Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Timur Matahari
Sutradara: Ari Sihasale
Penulis Skenario: Jeremias Nyangoen
Pemain: Lukman Sardi, Laura Basuki, Ringgo Agus Rahman, Ririn Ekawati, Michael Jakarimilena, Simson Sikoway, Abetnego Yigibalom, Frisca Waromi, Razz Manobi, dan Maria Resubun.
Produksi: Alenia Pictures
Dengan napas terengah-engah, Mazmur masuk ke kelas. Bocah berseragam putih-merah yang sedikit kebesaran itu membawa kabar buat teman-temannya. "Teman-teman, guru pengganti belum juga datang," katanya.
Sudah enam bulan tidak ada guru yang mengajar di sekolah mereka. Setiap pekan Mazmur (Simson Sikoway) datang ke lapangan terbang tua untuk menunggu kedatangan pesawat perintis yang membawa sang guru. Tapi, lagi-lagi, kabar buruk itu yang harus dia sampaikan kepada teman-temannya.
Mazmur tinggal di sebuah dusun di daerah pedalaman Papua. Tepatnya di Lembah Tiom, Kabupaten Lanny Jaya. Ia mempunyai empat sahabat. Mereka adalah Thomas (Abetnego Yigibalom), Yokim (Razz Manobi), Agnes (Maria Resubun), dan Suryani (Frisca Waromi), yang punya semangat belajar tinggi.
Sulitnya anak-anak di pedalaman Papua mengecap pendidikan formal pernah disuguhkan Alenia Pictures dalam film Denias, Senandung di Atas Awan (2006). Hal serupa kembali disinggung dalam film terbaru mereka, Di Timur Matahari. Kali ini Ari Sihasale, sebagai produser sekaligus sutradara, menjahit persoalan pendidikan itu dengan beragam masalah lain, terutama konflik antarsuku di wilayah tersebut. Ia menggandeng Jeremias Nyangoen sebagai penulis skenario.
Meski dibuka dengan keresahan anak-anak yang rindu sekolah, tema utama film ini adalah masalah perdamaian yang sering terkoyak lantaran suku-suku di Lembah Tiom masih sering memilih berperang sebagai cara menyelesaikan sebuah konflik ketimbang memakai cara-cara damai.
Dalam film ini ketegangan antarsuku dipicu oleh peristiwa pembunuhan yang menimpa ayah Mazmur, Blasius. Tak terima dengan kematian sang kakak, Alex bertekad membalas dendam.
"Mata ganti mata, gigi ganti gigi," katanya tegas. Perang antarsuku pun meletus. Tak ada yang mampu mencegah. Tidak juga ayat-ayat Alkitab yang diucapkan Pendeta Samuel (Lukman Sardi) ataupun dokter Fatima (Ririn Ekawati), yang mengancam tidak akan mau menolong para lelaki yang ikut berperang.
Bertolak belakang dengan gambaran keceriaan di awal film, film berdurasi hampir dua jam itu selanjutnya diwarnai dengan sejumlah adegan yang menegangkan, seperti pembunuhan, pembakaran honai (rumah adat Papua), dan pemotongan jari, juga wajah-wajah penuh ketakutan.
Dari segi cerita, apa yang disampaikan memang menarik. Namun, untuk anak-anak yang menjadi sasaran utama film ini, konflik seputar hukum adat yang tak bisa diandalkan untuk mendapat perdamaian di Papua agaknya sulit dicerna. Terlebih sebagian gambaran konflik itu dihadirkan secara verbal, lewat obrolan.
Beragam persoalan, mulai hukum adat dan budaya setempat yang mulai bergeser, sedikitnya kepedulian pemerintah terhadap pendidikan di sana, hingga bagaimana kegagapan mereka menerima teknologi baru, hendak diungkap. Ari juga sempat menyentil masalah disintegrasi lewat tokoh Vina (Laura Basuki), perempuan asal Jakarta, adik ipar Blasius yang baru menginjakkan kaki di Papua. "Pantesan mau lepas dari Indonesia, orang harga-harga mahal!" katanya.
Banyaknya isu yang diangkat tanpa adanya fokus yang jelas bisa membuat penonton sedikit bosan dan bingung dengan alur cerita. Belum lagi beberapa karakter yang muncul dalam film ini juga punya persoalan masing-masing.
Nunuy Nurhayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo