RUPANJA bukan hanja nelajan-nelajan Djepang jang berhasil
menggagahi perairan Indonesia. Berita terachir jang dikirimkan
pembantu TEMPO dari Djawa Barat menjebutkan bahwa nelajan Taiwan
sedjak Mei jang lalu mulai menggerajangi perairan Pangandaran
dekat Tjilatjap. Akibatnja nelajan-nelajan pribumi tidak
kebagian ikan, satu hal jang mungkin baru pertama kali mereka
alami selama dunia terbentang. Dan bisa dipastikan djuga bahwa
hanja nelajan Indonesia sadja dimuka bumi ini jang bernasib
malang, dirampas terang-terangan dirumahnja sendiri.
Terang-terangan, karena 6 kapal motor Taiwan beroperasi leluasa
didepan hidung mereka, lengkap dengan alat-alat modern hanja
djaring ukuran besar. Nelajan Pangandaran bukan sadja tidak
berdaja, mata pentjaharian mereka lenjap begitu sadJa, tanpa ada
perlindungan dari orang orang penting di Bandung atau Djakarta.
Bagaimana kesialan seperti ini masih bisa terdjadi?
Sebelum pertanjaan dapat didjawab nasib jang sama dikabarkan
djuga menimpa para nelajan dan pengusaha ikan jang biasa
menggarap periran sekitar perairan sekitar Pelabuhan tatu. Dan
seperti penjakit menular, musibah itu menjerbu kepantai utara
Djawa Barat dengan sasaran utama Tjirebon dan Indramaju. Lebih
parah lagi disini nelajan bukan kehilangan ikannja tapi djuga
djaring-djaringnja. Mengapa? Karena djaring sederhana jang tidak
terlalu kuat itu rusak atau hilang disrempet nelajan-nelajan
Taiwan jang memasang djaring-djaring mereka setjara sembarangan,
semau mereka. Pelanggaran lalu-lintas dilaut ini tentu sadja
tanpa proses-verbal dan tanpa ganti-rugi. Dan para nelajan terus
tanpa daja.
Tamu. Dalam keadaan demikian, siapa-siapa pelaku utama
ketjela-kaan nelajan itu? Kepala Djawatan Perikanan laut
Kodya/Kabupaten Tjirebon, Sudito ketika dihubungi tidak
menjangkal bahwa nelajan didaerahnja tertimpa kemalangan besar.
Dikatakan olehnja bahwa jang berwenang melindungi nelajan
didaerah -- tidak disebutkannja siapa jang berwenang itu --
telah memberi izin kepada serombongan nelajan "tamu" untuk
beroperasi diperairan Tjirebon-Indramaju. Ini atas dasar
kerdja-sama antara sang tamu, jang tidak djelas siapa, tapi
pasti swasta, dengan Koperasi Perikanan Laut (KPL) Krakas
Tjirebon jang mmenundjuk Gabungan KPL (GKPL) Djawa Barat sebagai
wakilnja. Kerdja-sama itu dibuat hitam atas putih,
begitulah konon kabarnja dan berlangsung selama 2 tahun.
Adapun maksud kerdja-sama tidak lain untuk menghidupkan kembali
KPL Krakas jang terantjam kebangkrutan dan sudah ditinggalkan
oleh anggota-anggotanja. Tidak diketahui darimana metode
berusaha sematjam ini ditiru oleh orang-orang GKPL Djabar, jang
pasti memang gampang dan enak sekali menghidupkan diri sendiri
dengan mengorbankan mata-pentjaharian orang lain. Kepada GKPL,
swasta Taiwan membajar Rp. 800.000 sebagai uang ganti rugi.
Kemana larinja uang jang tidak sampai 1 djuta itu? Tentu sadja
tidak ketangan para nelajan. Tapi Sudito masih bisa berkata:
"Mereka tjukup terdjamin, sebab nelajan-nelajan pendatang
beroperasi kurang lebih 30 mil dari pantai". Dengan agak ragu ia
meneruskan: "Tak perlu ditjemaskan, sebab mereka bukan
nelajan-nelajan asing. Mereka dari Belawan".
Benarkah mereka dari Belawan? Dan benarkah bahwa mereka
berope-rasi diluar garis batas 30 mil? Kalau benar demikian
tentu tidak bakal ada djaring jang tersrempet hilang. Dan djuga
tidak terdjadi hal-hal jang lutju konjol. Banjak nelajan di
Gebang, Losari, Tjitemu, Bondet dan sekitar Tjirebon menjatakan
bahwa nelajan Belawan itu mentjiduk ikan diperairan sekitar 5
mil dari pantai. Seorang nelajan sedikit terpeladjar bahkan
berkata :: "Mustahil mereka tjuma bergerak 30 mil dari pantai
sebab hasil tangkapannja banjak ikan ketjil-ketjil jang hidup
diperairan sekitar pantai. Seharusnja ikan jang terdjaring 50O
ikan gede!" Dan untuk membuktikan kebelawanan nelajan-nelajan
tamu ini, diadjaklah mereka ngobrol dalam bahasa Indonesia.
Kombinasi kulit bersih kuning, mata sipit dan mulut jang hanja
bisa mendjawab "haah-haah-haah", dengan sendirinja membantah
keterangan Sudito jang entah dengan alasan apa mengatakan bahwa
nelajan asing itu bukan orang-orang asing.
Kedok. Sementara itu seorang bekas anggota KPL Krakas menjatakan
bahwa koperasi itu sudah lama ambruk dan kalaupun mau
diselamat-kan, maka jang tertolog adalah anggotanja jang temjata
hanja tinggal satu-satunja. Menurut peraturan jang berlaku,
koperasi jang sekarat matjam itu tidak berhak lagi menjebutkan
dirinja sebagai koperasi perikanan, sebab satu koperasi harus
punja anggota minimal 20 orang. Kalau benar demikian maka
koperasi Krakas telah digunakan sebagai kedok untuk oknum, entah
siapa, tapi telundjuk para nelajan ditudingkan kepada penguasa
sipil diperairan setempat. Mungkin sekali Sudito kenal akrab
dengan penguasa-penguasa itu.
Lalu ada pendapat lain jang tjukup membingungkan djuga dari
seorang komandan kelas teri jang bertugas diperairan sekitar
Tjirebon. Mendengar ribut-ribut soal nelajan Taiwan ia seperti
keheranan dan mengalihkan persoalan pampet hilang djaring para
nelajan nada-nadanja kemungkinan kegiatan penjelundupan
bersarang dibalik usaha penangkapan ikan. Untuk ini dia punja
alasan. Pertama-tama tempat penampunan ikan dipekarangan
koperasi Krakas dipagar tepas setinggi lebih dari 3 meter. Lalu
nelajan-nelajannja beroperasi seminggu penuh dilaut, tidak
turun-turun kedarat. "Misalnja mereka mengadakan kontak dilaut
lalu menurunkan barang-barang gelap dan menjelundupkannja
kedarat dibawah timbunan ikan, tidakkah masuk akal?", begitu
sang komandan mentjetuskan pikirannja. Pikiran-pikiran tentang
penjelundupan memang wadjar, mengingat bagaimana menghebatnja
penjelundupan achir-achir ini lewat pelabuhan Tjirebon. Tapi
kalau penjelundupan bisa berdjalan mulus lewat pelabuhan,
mengapa musti bersusah-pajah lewat djaring-djaring penangkap
ikan? Apapun jang terdjadi, kiranja sulitlah dibantah kenjataan
bahwa baik di Tjirebon atau ditempat lain mana sadja, mentjari
uang banjak dengan mulus seperti jang dilakukan koperasi Krakas
adalah suatu hal jang lumrah. Merugikan kepentingan rakjat
banjak, tapi sukar untuk ditertibkan.
Ada aturannja. Mengenai kepentingan rakjat banjak ini, dibidang
perikanan djuga ada aturannja, ada UU-nja. DS Karma reporter
TEMPO di Djakarta jang menghubungi Direktorat Djenderal
Perikanan dipertemukan dengan Pattinasarany, penghubung humas
Dirdjen Perikanan dengan Departemen Pertanian. Dalam kesempatan
itu Patti menegaskan lahwa dasar hukum bagi kegiatan
nelajan-nelajan jang beroperasi di Indonesia termaktub dalam UU
tahun '67 tentang penanaman modal asing, dalam mana djuga
ada ketentuan dibidang perikanan. Pada prinsipnja peraturan itu
mengizinkan pihak asing mengadakan kegiatan penangkapan ikan
diperairan Indonesia hanja didaerah-daerah atau tempat-tempat
jang tidak terlihat aktivitas nelajannja. Perlu djuga digaris
bawahi ketetapan ini: bahwa pihak asing itu tidak mengganggu
pernelaja-nan setempat. Kalaupun dalam penangkapan ikan swasta
asing diizinkan bergerak, hal ini hanja mungkin dengan sjarat
bahwa mereka mempekerdjakan tenaga pribumi sebanjak 80%. Apa
jang di praktekkan swasta Taiwan diperairan Pangandaran dan
Pelabuhan Ratu di samudera Indonesia dan perairan Tjirebon
dilaut Djawa, keseluruhannja tidak dapat dibantah lagi telah
menjalahi peraturan-peraturan tersebut diatas. Alasan untuk
menghidupkan satu koperasi, menurut Patti tidak ada aturan atau
ketentuannja. Dalam peristiwa Krakas alat-alat negaralah jang
harus bertindak, kata pedjabat dari Departemen Pertanian itu.
Ditekankannja bahwa kerdjasama dengan nelajan asing haruslah
dengan djaminan pemerintah jang menentukan apakah menguntungkan
kedua pihak atau tidak. Dalam hal ini hanja ketentuan dari
pemerintah pusatlah jang menggariskan kebidjaksanaan, sedang
peraturan-peraturan daerah tidak berlaku. Kalau terdjadi
pelanggaran, pedjabat keamanan setempat mestinja mengambil
tindakan. Setidak-tidaknja menanjakan izin operasi kepada pihak
jang bersangkutan atau jang diduga mengadakan operasi illegal.
Apa jang terlandjur terdjadi dalam peristiwa Kreas djustru
sebaliknja. Pedjabat keamanan, atau menurut istilah Sudito pihak
"jang berwenang melindungi nelajan" bukan sadja tidak
mempertanjakan, tapi sedjak mula telah melin-dungi operasi
nelajan dari swasta Taiwan itu. Jang djadi soal sampai kini para
pelanggar hukum itu selamat sedjahtera adanja, sementara nelajan
terlantar sia-sia. Bagaikan lingkaran setan sadja laiknja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini