Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menteng yang Tidak Mentereng

Kawasan Menteng mulai seperti kampung selepas kemerdekaan. Pernah jadi lokasi tidur para pelacur sampai tempat mangkal banci.

2 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah menggusur pribumi penggarap sawah dan kebun di sekitar Menteng, Belanda membuat kawasan itu benar-benar menjadi kompleks perumahan yang terisolasi. Jalan masuk yang hanya satu—lewat depan Masjid Cut Meutia—membuat Menteng hanya bisa diakses oleh orang tertentu. Tak banyak pribumi yang boleh masuk.

Selepas kemerdekaan, permukiman di Menteng barulah benar-benar terbuka untuk orang Indonesia. Apalagi akses masuknya bertambah. Pembuatan Jalan Jenderal Sudirman (yang sebelumnya adalah tanah kosong) membuat orang bisa masuk ke Menteng dari Bundaran Hotel Indonesia dan samping Sarinah. Keadaan pun berubah. Penghuninya memang masih orang kaya, tapi suasana Menteng mulai seperti kampung.

Ketika pagi dan sore, banyak orang memanfaatkan Kali Gresik untuk mandi dan buang air. Ada pula yang mencuci baju dan piring. Lucia Ismail, 58 tahun, ingat dia tidak diperbolehkan melihat kali itu oleh ibunya. "Banyak orang kelihatan pantatnya," kata penghuni di Jalan Lombok itu.

Pada akhir 1960-an, pohon di sepanjang kali itu menjadi tempat para pelacur tidur. Pukul lima pagi, 7-8 pelacur akan memanjat pohon dan tidur di dipan kayu di atasnya. Tepat 12 jam kemudian, mereka akan turun dan bekerja lagi entah di mana. "Pernah hujan deras dan mereka meminta izin berteduh di teras rumah, saya izinkan," kata rohaniwan Adolf Heuken, yang tinggal persis di depan Kali Gresik.

Selain pelacur, ada banyak pemulung dan gelandangan yang beredar di sana. Dayat—begitu ia biasa dipanggil—adalah salah satunya. "Ketika trem masih melintas di depan Boplo (Gedung Bouwploeg, sekarang Masjid Cut Meutia), saya sudah di sini," katanya. Trem sudah tidak beroperasi lagi di Jakarta sejak 1960-an.

Ia melihat segala perubahan yang terjadi di kawasan elite itu. Tapi profesinya tidak berubah. Sebagai pemulung. Setiap pukul delapan pagi, ia berkeliling Menteng untuk mencari gelas dan kardus bekas.

Saat malam, ia menyembunyikan gerobak di bawah pohon dekat perempatan Jalan Cikini Raya dan Jalan Cilosari. Selepas itu, ia menonton televisi milik pemilik warung. Kalau mata mulai penat, ia tidur selonjoran di trotoar.

Menurut dia, ada sekitar 10 pemulung yang "asli" Menteng dan berkumpul di sana. Kalau ingin sedikit privasi, mereka biasanya pergi bersama istri dan anak. Gerobak mereka parkir di trotoar persis seberang Kali Gresik. "Tapi daerah itu rawan razia Kamtib (Keamanan dan Ketertiban)," ujar Arab, teman Dayat.

Masuk ke Menteng, di sekitar Masjid Sunda Kelapa, kalau malam hari mulai berkeliaran para banci. Anak-anak muda sekitar Menteng sering jail mengganggu mereka, termasuk Rohadi Subardjo, 65 tahun. Seringnya ketahuan, bahkan sampai dikejar dan hampir dikeroyok. "Maklum, saat itu kami tidak ada hiburan," ujar anak Menteri Luar Negeri pertama Indonesia, Achmad Subardjo, itu.

Mereka sudah lama berkeliaran di sekitar Taman Lawang di Jalan Sumenep. Jalannya sejajar dengan Kali Cideng dan rimbun ditutupi pepohonan. Taman Lawang dipilih karena jarang dilalui kendaraan. Para banci mulai bekerja sekitar pukul 11 malam. Dengan rok mini dan terusan seksi, mereka menunggu datangnya transaksi.

Dewi, 40 tahun, sudah 15 tahun bekerja di sekitar Taman Lawang. Menurut dia, daerah itu relatif aman. "Razia Kamtib terakhir setahun lalu," kata waria berambut lurus sepinggang ini. Pelanggan biasanya mulai datang selepas pukul 12 malam dengan mobil mewah bahkan sepeda motor. Tarifnya Rp 200 ribu.

Saat ini sudah tidak banyak waria yang ada di sekitar Taman Lawang. Dewi mengatakan, saat 1990-an, mereka bisa memenuhi jalan hingga Latuharhari.

Meski tak punya KTP Menteng, mereka adalah bagian dari kawasan elite itu. "Kalau ditanya mereka tinggal di mana, ya di Menteng juga, sama seperti kami," ujar Lucia.

Sorta Tobing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus