Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para prajurit reka ulang pasukan Napoleon Bonaparte dan Duke of Wellington sibuk memeriksa senjata mereka untuk menghadapi "musuh" pagi itu di Waterloo, sementara para penonton juga sudah bersiap menghadapi cuaca kurang bersahabat. Mereka membawa payung dan jaket hujan untuk menghadapi hujan yang diperkirakan akan turun. Suhu cukup dingin menggigit, sekitar 11 derajat Celsius, dengan kecepatan angin rata-rata 11 kilometer per jam dari barat. Cuaca akan mendung dengan hujan sporadis.
Kemajuan prakiraan cuaca pada zaman modern banyak membantu para penonton. Mereka tak seperti pasuk an Napoleon, yang pergerakannya me nyongsong pasukan Wellington terhambat karena tak mengira hujan akan mendera, 195 tahun lalu.
Memang pada minggu ketiga Juni ku rang wajar jika hujan turun. Dalam analisis pascaperang, salah seorang jenderal Napoleon menyimpulkan bah wa cuaca menjadi salah satu sebab kekalahan mereka di Waterloo. Oleh para pemerhati sejarah Napoleon, kesimpulan ini kemudian dikaitkan dengan faktor pemicu lain yang terjadi pada masa itu, termasuk kemungkinan pengaruh letusan mahadahsyat Gunung Tambora di Sumbawa.
Dua bulan sebelum Pertempuran Waterloo, April 1815, gunung setinggi 2.850 meter itu menyemburkan 50 miliar meter kubik magma ke atmosfer. Letusan gunung berapi terdahsyat sepanjang rekaman sejarah. Ledakannya mencapai ketinggian 43 kilometer dan menyebabkan korban hingga 71 ribu orang, langsung ataupun tidak langsung.
Lalu apakah letusan mahadahsyat itu berhubungan secara tidak langsung dengan Pertempuran Waterloo? Igan Sutawijaya, vulkanolog dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, yang banyak meneliti Gunung Tambora, mengatakan, "Kecepatan penyebaran abu Tambora pada 1815 itu sangat cepat mengitari bumi, sehingga kurang dari dua bulan abu sudah menutupi daratan Eropa."
Abu itu mengumpul di belahan atmosfer utara. Akibat yang dirasakan adalah bukan saat pertempuran Waterloo, melainkan setelahnya, mulai pertengahan 1815 berangsur-angsur hingga puncaknya paling terasa ketika tiba musim bertani (growing season) 1816, yang memendek hingga separuh dari biasanya pada musim panas. Tahun 1816 kemudian dikenal sebagai tahun tanpa musim panas, terutama di belah an bumi utara.
Dari kesaksian yang dikumpulkan oleh Clive Oppenheimer, pakar geografi dari Universitas Cambridge, disebutkan bahwa bunga es masih berja tuhan di Amerika Utara pada musim panas. Di Irlandia tercatat rata-rata suhu tahun itu lebih rendah 3 derajat daripada tahun-tahun sebelumnya. Curah hujan luar biasa dan banjir melanda Prancis. Di Belanda, tanah-tanah pertanian paling subur terendam air.
Hubungan antara letusan Gunung Tambora dan Pertempuran Waterloo dengan demikian bukanlah pengaruh langsung, melainkan sama-sama berakumulasi menjadi sebab bencana, kelaparan, wabah, dan kerusuhan sosial yang melanda Eropa pada 1816. Akhir dari rangkaian peperangan era Napoleon selama hampir 17 tahun telah menyengsarakan tidak saja bangsa Prancis, tapi juga seluruh negara Eropa yang terlibat perang.
Bila peperangan Napoleon ibarat menimbulkan luka bagi Eropa, perubahan iklim yang dipicu oleh letusan Gunung Tambora seperti menggaraminya. Musim-musim dingin dan hujan yang berkepanjangan saat itu menggagalkan panen terutama gandum di Eropa. Harga gandum menggila, mulai naik 50 persen di Polandia, lebih dari 250 persen di Inggris, sampai 350 persen di Prancis. Kelaparan melanda dan kerusuhan terbit. Di Inggris masyarakat protes dan menjarah. Mereka membawa spanduk bertulisan "bread or blood" dan menyerbu gudang gandum.
Wabah tifus yang biasanya terkait dengan lingkungan yang dingin, lembap, dan kotor mendapatkan kondisi idealnya saat itu sehingga merebak cepat. Di Irlandia saja tercatat 800 ribu orang terjangkit tifus, belum lagi penyakit lain seperti disentri.
Apabila faktor alam dan konflik berakumulasi dalam masa setelah perang Napoleon dalam skala benua, kemungkinan yang kurang-lebih sama kini hadir berskala dunia. Perubahan iklim global mulai ditengarai oleh kalangan ahli saling berkait dengan situasi konflik. Pernyataan langsung diutarakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon, "Dengan beragam faktor sosial dan politik, konflik di Darfur berawal sebagai krisis ekologi, yang sebagian disebabkan oleh perubahan iklim."
Dalam artikelnya di Washington Post, Ban Ki-moon menguraikan sejak lebih dari dua dekade lalu curah hujan rata-rata di Sudan selatan telah menurun sekitar 40 persen. Awalnya dianggap sebagai gejala alam, lalu berkaitan dengan kenaikan suhu di Samudra Hindia yang mengganggu hujan musiman. Hal ini menunjukkan bahwa pengeringan di sub-Sahara Afrika berasal, sampai tingkat tertentu, dari pemanasan global yang dipicu oleh aktivitas manusia.
Bukan kebetulan bahwa kekerasan di Darfur meletus pada musim kema rau. Hingga beberapa tahun lalu, penggem bala nomaden Arab telah hidup damai dengan petani yang menetap. Mereka akan menyambut penggembala saat melintasi tanah pertanian, menyi lakan unta merumput, dan berbagi sumur. Tapi, begitu hujan berkurang, petani memagari tanah mereka karena takut rusak oleh ternak yang lewat. Untuk pertama kalinya sepanjang ingatan, tidak cukup lagi makanan dan air untuk semua. Pada 2003 perang pecah dan berkembang menjadi tragedi yang telah mene lan korban lebih dari 200 ribu jiwa.
Pada masa mendatang situasi akibat perubahan iklim global dikhawatirkan oleh sebagian ahli akan menimbulkan "konflik iklim", bahkan "perang iklim". Laporan IPCC (Panel Antarpemerintah atas Perubahan Iklim) pada 2007 mulai menyebut beberapa wilayah yang rentan dan sensitif terhadap dampak perubahan iklim. Dalam laporan kelimanya, yang dijadwalkan pada 2013, isu keamanan akan masuk. Mungkin saat itulah makin terasa manfaat IPCC dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo