Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada lagi yang bisa disuguhkan Inggit Garnasih untuk tamu suaminya kecuali teh encer tak bergula. Stoples di dapur sudah lama tengkurap. Karung beras sebentar lagi dilipat. Juni 1926, keuangan Sukarno dan Inggit benar-benar terpuruk.
Meski bergelar insinyur sipil dari Technische Hogeschool—sekarang Institut Teknologi Bandung—Sukarno tak punya penghasilan tetap. Ia sebenarnya ditawari dosennya, Profesor Wolff Schoemaker, bekerja di Departemen Pekerjaan Umum. Tapi Sukarno tak suka kungkungan birokrasi pemerintah.
Pilihan satu-satunya adalah jadi guru di Ksatrian Instituut, sekolah yang dipimpin Ernest Douwes Dekker, satu dari tiga serangkai pendiri Indische Partij. Sekolah ÂKsatrian sekarang adalah SMP Negeri 1 Bandung. Jurnalis B.M. Diah pernah bersekolah di situ.
Tapi posisi yang lowong hanya guru matematika dan sejarah. Sukarno galau: meski kuliah di Technische Hogeschool, ia lemah dalam berhitung. "Apa yang harus kukatakan kalau ternyata aku selalu gagal di matematika?" kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Douwes Dekker mendesak. "Apa yang sebenarnya Anda pikirkan, Bung? Bisakah Anda mengajar?" Kepepet, Sukarno mengiyakan. "Apakah aku bisa mengajar? Pasti aku bisa, tentu saja aku bisa." Matematika juga? "Ya, matematika juga."
Mulai pekan itu juga Sukarno mengajar di Sekolah ÂKsatrian. Seperti diduga, kariernya cuma beberapa bulan. Inspektur Pendidikan Belanda tak suka karena Sukarno lebih banyak "membakar" murid-muridnya ketimbang "mengajar". Hengkang dari Sekolah Ksatrian, Sukarno mendirikan biro arsitek swasta.
Menjadikan Sukarno sebagai guru di Ksatrian Instituut, menurut Frans Glissenaar dalam buku DD: Het leven van E.F.E. Douwes Dekker, sebenarnya cuma siasat. Dekker ingin mengajak Sukarno ikut pertemuan tanpa diganggu Politieke Inlichtingen Dienst (PID), polisi rahasia kolonial Belanda. "Ini semacam kamuflase, mengingat Sukarno dan Dekker adalah orang yang masuk pengintaian PID," kata sejarawan Rushdy Hoesein. "Melalui sekolahnya, Dekker punya cara baru mengumpulkan banyak tokoh pergerakan."
Sukarno muda yang mengagumkan sejatinya sudah didengar Douwes Dekker dari Semaun, Alimin, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Pada 1918-1921, ketika Dekker melakukan pergerakan di Yogya dan Surabaya, ia berdiskusi dengan Ketua Sarekat Islam Tjokroaminoto, induk semang sekaligus mertua Sukarno.
Tapi kedekatan Sukarno dengan Douwes Dekker terjalin berkat Tjipto Mangoenkoesoemo. Pada 1922, ketika kuliah di Bandung, Sukarno terlibat dalam diskusi dengan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo di Tegalega.
Di rumah Tjipto, Sukarno berkenalan dengan Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat—dua serangkai pendiri Indische Partij, yang kemudian menjadi Nationaal Indische Partij. Selain itu, ada tokoh muda seperti Mohammad Natsir. Diskusi sore di rumah Tjipto membuat Sukarno terpesona. Sebaliknya, Tjipto dan Dekker juga terpikat pada anak didik Tjokro itu. Diskusi berlangsung intensif antara lain karena rumah Sukarno di Jalan Pangkur tak jauh dari rumah Tjipto dan Dekker di Jalan Tjiateul, Kota Kembang.
Melalui rangkaian percakapan, Sukarno dekat dengan Douwes Dekker. Menurut Bob Hering dalam Soekarno Bapak Indonesia Merdeka, keduanya akrab karena sama-sama alumnus HBS Surabaya. Dalam pergaulan, Sukarno memanggil Tjipto sebagai "Om Tjip-My Chief". Nama panggilan Dekker oleh Sukarno adalah "Nest" atau "Ernest". Tjipto dan Dekker memanggil "Kusno" kepada Sukarno—nama kecil Sukarno di lingkungan keluarga.
Tak hanya terlibat diskusi, trio Tjipto-Dekker-Suwardi mengajak Sukarno terlibat dalam berbagai gerakan. Pada 12 November 1922, misalnya, Sukarno, Tjipto, dan Dekker hadir dalam rapat di Pondok Masonic, Vrijmetselaarweg—kini Jalan Budi Utomo, Jakarta—untuk menghidupkan kembali Radicale Concentratie, semacam rapat terbuka. Ketika rapat Nationaal Indische Partij itu digelar di alun-alun Bandung, 20 Januari 1923, Sukarno nekat naik mimbar meski belakangan dipaksa turun.
Dekker dan Tjipto juga membuka jalan bagi Sukarno untuk bertemu dengan sejumlah tokoh lain, di antaranya J.E. Stokvis, tokoh sosial demokrat yang pro-Indonesia di Volksraad. Pada Maret 1923, menurut Bernhard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Sukarno ikut diskusi malam hari bersama Stokvis.
Melalui Dekker pula, Sukarno mengenal D.M.G. Koch, wartawan yang juga juru bicara Indische Sociaal Democratische VereeÂniging. Belakangan, Sukarno kerap bertandang ke rumah Koch di Jalan Papandayan, Bandung, untuk meminjam buku-buku Marxisme dan sosialisme serta mendengarkan lagu negro spiritual.
Koch belakangan diangkat menjadi sekretaris Algemeene Studie Club, kelompok yang diketuai Sukarno dan didirikan pada 29 November 1925. Klub studi ini, menurut Tjipto Mangoenkoesoemo seperti ditulis Balfas, memiliki cara kerja seperti Indische Partij. Algemeene meluas dan punya banyak pengikut, termasuk anak muda Indonesia yang baru lulus dari sekolah di Belanda. Algemeene adalah cikal-bakal Partai Nasional Indonesia.
Perpisahan Sukarno dengan Tjokro sedikit-banyak dipengaruhi Douwes Dekker. Dalam banyak diskusi, Dekker menganalisis Radicale Concentratie yang bubar lantaran polarisasi Islam dan komunis di organisasi itu. Sarekat disebut Dekker bergeser dari sosialisme menjadi pan-Islamisme. Sedangkan faksi komunis mendekat ke Moskow.
Pada persimpangan inilah, menurut Bob Hering, Sukarno memutus ikatan politiknya dengan Tjokro lantaran lebih terpikat pada Indische Partij. Tjipto memang menanamkan sikap menjunjung tinggi persamaan ras pada Sukarno. Ia juga mengajak Bung Besar melawan kapitalisme dengan fokus pada perjuangan kemerdekaan nasional. Tapi Dekker, menurut Frans Glissenaar, mengisi nilai-nilai yang lain: mendorong Sukarno bergerak dengan pola pengorganisasian gerakan yang ketat. Dekker pulalah yang "memoles" Sukarno agar punya wibawa menghadapi massa.
Douwes Dekker tahu mengapa Sukarno bisa diandalkan. Dalam sebuah rapat National Indische Partij, Douwes Dekker, yang saat itu 50 tahun, berpidato:
"Saya telah berjumpa dengan pemuda Sukarno. Umur saya semakin lanjut, dan bilamana datang saatnya saya mati, saya sampaikan kepada Tuan-Tuan bahwa adalah kehendak saya supaya Sukarno yang menjadi pengganti saya. Anak muda ini akan menjadi 'juru selamat dari rakyat Indonesia di masa yang akan datang'."
Bertahun kemudian, Sukarno seperti menjawab pidato sang guru. Dalam wawancaranya dengan George Kahin pada 1959—diulanginya saat berpidato di depan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, 3 Desember 1966—Sukarno menyebut Tjipto dan Dekker sebagai mentor.
"Aku bersyukur bisa mereguk air nasionalisme dari Tjipto Mangoenkoesoemo, dari Ernest Douwes Dekker. Aku bersyukur, dari merekalah aku mendapat pengajaran. Aku maguru pada Tjipto, Aku maguru pada Douwes Dekker, Setiabudi. Pada Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara. Maguru artinya aku nglesot di bawah kakinya. Aku terima semua pikiran dan aliran. Semua menjadi simfoni bagiku."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo