Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Moojen itu seorang seniman," kata rohaniwan dan sejarawan Kota Jakarta, Adolf Heuken, SJ. Mahakarya sang seniman adalah Menteng. Tepat seratus tahun lalu, arsitek bernama lengkap Pieter Adriaan Jacobus Moojen ini kelar membuat master plan Menteng, yang dulu disebut Nieuw-Gondangdia. Ini adalah proyek bergengsi dan raksasa untuk membuat permukiman baru bagi orang-orang kaya Batavia, yang saat itu masih berpusat di sekitar Istana Gubernur (kini Istana Negara dan Merdeka).
Dewan Kota Praja Batavia membuat ÂNieuw-Gondangdia karena pusat kota sudah sangat padat. Penduduk dari luar banyak yang masuk, termasuk juga dari Eropa. Kebutuhan untuk permukiman baru bagi orang Eropa sangat besar. Pilihan jatuh kepada Menteng, sebelah selatan Koningsplein (Medan Merdeka), yang masih di pinggir kota tapi berbatasan dengan daerah yang telah tergarap, yaitu Cikini. Luasnya lebih dari 500 hektare.
Jika seratus tahun lalu ada Google Earth (fasilitas foto satelit gratis di Internet), kita bisa melihat betapa artistiknya Menteng dari atas sana. Pola jalannya tidak berbentuk kotak-kotak seperti umumnya kompleks perumahan. Jalan-jalan di perÂmukimÂan itu berbentuk radial atau melingkar. Semua jalan mengitari sebuah lingkaran besar yang berpusat di sebuah taman di Javaweg (Jalan Jawa, kini Jalan H O.S. Cokroaminoto). Dari angkasa, jalan-jalan itu seperti obat nyamuk bakar dengan taman Javaweg di pusat kumparan. Kini taman itu tak ada lagi.
Akibat jalan melingkar itu, banyak persimpangan yang mengejutkan, kerap tidak berbentuk perempatan simetris tapi pertigaan atau perenaman yang sisi-sisinya tak beraturan. Sampai sekarang, perenaman itu masih bisa kita lalui di terusan Jalan Yusuf Adiwinata menuju Jalan Dr Sam Ratulangi. Untuk saat ini, persimpangan itu memang memusingkan dan membuat polisi lalu lintas kesulitan mengatur arus kendaraan. Tapi, di masa lalu, hal ini bukan masalah. Selain jumlah kendaraan tidak terlalu banyak, Menteng adalah kompleks perumahan tertutup yang kepadatan lalu lintasnya tak pernah direncanakan.
Tertutup? Ya, dulu akses menuju Menteng hanya satu, yaitu dari arah timur laut, dengan Gedung Bouwploeg (sekarang Masjid Cut Meutia) sebagai pintu masuknya. "Dulu Thamrin, Sudirman, dan Kuningan masih rumput-rumput tinggi, belum bisa dilalui orang," ujar Heuken, 82 tahun.
Kini, mari kita turun dari ketinggian dan mendekati gerbang permukiman itu. Dari sini, kita akan melihat betapa artistiknya bangunan-bangunan yang Moojen buat. Bangunan pertama di Menteng, yang kelar pada 1912, adalah Bouwploeg (artinya kontraktor). Fungsinya sama seperti kantor pemasaran di perumahan zaman sekarang. Moojen merancangnya dengan gaya art nouveau, yang populer di Eropa ketika itu. Sebuah massa besar berada di tengah. Bidang kotak yang lebih kecil menempel di kanan dan kiri massa itu. Dari atas, bentuknya seperti salib yang simetris. Pintu masuk seolah-olah ada tiga, padahal satu. Dua lainnya hanya berfungsi sebagai bukaan. Di bagian atas, ia memakai kubah. Tidak bulat, tapi agak kotak seperti kubah Masjid Raya Medan. Seluruh dinding terpasang jendela besar. Ruangan di tengah bangunan sangat besar dengan langit-langit tinggi.
Gaya rancangan tersebut sangat berbeda dengan bangunan di Batavia, yang masih condong klasik—bangunan lebar dengan pilar besar. Dari Bouwploeg Menteng, penghuni bisa melihat gaya bangunan berbeda lainnya, yaitu Gedung Kunstkring. Rancangan Moojen ini berada di ujung jalan utama (kini Jalan Teuku Umar), masih satu perempatan dengan Bouwploeg. Fungsinya sebagai tempat pameran arsitektur dan seni murni. Inilah gedung pertama di Hindia Belanda yang memakai konstruksi beton bertulang. Gedung ini pernah menjadi Kantor Imigrasi, Buddha Bar, dan kini Bistro Boulevard.
Kedua bangunan itu bisa dilihat orang dari luar kompleks Menteng. Tapi, untuk masuk, tidak semua orang bisa. Pribumi yang boleh masuk sangat terbatas. Terkadang tukang sayur atau buah-buahan diperkenankan berkeliling di jalanan yang masih luas dan bagus. Saat sore, para sinyo dan noni Eropa memakai jalan untuk minum teh. Mereka meletakkan kursi-kursi taman di pinggir jalan, mengobrol dengan tetangga dengan bebas karena pagar yang amat rendah.
Inilah permukiman modern pertama di Hindia Belanda dengan konsep "kota taman" alias tuinstad. Tiga puluh persen dari luasnya menjadi lahan hijau. Jadi bisa dibayangkan betapa nyamannya hidup di Menteng ketika itu. Lingkungannya masih suburban, terisolasi dengan kepadatan Batavia. Kebanyakan yang tinggal di sana pengusaha dan pegawai negeri yang bekerja di pusat kota. Mereka bisa memakai jalur trem untuk berangkat dan pulang kerja menuju Harmoni atau Lapangan Banteng. Orang yang berkocek tebal mengendarai mobil di jalan beraspal. Kalau ingin hiburan, kurang dari tiga kilometer ke arah utara terdapat Harmonie Club.
Pada 1920-1930, Harmonie Club terkenal untuk kelompok elite yang senang makanan enak, musik bagus, dansa, dan permainan biliar. Hiburan untuk keluarga juga dekat. Kurang dari dua kilometer, sudah bisa ke kebun binatang Cikini (sekarang Taman Ismail Marzuki). Ada pula kolam renang Cikini (kini Hotel F1), yang pada awal Menteng dibangun masih khusus untuk orang kulit putih.
Untuk melengkapi fasilitas kota satelit ini, pada 1934 mereka mendirikan Gereja Theresia dan sekolah. Sewaktu gereja didirikan, seorang pastor mengeluh kepada Mgr Willekens, SJ, "Mengapa uskup hendak membangun gereja di luar kota? Siapakah yang mau ke sana?" Waktu itu tak ada yang menyangka gereja tersebut akan berada di jantung kota seperti saat ini.
Kaveling yang ditawarkan Moojen memang tidak seluas tanah pada rumah-rumah Belanda di Koningsplein—mulai 500 hingga di atas 1.000 meter persegi. Inilah yang membuat pembantu mereka tidak sebanyak orang Koningsplein. Meski kalah besar, rumah di Menteng jauh lebih artistik dan modern.
Soal rumah, Moojen adalah pencetus lahirnya gaya modern tropis Hindia Belanda alias indische bouwstijl. Rumahnya ini, kata Heuken, berciri khas ada sebuah bangunan induk di bagian depan. "Tidak menempel ke dinding tetangga," kata pria kelahiran Jerman itu. Di belakangnya, ada bangunan tambahan untuk tamu atau area servis.
Proporsi rumah tidak mendominasi, supaya halaman jadi luas. Langit-langit bangunannya tinggi dan jendelanya besar. Terkadang luasnya bisa mencapai 50 persen dinding penyangga jendela. Rumahnya jadi sejuk, meskipun kamarnya tidak seluas kamar rumah Eropa umumnya. Atap juga dibuat lebar dan tinggi untuk membuat bayangan teduh di bawahnya dan sirkulasi udara bergerak maksimal.
Moojen hanya sampai 1918 mengembangkan Menteng. Arsitek tempat itu kemudian berpindah-pindah tangan. Tapi konsep tuinstad masih menjadi acuan. F.J. Kubatz merancang Jalan Menteng, yang masih dipakai sekarang. "Kubatz lebih praktis," kata Heuken. Pola yang ia pakai grid. Dia memindahkan taman besar ke selatan Menteng, yang sekarang menjadi Taman Suropati.
Setelah Indonesia merdeka dan orang-orang Belanda keluar, Menteng banyak dihuni pejabat pemerintah. Meski demikian, sampai 1960-an, Menteng masih nyaman dihuni. Heuken masih ingat, saat ia mulai tinggal di Jalan Muhammad Yamin pada 1969, pagar rumahnya seperti kandang ayam. Hanya kawat yang dibentangkan dengan tongkat kayu. Setiap sore, ia biasa duduk di teras sambil mendengarkan suara burung dan menikmati hawa sejuk. Terkadang penjual makanan di gerobak berseliweran. "(Pedagang) sate dan bakso suka jualan depan rumah," katanya.
Lucia Ismail, 58 tahun, juga punya kenangan indah serupa. Sewaktu kecil, saat jalanan Menteng belum ada lampu merah, ia bisa bermain layangan di tengah jalan atau kebut-kebutan sepeda dengan teman-temannya. Pohon di lingkungannya rindang, sampai ia tidak bisa menahan godaan untuk mencuri jambu punya tetangga. "Masih banyak musang dan tupai berkeliaran," katanya.
Lain lagi cerita Tonda Kaloke, 42 tahun. Bersama kakaknya, Nia Kaloke, yang tinggal di Jalan Sam Ratulangi, ia sering menghitung pohon asam yang berjajar di salah satu akses utama Menteng itu. "Pada 1978, masih 60-an pohon, sekarang tinggal 21," kata Tonda. Masa kecilnya juga sama dengan anak-anak Jakarta pada umumnya. Malah, menurut dia, anak Menteng tergolong cuek. "Yang (gayanya) lebih keren justru anak Kebayoran," ujarnya.
Heuken mengatakan, sejak bom harga minyak pada 1970-an, Menteng mulai berubah. Pendatang kaya masuk. Penghuni lama memutuskan keluar karena harga jual rumahnya tinggi. Ada pula yang memutuskan keluar karena tidak sanggup membayar pajak bumi dan bangunan di sana yang sampai puluhan juta rupiah per tahun.
Tindakan para pendatang ini cukup brutal. Mereka mengubah rumah bergaya indische dengan model istana Eropa. Pilar-pilar tinggi besar ada di muka rumah. Belum lagi pagar mereka bisa lebih dari tiga meter, sampai menutup visualisasi dari dan ke jalan. Padahal, menurut peraturan pemerintah kota, di Menteng tinggi pagar hanya boleh 1,25 meter dan ketinggian bangunan maksimal 7 meter.
Lucia, sebagai ketua rukun tetangga di lingkungannya, sempat pusing menghadapi kelakuan penghuni baru itu. "Saya tidak kenal lagi sebelah rumah siapa pemiliknya," katanya. Tujuh tahun lalu, ia terakhir kali berjumpa dengan tetangga samping kanan rumahnya. Saat mengurus surat-surat, seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, penghuni tidak pernah langsung datang ke rumah Lucia. "Kalau tidak pembantu, ya, satpam yang datang ke rumah saya," ujarnya. Ada pula satu rumah di dekat rumahnya yang malah jadi tempat parkir mobil dan kandang anjing.
Ketua Tim Sidang Pemugaran DKI Jakarta Bambang Eryudhawan menggambarkan Menteng seperti anak perempuan yang terlahir cantik dan baik, tapi proses perkembangannya membuat semua orang kecewa. Sejak 1975, Menteng ditetapkan Gubernur Ali Sadikin sebagai kawasan konservasi. Artinya, pemugaran tidak bisa sembarangan.
Namun, berdasarkan penelitian Ikatan Arsitektur Indonesia serta Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan DKI Jakarta, dari 3.000 bangunan cagar budaya di sana, sebanyak 900 bangunan atau 30 persen masuk kategori pemugaran tak terkendali.
Tapi pemugaran yang sesuai dengan ketentuan juga tak menjamin bangunan itu selamat. Ini karena peraturan pemerintah daerah kerap diubah demi menyerap keinginan penghuni. "Seperti cuka masuk ke botol anggur, jadinya berantakan," ujar Yudha. Jadi, dengan cara apa pun pemerintah kota menata kawasan cagar budaya ini, tetap saja ada utak-atik.
Heuken berpendapat serupa. Penulis buku Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia ini tidak habis pikir dengan tidak konsistennya tata ruang yang dibuat pemerintah kota. "Semua karena duit," katanya dengan emosi. Ia mencontohkan kasus pembongkaran Gedung Telefoongebouw di Jalan Cilacap, Menteng.
Gedung itu awalnya termasuk kategori A dalam rencana tata ruang kota Jakarta. Artinya, gedung itu tidak boleh dibongkar, dirobohkan, atau diubah. Kalau hendak diperbaiki, harus dikembalikan ke bentuk asalnya, persis. Hingga tahun lalu, kategori itu tidak berubah. Tiba-tiba tahun ini bagian muka gedung itu berkategori B (bagian luar-dalam boleh diubah). Sedangkan bagian sampingnya dikategorikan C (boleh dibangun baru tapi harus disesuaikan dengan bangunan di sekitarnya). "Entah sejak kapan statusnya berubah? Ada manipulasi data," ujar Heuken.
Akibat perubahan status ini, gedung yang dulu menjadi kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu sekarang hancur setengahnya karena akan dijadikan hotel bertingkat delapan.
Gedung Bouwploeg, yang dulu menjadi ikon Menteng, kini tak bisa dilihat lagi keindahannya secara utuh. Bangunan rumah makan Padang dan sejumlah kios lain menempel begitu saja menutup sisi-sisi dinding Masjid Cut Meutia itu.
Suasana Menteng yang nyaman tidak lagi dirasakan Heuken. Suara burung sudah jarang terdengar. Duduk di teras tidak nyaman karena debu dan polusi suara. Berjalan-jalan di seputar Menteng pun tidak bisa ia lakukan. Heuken sekarang harus memakai tongkat untuk berjalan, sementara jalur trotoar tidak ada yang ramah dengannya.
Sorta Tobing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo