Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepucuk surat mendarat di meja Residen Priangan S.A. Reitsma pada 15 Januari 1923. Surat bercap rahasia itu dikirim oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Dirk Fock dari Batavia. Isinya, jawaban atas pertanyaan Reitsma atas permintaan izin mengajar Ernest Franois Eugne Douwes Dekker di sebuah sekolah dasar yang dipimpin H.E. Meyer Elenbaas, seorang perempuan Belanda penggiat pendidikan di Bandung.
"Bagi seorang yang mengalami gelisah seperti Douwes Dekker, lebih baik bila diberi kesempatan untuk dapat bekerja secara tetap bagi penghidupannya, daripada ia dihilangi. Sebab ia akan lebih condong untuk menghasut rakyat." Demikian bunyi kalimat dari Gubernur Jenderal yang dituangkan dalam surat bernomor 3a/1 itu. Jadi, izin mengajar diberikan hanya sebagai obat gelisah bagi Douwes Dekker.
Berkat sepucuk surat itu, sejak September 1922, Douwes Dekker menjadi guru di sekolah asuhan Elenbaas. Pria yang akrab disapa DD itu girang bukan kepalang. Dia pun meninggalkan peternakan ayam yang ia rintis di Cibadak, Sukabumi, selepas pembubaran Indische Partij.
Hari-hari ia lalui dengan mengajar di sekolah dasar. Berbekal semangat, ilmu tinggi, dan pikiran bengalnya, DD menjalani masa percobaan hingga diangkat menjadi guru resmi pada 22 September 1923. Bahkan ia langsung dipercaya masuk jajaran pengurus Preanger Instituut van de Vereeniging Volksonderwijs (Institut Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat).
Di lembaga baru itu, DD menjabat Direktur Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau setara dengan kepala sekolah menengah pertama. Sepak terjang Douwes Dekker agresif. Tak butuh waktu lama, pada 1924, ia mengubah MULO, yang dipercayakan kepadanya, menjadi sebuah yayasan bernama Schoolvereeniging Het Ksatrian Instituut.
Dalam dokumen akta pendiriannya tercantum delapan nama pendiri yayasan, yakni Douwes Dekker, G.M.G. Douwes Dekker, P.Ph.P. Westerloo, J.E. Folkens, Tjipto Mangoenkoesoemo, A. Coomans, Mangoenkoesoemo, dan P.E. Dakter. Sebagian dari mereka pentolan Indische Partij.
"Sebuah sekolah yang mempersiapkan para kesatria bagi Indonesia merdeka," kata P.F. Dahler seperti dikutip surat kabar Bintang Timoer. Dahler adalah kawan DD dalam kegiatan politik dan sempat mengajar di Ksatrian.
Awalnya Ksatrian Instituut hanya berupa sekolah dasar dengan murid kurang dari 50 orang. DD bertindak sebagai ketua yayasan. Sedangkan istrinya, Johanna Petronella, menjabat sekretaris merangkap bendahara.
Dalam perjalanannya, sempat terjadi pertentangan soal praktek belajar-mengajar antara DD dan para orang tua murid. Ernest—sebutan sayang DD dari istrinya—ingin semua kurikulum ditentukan berdasarkan ajaran lokal dan nasional, sonder ajaran asing. Namun para orang tua murid berkehendak lain. Mereka ingin sekolah ini mengacu pada Europe Lagere School (ELS), di mana bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar pelajaran.
"Demi cita-citanya membuat sekolah, Ernest pun mengalah," kata Johanna seperti termaktub dalam buku Paul W. van der Veur, The Lion and the Gadfly. Namun, kenyataannya, DD dan istrinya tak mau berkompromi dengan Belanda. Mereka menjadikan Ksatrian sebagai sekolah yang serius mengajarkan pentingnya bangsa merdeka dan mandiri.
Sikap itu yang kemudian membuat Belanda jengah. Puncak pembangkangan DD kepada Belanda terjadi pada suatu pagi, 31 Agustus 1925. Sementara sekolah lain gegap-gempita merayakan hari kelahiran Ratu Belanda Wilhelmina, keheningan malah membekap Ksatrian. Di depan DD dan murid-muridnya, Johanna lantang berpidato. "Tak perlu ada perayaan apa pun. Dia (Wilhelmina) bukan ratu kita," ujar Pater Dick Hartoko menirukan pidato Johanna, yang dikutip dari buku Segelas Beras untuk Berdua: Manusia dan Pengharapan karya Sindhunata.
Ksatrian terus berkembang. Murid-murid berdatangan meski iuran sekolah tak murah. Ketika Ksatrian berusia setahun, DD memberi kepercayaan kepada istrinya untuk memimpin beberapa sekolah lain, yakni Nationale Lagere School di Ciwidey, Cianjur, dan Sukabumi.
Sekolah induk Ksatrian Instituut—yang bangunannya kini ditempati SMP Negeri 1 Bandung di Jalan Ksatrian—dipecah menjadi beberapa sekolah kejuruan. Ada Sekolah Guru, Sekolah Dagang Modern, dan Sekolah Jurnalistik. Yang termasyhur adalah Sekolah Jurnalistik, yang melahirkan sejumlah tokoh pers nasional, seperti RM Hoedojo Hoeksamadiman, pengelola majalah Ksatrian, dan Burhanuddin Mohamad Diah, menteri penerangan pada era Soeharto.
Ksatrian Insituut dikenal dengan buku-buku terbitan mereka sendiri. Buku yang paling digemari siswa saat itu adalah buku tata bahasa Belanda dan Jepang karya guru berkewarganegaraan Jepang, H. Nagashami, dan guru pribumi M. Sabirin serta buku Sejarah Kuno Indonesia yang ditulis DD. Kelak usaha penerbitan inilah yang menjadi sayap bisnis Ksatrian Instituut yang paling banyak menghasilkan duit untuk pengembangan pendidikannya.
Mandiri adalah morfem yang tepat untuk menggambarkan Ksatrian Instituut kala itu. Lahir di zaman penjajahan, sekolah itu tumbuh menjadi entitas perlawanan terhadap pendidikan kolonial. "Saat itu Ksatrian adalah sekolah liar yang istimewa," ujar R.H.E. Goeryama kepada Tempo pada Ahad pekan lalu.
Goeryama, yang kala itu siswa Twede HIS "Banjarsari", kagum pada pengetahuan umum lulusan Ksatrian, terutama penguasaan ilmu hayat. Ia ingat betul, kawan-kawannya dari sekolah itu begitu mudah mengenali bunga dan pohon di sekitar rumah mereka. "Sikap kritis terhadap ketidakadilan juga sangat menonjol," kata bekas pejabat di jawatan pos Hindia-Belanda ini.
Dari Salim, sepupunya yang bersekolah di Ksatrian, Goeryama tahu betapa hebat para pengajar di sekolah itu. Salim sering bercerita kepadanya ihwal bagaimana Sukarno dengan fasihnya mengajarkan ilmu pasti, Tjipto yang berwibawa saat mengajar jurnalistik, atau Ki Hadjar Dewantara yang dengan cemerlang membawakan mata pelajaran pengetahuan umum.
"Pada setiap mata pelajaran selalu diselingi doktrin soal bagaimana tidak mudah tunduk pada penjajahan dan pentingnya menjadi bangsa merdeka," kenang kakek 87 tahun ini. Dan doktrin berdiri di atas kaki sendiri ini memang menjadi soko guru pengajaran di Ksatrian. Hal itu terbukti dari moto yang tertera di dua pintu utama sekolah. Pintu pertama bertulisan "Door de will van onse Volk" (Karena Kemauan Rakyat) dan pintu lainnya ditulisi "Des Volte Toekomst gewijd" (Diabdikan kepada Hari Depan Rakyat).
Walau disebut sebagai sekolah liar, Ksatrian tak lalai memperhatikan kondisi muridnya. Hampir setiap pekan ada pemeriksaan kesehatan gratis, sama seperti sekolah pemerintah. Namun, karena enggan bergantung pada pemerintah kolonial, Johanna-lah yang kerap menyuntik para murid yang sakit. "Semua dilakukan mandiri," kata Goeryama.
Menurut sejarawan Komunitas Bambu, J.J. Rizal, apa yang dilakukan DD di Ksatrian bisa diartikan sebagai bentuk lain dari perlawanannya terhadap penjajahan Belanda, satu napas dengan semangat Indische Partij. Sebab, perjuangan melalui pendidikan dengan cara mengembangkan pengetahuan umum tentang sejarah Hindia merupakan salah satu poin dari anggaran dasar pembentukan partai politik pertama di Indonesia itu.
Berjuang dan melawan adalah pesan terpenting DD dari pendirian Ksatrian Instituut. Bahkan, di saat terakhirnya sebelum dibuang ke Suriname pada 1942, ia berpesan dengan keras kepada Johanna agar meneruskan cita-cita perjuangan lewat pendidikan. Baginya, Ksatrian Instituut merupakan salah satu monumen perjuangannya melawan penjajahan.
Kepada seorang kawannya di Karawang, DD menulis surat, "Yang terpenting di dalam sekolahku ialah adanya rasa harga diri manusia dan kepercayaan kepada diri sendiri, berbeda dengan sekolah-sekolah penjajah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo