Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUBUHNYA kurus, jangkung. Memang, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan susunan kabinet pekan lalu, dialah pucuk tertinggi di Kejaksaan Agung. Kita tahu posisi Jaksa Agung itu. Kepada titik itu, harapan demi harapanbegitu juga kekecewaanmengalir.
Ia, Abdul Rahman Saleh, 63 tahun, Jaksa Agung baru. Di hadapannya, sebuah dunia yang dipertaruhkan dan dipertanyakan begitu banyak orang. Lembaga penyidikan dan penuntutan itu menyimpan begitu banyak misteri dibanding penjelasannya: dari sejumlah Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) atas beberapa konglomerat yang diduga membobol uang negara hingga kaburnya para koruptor besar ke luar negeri.
Orang menaruh harapan tinggi. Ada ketegasan yang diperlihatkan saat ia menjadi satu-satunya suara yang menyatakan Akbar Tandjung bersalah dalam kasus penyelewengan uang Bulog sebesar Rp 40 miliar. Ada kebersihan yang tecermin dari hidup kesehariannya. Ia tinggal di sebuah rumah seluas 200 meter persegi di Jalan Arus, Cawang, Jakarta Timur. Rumah yangtentu sajateramat sederhana untuk dihuni seorang Jaksa Agung Muda (waktu itu). Tak ada yang menonjol di dalam rumah itu kecuali tumpukan buku milik tuan rumah yang terlihat di sana-sini.
"Dia bersih dan punya visi," kata Adnan Buyung Nasution, seniornya ketika bekerja di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta.
Inilah Abdul Rahman, calon menteri yang paling akhir dipanggil SBY ke kediamannya di Puri Cikeas. Selasa pekan lalu, ia "diwawancarai" empat mata oleh SBY. "Dia menanyakan kesiapan saya bergabung dalam tim penegakan hukum untuk memberantas korupsi," ujarnya. Dalam pembicaraan itu, SBY menyatakan akan mem-back up dia. SBY saat itu rupanya sudah memplot Abdul Rahman sebagai Jaksa Agung.
Rabu malam pekan lalu, saat SBY akan mengumumkan susunan kabinetnya, Abdul Rahman masih memberi pembekalan kepada sembilan hakim ad hoc pengadilan antikorupsi di Hotel Santika di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Rabu dini hari, setelah namanya resmi diumumkan sebagai jaksa agung, wartawan Tempo L.R. Baskoro mewawancarai Jaksa Agung baru ini. Berikut ini petikannya:
Apa yang Anda tekankan kepada sembilan hakim ad hoc antikorupsi tadi?
Saya menekankan kepada para hakim tersebut masalah penegakan kode etik dan perilaku hakim. Ini penting sekali bagi para hakim. Apalagi, mereka ini adalah hakim-hakim pengadilan antikorupsi. Masyarakat meletakkan banyak harapan kepada mereka.
Ada yang menyayangkan Anda dipindahkan dari MA, karena ini akan melemahkan fungsi pengawasan lembaga itu .
Tidak. Ini hanya hipotesis. Di MA banyak hakim bagus. Mereka bisa menggantikan tugas-tugas saya.
Ada yang berpendapat kesuksesan kabinet sekarang tergantung pada kinerja Kejaksaan Agung yang Anda pimpin. Anda setuju?
Memang, saya kira ada benarnya. Tapi, saya tetap berpendapat, semuanya ini saling berkait dengan lembaga lain. Kejaksaan Agung berkaitan dengan kepolisian dan juga pengadilan. Kalau polisi sukses, kejaksaan dan pengadilan tidak sukses, ya berarti kurang sukses, atau bahkan bagi saya sama sekali tidak sukses.
Sebagai Jaksa Agung, prioritas yang akan Anda kerjakan dalam jangka pendek, misalnya 100 hari ke depan?
Saya akan bekerja semaksimal dan secepat mungkin. Jika ada tunggakan kasus-kasus penting, saya akan tanyakan, kenapa kasus ini bisa tertunggak, apa penyebabnya.
Termasuk kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia yang dananya banyak diselewengkan, atau kasus keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap Grup Texmaco yang diduga merugikan uang negara lebih dari Rp 1 triliun itu?
Saya tidak mau menyebut kasus-kasus yang spesifik. Pokoknya, semua dipelajari. Kita akan duduk bersama dengan pimpinan. Kita akan melihat mana kasus yang harus dibuka lagi dan mana yang sudah selesai. Soal hukum kan harus hati-hati, semua ada aturan mainnya.
Dulu Anda satu-satunya hakim agung yang memberikan dissenting opinion (pendapat berbeda) dalam kasus Akbar Tandjung. Apakah Anda akan membuka kembali kasus Akbar Tandjung ini?
Pokoknya, semua kasus yang mungkin untuk dibuka, mungkin untuk diteruskan, akan saya pelajari dan akan saya kerjakan.
Anda memprioritaskan pemberantasan koruptor?
Tentu, itu kan tugas pokok kejaksaan. Kita akan memprioritaskan kasus-kasus besar yang merugikan negara. Kalau jumlah kerugian negara Rp 100 juta atau Rp 200 juta, kalau kembali, kan jumlahnya tidak banyak. Pemberantasan KKN juga menjadi salah satu prioritas.
Tapi bukan hanya kejaksaan yang berwenang menangani kasus korupsi. Ada polisi dan Komisi Pemberantas Korupsi. Bukankah ini tumpang tindih?
Sebenarnya tidak ada tumpang tindih karena sudah ada pembagiannya. Kalau jumlah korupsinya sampai sekian, misalnya, adalah wewenang KPK. Atau, misalnya, kalau dikerjakan dengan tidak semestinya, itu tugas KPK. Dan tidak ada larangan kejaksaan menangani masalah-masalah besar.
Kemacetan pemberantasan korupsi juga terlihat dari bolak-baliknya berkas pemeriksaan dari polisi ke kejaksaan. Bagaimana Anda melihatnya?
Ya memang, saya kira itu harus dirapikan. Harus ada koordinasi yang lebih rapi antara kepolisian dan kejaksaan. Ada yang disebut integrated criminal justice system. Ini mencakup kerja polisi hingga pengadilan. Ini harus dirapikan.
Banyak kasus korupsi yang ditangani kejaksaan tidak bisa dibawa ke pengadilan dengan alasan sulitnya pembuktian atau negara tak terbukti dirugikan. Anda punya solusi?
Itu sudah sangat teknis. Kesulitan pembuktian mungkin benar. Maka, di sinilah gunanya polisi, jaksa, atau pengadilan.
Atau Anda sudah menyiapkan kiat sendiri untuk memberantas korupsi?
Semua rumus dan cara pemberantasan korupsi ini sudah ada di undang-undang. Undang-undang sudah jelas menyebut apa itu korupsi, begini, begini. Sekarang tinggal tugas jaksa penyidiknya yang harus mengusut dan membuktikan. Itu saja. Dalam hal ini saya juga yakin intervensi dari lembaga luar tidak mungkin, karena UU Kejaksaan juga mengatur hal ini. Bagi saya, persoalannya kini apakah jaksa menjalankan tugasnya atau tidak. Kalau kita memberantas korupsi dan ada lembaga yang menghalangi, tak perlu dituruti.
Bagaimana Anda melihat korupsi yang terjadi di kita? Memang benar sudah membudaya?
Semua orang tahu, tidak ada seorang pun (warga) Indonesia yang tidak menjadi korban korupsi, terutama jika ia berhubungan dengan birokrasi.
Maksudnya termasuk di lingkungan kejaksaan?
Saya tidak sebut spesifik, tetapi di mana pun Anda berurusan, sedikit atau banyak, kecil ataupun besar, Anda mengurus Surat Izin Mengemudi, Anda mengurus KTP, atau Anda mengurus Surat Kelakuan Baik, Anda harus berbuat tidak baik dulu supaya dapat "kelakuan baik". Karena kegiatan korupsi yang begitu masif dan begitu besar, maka menurut saya ini suatu pekerjaan yang sangat berat.
Tetapi, persoalannya selalu terbentur pada alasan gaji yang kecil atau juga karena dana operasional yang tidak memadai. Mantan Jaksa Agung M.A. Rachman juga mengeluhkan kecilnya dana operasional kejaksaan.
Kalau alasan-alasan demikian itu hanya benar sebagian kecil saja. Sebagian lain tidak benar. Karena, banyak terbukti sebagian orang yang melakukan korupsi itu sudah kaya terlebih dulu.
Gaji yang kecil juga menyebabkan para jaksa cenderung mengejar jabatan struktural yang mendapat banyak tunjangan ketimbang, misalnya, jadi penyidik.
Kalau secara struktural itu tidak benar, ya mesti diluruskan. Saya berpendapat, gaji memang harus diberikan secara layak. Jadi, kalau sekarang ini memang tidak layak, mesti ditingkatkan. Kalau anggaran operasional jaksa kurang, ya harus dipenuhi. Kita tidak bisa memeriksa orang lalu menyuruh orang tersebut membayar kertas, apalagi kemudian, misalnya, meminta dia memasang AC di kantor. Itu bisa ditertawakan para koruptor.
Sebenarnya, apa yang Anda harapkan terhadap para jaksa?
Ya, saya ingin mereka hidup sederhana, rajin bekerja, jujur.
Sederhana yang Anda maksud itu ukurannya apa?
Ya, kalau kita mampu beli sepeda motor, ya beli sepeda motor .
Bagaimana dengan kehidupan para jaksa yang jauh dari sederhana, yang memiliki mobil mewah misalnya?
Begini, selama belum bisa dibuktikan, kita tidak bisa menyatakan mereka bersalah. Itu mungkin, tapi selama belum terbukti bersalah tidak boleh dinyatakan bersalah.
Sebagai Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah Agung Anda dinilai berhasil. Apakah prioritas pengawasan yang ketat juga akan Anda lakukan di lingkungan kejaksaan?
Ya, UU Kejaksaan yang baru memungkinkan pembentukan komisi pengawasan. Pembentukan komisi ini merupakan salah satu yang sedang saya pikirkan.
Masyarakat kecewa dengan kaburnya para koruptor ke luar negeri. Dan aparat tak bisa menangkapnya dengan alasan tak ada perjanjian ekstradisi. Bagaimana Anda melihatnya?
Memang, jika tidak punya perjanjian ekstradisi itu jelas. Tetapi sebenarnya yang lebih penting dipikirkan adalah kenapa orang itu bisa lari.
Karena pengawasan aparat kejaksaan yang kurang?
Ada pengawasan, tetapi kadang-kadang mereka para tersangka koruptor ini mendapat surat keterangan dari dokter. Di dalam UU Kejaksaan yang baru sudah ditegaskan, hanya Jaksa Agung yang boleh mengeluarkan surat izin berobat ke luar negeri. Jadi, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) harus memberi keterangan yang jelas. Tidak semua dokter bisa mengeluarkan surat izin.
Artinya, di masa lalu, Anda melihat ada yang tidak beres dalam pemberian surat izin dokter kepada para tersangka koruptor?
Dalam kasus Adrian, misalnya, ini kan jelas.
Anda mengatakan, saat dipanggil SBY, beliau menyatakan akan mem-back up Anda. Anda sendiri menerjemahkan kata di-back up ini apa?
Ya, kalau menurut Bapak Presiden, dia kan mengatakan memberantas korupsi. Mungkin yang dimaksud di-back up itu dia akan memimpin (pemberantasan korupsi) itu.
Apakah Anda membuat deal (kesepakatan) tersendiri dengan beliau? Misalnya, mempunyai akses khusus untuk bisa bertemu setiap saat dengan Presiden?
Deal semacam ini tidak ada, tapi setiap pembantu presiden pasti punya akses.
Kemacetan penegakan hukum selama ini juga terlihat dari bolak-baliknya berkas pemeriksaan dari polisi ke kejaksaan. Bagaimana Anda melihatnya?
Ya, memang, saya kira itu harus dirapikan. Harus ada koordinasi yang lebih rapi antara kepolisian dan kejaksaan. Ada yang disebut integrated criminal justice system. Ini mencakup kerja polisi hingga pengadilan. Ini harus dirapikan.
Andai kita menduduki jabatan rawan, termasuk rawan sogokan. Apakah Anda memberi pesan khusus kepada keluarga dalam soal ini?
Tidak. Keluarga saya itu keluarga sederhana. Mereka tawakal. Insya Allah, tidak akan tergoda oleh hal-hal yang tidak benar.
Abdul Rahman Saleh
Lahir:
- Pekalongan, 1 April 1941
- Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
- Notariat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia
- Wartawan Harian Nusantara Jakarta (1968-1984)
- Bintang Film (1970-an)
- Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (1981-1984)
- Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Asy-Syafi'iyah Jakarta (1983-1996)
- Notaris/PPAT (1995-1999)
- Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) mewakili Partai Bulan Bintang (1999)
- Hakim Agung pada Mahkamah Agung (MA) sejak September 2000
- Ketua Muda Bidang Pengawasan dan Ketua Tim Pembaruan Mahkamah Agung (2004)
- Palang Merah Internasional untuk nasihat-nasihat hukum yang diberikan (1984)
- Baharuddin Lopa Award untuk keberanian menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam kasus kasasi Akbar Tandjung (2004)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo