Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bersatu dan Berpisah karena Bahasa

2 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ardi Winangun*

Suatu hari pada akhir Mei 2012, ruang sidang parlemen Ukraina berubah menjadi tempat perkelahian massal. Perkelahian antaranggota parlemen itu bukan dikarenakan masalah penyelenggaraan Piala Eropa 2012, di mana Ukraina bersama Polandia menjadi tuan rumah, melainkan tidak adanya titik temu pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Penggunaan Bahasa Rusia sebagai Bahasa Resmi Kedua.

Anggota parlemen pendukung pemerintah menginginkan agar rancangan undang-undang itu segera disahkan. Alasan pihak yang ingin menjadikan bahasa Rusia resmi digunakan di institusi sipil, seperti sekolah, rumah sakit, dan pengadilan, adalah pengguna bahasa Rusia mencapai 30-50 persen. Wilayah di Ukraina yang menjadikan bahasa Rusia sebagai bahasa keseharian adalah di Crimea dan Donetsk. Donetsk adalah basis pendukung Presiden Ukraina Viktor Yanukovich. Yanukovich disebut-sebut pro-Rusia daripada Uni Eropa.

Bagi kubu penentang rancangan undang-undang, itu karena ada keinginan untuk melepas masa lalu Ukraina yang berada di bawah cengkeraman Uni Soviet Rusia, yang berkeinginan menyeragamkan berbagai hal kepada rakyat. Penolakan itu sebagai upaya untuk meneguhkan ke-Ukraina-an di berbagai bidang, seperti bahasa. Dengan adanya bahasa Rusia yang berdampingan dengan bahasa Ukraina, kubu penentang menganggap bisa mengakibatkan kekaburan nasionalisme rakyat di masa yang akan datang.

Bahasa merupakan salah satu pengikat manusia untuk berbangsa dan bernegara. Satu bahasa, meski berbeda agama, mampu mengikat manusia menjadi satu bangsa dan negara. Meski manusia sebelumnya sudah bersepakat bersatu untuk berbangsa dan bernegara, ketika masalah satu bahasa belum selesai, hal demikian bisa menjadi pemicu disintegrasi bangsa.

Belgia, yang merdeka pada 4 Oktober 1830, selalu berada di bawah bayang-bayang disintegrasi bangsa. Masalahnya, selain soal etnis, tidak adanya bahasa Belgia. Belgia saat ini memiliki tiga bahasa resmi, yakni Belanda, Prancis, dan Jerman. Pengguna bahasa Belanda sebanyak 60 persen dan pengguna bahasa Prancis 35 persen selama ini kisruh. Kisruh terjadi karena mereka ingin menjadikan bahasanya sebagai bahasa resmi negara.

Demikian pula terjadi di sebagian masyarakat Provinsi Quebec, Kanada, yang ingin melepaskan diri dari Kanada. Provinsi terbesar itu ingin melepaskan diri salah satunya karena masalah bahasa. Maka dijadikan sebuah kompromi, Kanada adalah negara bilingual. Bahasa Inggris dan Prancis menjadi bahasa resmi negara tersebut.

Meski seseorang memiliki talian darah dengan sebuah bangsa, ketika tidak bisa berbahasa bangsa itu, ia tidak dianggap sebagai anak bangsa. Ketika pelatih tim nasional Polandia, Franciszek Smuda, melakukan naturalisasi kepada pesepak bola Prancis, seperti Ludovic Obraniak dan Damien Perquis, serta pesepak bola dari Jerman, yakni Adam Matuszczyk, Eugen Polanski, dan Sebastien Boenisch, yang semuanya masih berdarah Polandia, dia mendapat kecaman.

Pemain-pemain berdarah Polandia yang dinaturalisasi itu dikecam, selain mungkin pemain kelas dua di Eropa, karena mereka tidak bisa berbahasa Polandia. "Orang-orang asing itu tak bisa berbahasa Polandia mau bergabung hanya karena ditolak di mana-mana," ujar wartawan Polandia, Robert Blaszczak (Tempo, 10 Juni 2012). Menanggapi hal demikian, Damien Perquis mengakui. "Saya memang tidak bisa berbahasa Polandia, tapi hati saya adalah Polandia," ujar Perquis, dalam bahasa Prancis, seperti yang dilansir BBC.

Sebagai bangsa Indonesia, kita wajib bersyukur. Sebab, dalam masalah bahasa, kita tidak mengalami nasib seperti Ukraina, Belgia, dan Quebec. Masalah bahasa Indonesia sudah selesai ketika dinyatakan sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda II pada 1928 dan dijadikan bahasa resmi selepas 17 Agustus 1945. Bahasa itu bisa diterima banyak pihak karena, meski yang dipakai dasar adalah bahasa Melayu Riau, menghilangkan unsur-unsur etnisitas. Dalam Wikipedia disebutkan penggunaan nama Indonesia sebagai bahasa, untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan.

Untuk itu, di sini pentingnya kita terus mensosialisasi bahasa Indonesia ke seluruh wilayah Nusantara, terutama di wilayah-wilayah perbatasan. Sebab, dengan bahasalah sebuah masyarakat yang sudah menyatakan satu bangsa dan negara awet diikatnya.

*) Ketua Forum Alumni Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa Megawati Institute

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus