranum itu bergemerisik tersibak. Dua sosok berkuda mendekat ke arah pagar tali pembatas calon medan pertempuran dua hari lagi. Mereka lalu berhenti dan menghadap ke arah pesta kembang api yang sedang berlangsung. Seorang penonton berbisik kepada temannya seolah takut kede ngaran, "Itu 'Napoleon'."

Napoleon Bonaparte, salah satu tokoh besar dalam sejarah Prancis dan Eropa, masih menyisakan karisma setelah hampir 200 tahun kekalahannya di medan perang Waterloo, Belgia. Malam itu, 18 Juni lalu, pesta kembang api berlangsung meriah sebagai bagian pertama dari rangkaian peringatan ke-195 Pertempuran Waterloo. Dalam udara yang menggigilkan itu langit menghangat oleh ledakan petasan dan semburat warna-warni api di udara. Tak banyak hadirin sadar dengan munculnya "Napoleon", yang dengan tenang menikmati meriahnya kembang api bersama kompatriotnya, Jenderal Ney, hingga lewat tengah malam.

Malam itu memang kontras dengan kondisi malam ketika Pertempuran Waterloo yang sesungguhnya akan dimulai. Walau dinginnya cukup menusuk tulang, hujan hanya turun rintik-rintik dan sporadis. Panitia pun sudah sigap melihat peluang: menjual selimut hijau bertemakan peringatan Pertempuran Waterloo, yang laris manis. Anggur merah dan minuman hangat beredar.

Sebaliknya, 195 tahun lalu, pasukan Napoleon jangankan beristirahat, untuk memasak saja mereka kesulitan karena hujan turun pada pengujung musim semi. Kayu bakar menjadi basah sehingga api di perkemahan pasukan sulit menyala. Belum lagi mereka kelelahan karena harus berjalan jauh mengejar posisi Pasukan Koalisi Ketujuh di bawah pimpinan Duke of Wellington yang dalam posisi bertahan di Waterloo.

Saat itu Napoleon melakukan upaya terakhir untuk mempertahankan kekuasaannya dengan melancarkan serangan ke Waterloo. Seratus hari sebelumnya, pada 26 Februari 1815, ia melarikan diri dari pengasingan di Pulau Elba dan kembali ke Paris. Dalam waktu singkat ia berhasil mengumpulkan sekitar 200 ribu tentara. Ia tidak menunggu, karena sejarah kekuasaannya memang berisi rangkaian pepe rangan dengan medan perang mulai Jerman hingga Rusia di utara, Italia hingga Spanyol dan Portugal di selatan, bahkan sampai ke Mesir, Turki, dan Iran di Timur Tengah.

Koalisi kerajaan Eropa yang terdiri atas Inggris, Belanda, Rusia, Prusia, dan Austria berang begitu mendengar Napoleon melarikan diri. Mereka menyatakan Napoleon melanggar hukum dan langsung membentuk kekuatan gabungan, Koalisi Ketujuh, yang dipimpin Duke of Wellington dari Inggris dan Gebhard von Blcher dari Prusia (sebagian besar wilayah Jerman sekarang). Pasukan gabungan bergerak ke selatan hingga Waterloo, yang saat itu masih wilayah Kerajaan Belanda kini berjarak sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Brussel, Belgia.

Mengapa kerajaan-kerajaan Eropa cemas terhadap Napoleon? Sebagian pendapat menyatakan Napoleon ingin menyebarluaskan ide demokrasi liberal Revolusi Prancis pada 1789 ke seluruh Eropa. Ketika revolusi meletus, Napoleon berumur 20 tahun kala itu ia sudah menjadi letnan dua artileri dan mengambil peluang dalam situasi chaos politik untuk melesatkan kekuasaannya di Prancis. Negara-negara monarki di sekitar Prancis tentu menentangnya. Kalangan pengkritik nya menganggap Napoleon sebagai penguasa yang haus kekuasaan, kejam, dan gila perang. Sepanjang ia berkuasa, Prancis dan Eropa mengalami perang selama 17 tahun, hampir tanpa henti, dengan korban sekitar enam juta orang, bangkrutnya ekonomi Prancis, serta hilangnya koloni-koloni Prancis di seberang benua.

Dalam peperangan, walau kemenangan demi kemenangan menyertai Napoleon hingga Perang Koalisi Kelima, kemunduran kekuasaannya tak terhindarkan. Ini diawali ketika ia gagal menguasai Rusia pada 1811. Koali si negara-negara Eropa menjadi percaya diri dan mulailah Perang Koalisi Keenam. Dalam pertempuran akbar Leipzig, Napoleon kalah dan mundur ke Paris. Ia lalu dipaksa turun takhta dan diasingkan ke Pulau Elba. Tak sampai setahun kemudian ia melarikan diri dan berupaya berkuasa kembali.

Untuk menggagalkan upaya Napoleon, pasukan koalisi diberangkatkan dari negara-negara anggota dan bertemu di wilayah perbatasan Prancis utara. Tapi Napoleon tidak menunggu sampai pasukan itu bergabung. Bersama dua jenderal utamanya, Ney dan Grouchy, ia bergerak mendahului hingga ke Mons lalu Charleroi, Belgia selatan, dan mencapai puncak pertempurannya di Waterloo.

Di medan pertempuran inilah pasukan Napoleon, yang berkekuatan 72 ribu orang, menghadapi gabungan Inggris-Belanda dan beberapa pasukan lain, terdiri atas 68 ribu orang dari arah barat laut, dan 50 ribu tentara Prusia dari arah timur laut. Hujan sepanjang malam mengiringi pergerakan pasuk annya pada 17 Juni, menjadikan medan Pertempuran Waterloo becek dan gembur keesokan harinya. Napoleon harus menunggu sampai pukul 11 lewat agar tanah lebih kering dan keras untuk melakukan serangan, karena tanah yang terlalu lunak mempersulit gerakan pasukan berkuda dan pasuk an artileri nya.

Mirip dengan situasi pertempuran yang sebenarnya, hujan yang lebih kecil mendera Waterloo sepanjang pagi saat reka ulang Pertempuran Waterloo 2010 pada 20 Juni lalu. Secara total sekitar 3.000 orang "tentara" terlibat dengan jumlah kuda "kavaleri" 237 ekor, dan sekitar 1.500 kilogram bubuk mesiu. Belum lagi puluhan meriam artileri dipersiapkan dari barisan belakang.

Angka yang hampir menyaingi pasukan Napoleon hampir dua abad lalu adalah jumlah pengunjung selama akhir pekan, 18-20 Juni 2010, itu sebanyak 70 ribu orang. Mereka datang dari hampir seluruh penjuru Eropa. Reka ulang sejarah Pertempuran Waterloo memang menjadi salah satu peristiwa reka ulang terbesar di dunia, terutama dari segi pasukan berkuda alias kavalerinya.

Sejak pagi mobil sudah mengular ke arah Kota Waterloo. Berjalan kaki ke arah bukit Butte de Lion, yang menandai situs Pertempuran Waterloo, suasana perlahan kembali ke masa-masa setelah Revolusi Prancis. Sebarisan pasukan marching band berderap dari arah perkemahan Pasukan Koalisi, sekitar satu kilometer di selatan medan pertempuran. Mereka mengusung bendera Inggris, menyusuri tribun penonton dan berbaris membuat formasi di sisi utara medan pertempuran, serupa dengan posisi yang diambil oleh pa sukan Wellington.

Di belakangnya mulai berdatangan kelompok pasukan lainnya. Ada kelompok tentara Prusia, bersama-sama menghela meriam besar beroda. Dari arah berlawanan juga berdatangan kelompok-kelompok pelaku tentara Prancis yang mendirikan perkemahan di jalan antarkota Brussel, sekitar dua kilometer ke selatan. Tidak hanya tentara, tapi juga ada rombongan wanita yang berperan sebagai penyuplai logistik. Mereka masuk arena pertempuran, mengambil tempat di dataran yang lebih tinggi di selatan. Sang Napoleon, yang tahun ini diperankan pengacara dari Prancis bernama Frank Simpson, tampak di atas kudanya di latar belakang. Karakter ini mungkin paling sulit diperankan, karena karismanya harus muncul dan menjadi pembawa suasana walaupun beraksi dari latar belakang.

Yang paling akhir masuk setelah artileri adalah kelompok pasukan kavaleri dengan kudanya yang gagah dan atribut menawan. Seragam, perlengkapan, hingga persenjataan para pelaku reka ulang persis sama dengan apa yang digunakan dalam pertempuran sesungguhnya. Peserta reka ulang dipilih oleh kurator khusus. Laurence de Roy, seorang pengurus logistik pasukan kavaleri dari Resimen Ketujuh pasukan Prancis, membenarkan hal ini. "Ini bukan karnaval, ini adalah reka ulang sejarah, jadi semuanya harus otentik," katanya.

Tidak otomatis para pendaftar yang datang bisa serta-merta ikut dalam reka ulang. Mereka yang tidak berpa kaian dan perlengkapan sesuai dengan pasukan zaman Napoleon pasti ditolak. Senapan dan meriam yang dipergunakan pun semuanya harus berfungsi seperti senapan dan meriam sung guhan. Dalam reka ulang, semua senapan dan meriam itu akan ditembakkan, walau tidak berpeluru.

Cerita senada juga muncul dalam persiapan pasukan kavaleri. Di depan penonton pasukan berkuda itu beraksi gagah berani. Berlari menyerang ke sana-sini di tengah dentuman meriam dan letusan senapan. Menyiapkan kuda merupakan kerepotan tersendiri. "Kami mencari kuda yang terbiasa bermanuver dan melompat. Kuda semacam itu adalah kuda yang biasa berlomba untuk keterampilan berkuda. Mereka terbiasa melompat dan tampil di depan banyak orang. Bila kuda biasa, bisa saja panik di tengah dentuman meriam dan orang banyak, membahayakan orang ataupun kudanya," kata De Roy.

Suasana mulai terbangun ketika formasi-formasi pasukan Prancis dan pasukan Koalisi sudah di tempat masing-masing. Artileri di belakang, pasukan kavaleri di depan, sementara dua dukuh pertanian, Hougoumont dan La Haiye Sante, disimbolkan dengan dua tumpuk an gubuk mirip tumpukan jerami.

Semua posisi bisa terwakili, kecuali satu, Butte de Lion, yang didirikan justru setelah perang di Waterloo, sebagai peringatan atas Pangeran William II dari Belanda yang tertembak bahunya di sana. Bagi para peziarah zaman modern, inilah lokasi ternyaman untuk menonton reka ulang Pertempuran Waterloo. Tapi Wellington, seperti di ceritakan Victor Hugo dalam novel Les Miserables, sempat mengeluh bahwa medan perangnya sudah diubah-ubah ketika mengunjunginya dua tahun setelah bukit berpatung singa itu berdiri pada 1826.

Entah karena kemacetan lalu lintas entah terlalu menghayati Napoleon yang terlambat menyerang, reka ulang pun terlambat (untuk standar Eropa) 30 menit. Ada beberapa versi mengenai dimu lainya pertempuran. Dalam catatannya, Wellington menyebutkan sekitar pukul 10 pagi Napoleon menyerang Dukuh Hougoumont. Panitia tampaknya meyakini Napoleon terlambat karena menunggu medan pertempuran yang becek jadi sedikit mengeras, seperti kondisi reka ulang pagi itu.

Sekitar pukul 11.30, pasukan reka ulang Napoleon baru bergerak. Mereka menuju ke gubuk jerami simbol Dukuh Hougoumont. Tampaknya pasukan ini akan dengan mudah menguasai dukuh yang hanya dijaga beberapa orang tentara Inggris itu. Namun tiba-tiba udara membahana dengan letusan meriam-meriam artileri Inggris dari baris belakang pertahanan pasukan Koalisi. Penonton bersorak-sorai. Yang sedang duduk-duduk pun berdiri.

Pasukan penyerang bergerak mundur, tapi tak sepenuhnya, karena tampaknya bala bantuan datang dan mereka bergerak maju kembali. Dari barisan pertahanan pasukan Napoleon meriam-meriam artileri berdentum memberikan balasan demi balasan ke arah pasukan Koalisi yang mempertahankan Dukuh Hougoumont.

Bagi Napoleon, serangan ke Hougoumont, yang awalnya hanya sebagai pan cingan untuk mengalihkan cadangan kekuatan Wellington, malah menja di pertempuran yang menguras sumber daya tentaranya sebanyak 14 ribu orang atau 33 batalion yang berlangsung sepanjang hari. Wellington juga menggambarkan keberhasilan dalam pertempuran dimungkinkan berkat dipertahankannya Hougoumont, dengan mengerahkan 12 ribu tentara atau 21 batalion. Napoleon lalu memerintahkan untuk membumihanguskan dukuh itu.

Mungkin karena serangan yang begitu dahsyat waktu itu, bangunan Hougoumont menjadi rapuh dan saat ini terancam runtuh. Untuk melestarikan nilai sejarah dukuh pertanian Hougoumont, sebagian keuntungan dari penyelenggaraan reka ulang Pertempuran Waterloo didedikasikan untuk restorasi bangunannya yang berbiaya sekitar delapan juta euro.

Sementara di sekitar Hougoumont berlangsung pertempuran sengit, Napoleon melakukan serangan lain dengan artileri. Beberapa meriam meletus dari arah tengah. Dalam pertempuran sesungguhnya sekitar 80 meriam alias grande batterie dikerahkan untuk menembaki pasukan koalisi. Garis pertahanan Inggris hampir putus, kavaleri mereka segera maju dengan cepat menolong, yang dijawab dengan serangan cuirassiers alias kavaleri Napoleon.

Napoleon tampaknya berburu waktu dengan mengerahkan kekuatan besar untuk memukul pasukan Wellington, karena ia melihat pasukan Prusia dipimpin Blcher mendekat dalam jarak sekitar delapan kilometer arah timur. Apabila pasukan Prusia bergabung dalam Pertempuran Waterloo, akan berat bagi pasukan Napoleon menghadapi serangan dari dua arah sekaligus. Serangan pun diperhebat di bagian tengah pasukan Wellington.

Menghadapi serangan kavaleri yang menghebat, pasukan Inggris mene rapkan taktik formasi pertahanan segi empat infanteri yang masing-masing sisi bertahan ke arah musuh. Dengan begitu, mereka tak punya titik lemah yang bisa ditembus serangan pasukan berkuda.

Taktik ini sebetulnya bisa diatasi apabila kerja sama artileri dan kavaleri pasukan Napoleon berjalan baik. Peluru meriam yang dibidikkan tepat bisa mengacaukan formasi segi empat dan membuka celah bagi pasukan berkuda untuk merangsek. Namun kerja sama itu kurang berjalan, sehingga serbuan pasukan kavaleri ke arah segi empat infanteri kurang membawa hasil. Pertempuran di bagian tengah berlangsung lama dan pasukan Prusia semakin mendekat.

Menyaksikan secara langsung pera gaan taktik militer perang klasik semacam itu mau tak mau membuat kita kagum akan kehebatan setiap pihak dalam menjalankan strategi pertempuran. Para pereka ulang juga menghayati sungguh-sungguh peranan mereka. Posisi bertahan, baris-berbaris, memasang bayonet hingga manuver pasukan berkuda dilakukan menurut skenario. Yang cukup mengesankan adalah penerapan taktik menembak berlapis: saat lapis depan sedang mengisi mesiu dan peluru, lapis berikutnya bisa menembak, bergantian seterusnya.

Suara ledakan membahana, bau mesiu merebak, asap membubung tinggi. Denting suara pedang beradu pedang atau pedang beradu bayonet terdengar. Suasana serasa perang sesungguhnya, bedanya tidak ada darah tertumpah. Namun, dari ribuan orang yang beraksi, risiko kecelakaan selalu ada. Tak kurang, dua kali mobil rescue masuk ke gelanggang, mengangkut pelaku reka ulang yang celaka; gerakan pasukan pun harus jeda sebentar. Dan penonton pun menyoraki mobil off-road berwarna kuning Stabilo dengan sirene berkelap-kelip yang tiba-tiba hadir di tengah peperangan abad ke-19 itu.

Menjelang senja di musim panas 1815 pasukan Napoleon gagal menembus pertahanan Dukuh Hougoumont. Di tengah, segi empat infanteri Inggris sulit dilumpuhkan. Sementara itu dari timur selatan, pasukan Prusia tiba, bergabung menyerang dalam pertempuran di Plancenoit. Napoleon dan pasukannya mundur tak teratur, ada yang menyerah sebagai tawanan. Setelah senja, sekitar pukul 23.00 pada musim panas itu, Wellington dan Blcher bertemu dan meyakinkan kemenangan mereka. Pasukan Koalisi melanjutkan gerakan hingga ke Paris.

Namun di Waterloo sore itu Napoleon tidak harus mundur dan diasingkan ke Pulau Saint Helena. Panitia menjadwalkan pukul 18 reka ulang selesai. Walau kalah menurut sejarah, pemeran Napoleon pun berpamitan menunggang kuda dengan gagah mengitari tribun penonton yang mengelukannya, sementara menurut panitia tidak ada pemeran Wellington di dalam reka ulang hari itu. Tokoh sejarah penuh warna ini sekali lagi menunjukkan karismanya.

Napoleon memang penuh kontroversi. Ia ingin menyebarluaskan nilai-nilai demokrasi yang liberal dari Revolusi Prancis, tapi pada saat yang sama ia juga mengangkat dirinya sebagai kaisar dan mendirikan kekaisaran pertama Prancis setelah kemenangannya berturut-turut hingga peperangan terhadap Koalisi Ketiga pada 1807. Namun, di antara peperangan demi peperangan yang dijalaninya, Napoleon juga berusaha menciptakan keteraturan bernegara. Ia juga yang mewariskan sistem satuan metrik yang kita pakai sekarang.

Warisan Napoleon paling besar bagi kehidupan bermasyarakat adalah Ko de Napoleon, berisikan tata kehidupan sipil. Inti perundangan di dalamnya mengatur secara jelas dan sistematis hak-hak pribadi dan kepemilikan. Kode Napoleon pertama kali diterapkan di Prancis, kemudian dipakai juga di seluruh tempat yang pernah dita k lukkan Napoleon dan kemudian menjadi inspirasi dasar atas perundang an sipil di banyak negara Eropa, Amerika, dan Afrika. Kumpulan aturan ini mendukung persamaan hak sipil sehingga mempercepat berakhirnya feodalisme di Eropa.

Mungkin itulah kemenangan Napoleon terbesar yang dicapainya tanpa peperangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus