SUASANA muram atau gembira di kantor pusat PN Pertamina, Jl.
Perwira, Jakarta, biasanya cepat terasa di Sorong, kota
pelabuhan yang ribuan kilometer jauhnya di timur. Sorong bukan
hanya nama kota, melainkan juga kabupaten yang berada di ujung
semenanjung Cenderawasih (Kepala Burung), Irian Jaya. Anggota
redaksi TEMPO Amir Daud berada 2 malam di kota Sorong baru-baru
ini sebagai tamu Pertamina. Berikut ini kesannya dari sana.
Pejabat pemerintahan kolonial Belanda dulu berkantor dan tinggal
di pulau kecil, Doom, persis di depan pelabuhan Sorong sekarang.
Pemerintahan kabupaten sekarang berada di kota Sorong yang
dulunya khusus untuk warga maskapai minyak. Tapi Bupati Sutadji,
demikian kesan orang di kota itu, seperti menumpang saja pada
Pertamina. Pengaruh industri minyak menonjol sekali.
Satu-satunya bidang usaha lain yang dianggap berarti bagi Sorong
adalah perikanan. Karena di sini ada investasi swasta Jepang,
tapi sumbangannya bagi kehidupan kota tidaklah seberapa bila
dibanding dari sektor minyak.
Kabupaten ini berpenduduk 123.000 jiwa dalam areal yang cukup
luas -174.000 Km persegi, termasuk banyak pulau. Lebih sepertiga
penduduknya berkumpul di kota Sorong yang kecil itu. Dan lebih
separoh dari Ik. 45.000 penduduk kota itu adalah kaum pendatang,
yang terbesar berasal Sulawesi Selatan.
Orang Makassar
Banyak kios di paslrnya dipegang oleh pendatang dari Sulsel,
umumnya disebut sebagai 'orang Makassar.' Sering ada
perkelahian, di mana orang Makassar membunuh atau dibunuh oleh
orang Irian. Terkadang hanya karena soal sepele saja. Tapi
belakangan ini sudah ada badan pendamai, atas prakarsa pihak
kepolisian, yang mengikut-sertakan berbagai tokoh kelompok
masyarakat.
Orang pribumi yang tanpa pakaian tidak kelihatan di kota yang
memang lebih maju dibanding dengan banyak kota lainnya di Irian-
Jaya. Ketika ditanya apakah bukti kemajuan, bupati Sutadji
menjawab spontan dengan contoh: Makin banyak orang Irian di
kabupaten ini sekarang makan nasi.
Makanan pokok di situ biasanya dan semustinya tetap dianjurkan,
kasbi (ketela pohon) dan bapeda (bubur sagu). Tidak ada orang
menanam padi di Sorong. Bulog kini rupanya harus memperbanyak
droping beras karena perubahan pangan penduduk kabupaten itu.
Ada kemajuan lain, yaitu tiap desa sudah memiliki Sekolah Dasar.
Dengan SD itu bahasa Indonesia makin tersebar luas. "Kami
sekarang bisa berkomunikasi dengan penduduk melalui anak
sekolah," kata seorang pejabat yang suka dinas ke luar kota.
Rajin Membaca
Di kota itu sendiri, banyak pemuda Irian kelihatan keluyuran
tanpa pekerjaan, walaupun sudah bersekolah. Namun mereka rajin
pergi juga ke toko buku Gunung Agung untuk membaca dan, tentu
saja, selalu tanpa membeli.
Pertamina, sebelum dilanda krisis keuangan tiga tahun yang lalu,
sudah memulai proyek pembangunan lapangan terbang di daerah
pinggiran kota Sorong: Proyek itu kini terhenti. Sejumlah
alat-besarnya untuk proyek itu kini pun dibiarkan terlantar,
hampir jadi besi tua.
Dulu pemurah, Pertamina kini sukar menyumbang untuk
lingkungannya. Maka Sorong buat sementara tampaknya masih harus
bergantung pada landasan terbang lama di Jefman, berjarak 45
menit dengan perahu bermotor dari kota. Jefman bisa didarati
oleh pesawat jet kecil, yang bahan-bakarnya dipompakan
(pakai tangan) dari drum, karena tidak ada mobil tangki. Memang
tidak satu pun kendaraan roda-4 maupun roda-2 dijumpai di situ.
Frekwensi penerbangan, termasuk helicopter, di Jefman meningkat.
Helicopter menghubungkannya dengan perkemahan ladang minyak yang
berdekatan, terutama Kasim (Petromer Trend Corp.) dan Salawati
(Phillips Petroleum Co.).
Dari ladang-ladang minyak baru itu (TEMPO, 10 Desember) cukup
banyak mengalir uang orang yang berbelanda ke kota. Itu pula
yang mendorong satu pengusaha keturunan Cina membangun Hotel
Cenderawasih, terbesar dari cuma tiga penginapan di Sorong.
Walaupun terbaik, Cenderawasih mungkin setaraf dengan hotel klas
III di Jakarta, tapi tinggi tarifnya mengimbangi Hotel Indonesia
Sheraton. "Memang semua malal di sini, pak," kata manajernya.
Bahwa orang Sorong berduit, itu kelihatan di klub-malam Mona
Lisa yang selalu ramai. Di toko, orang Sorong masih berani
membeli dengan Rp 1000 per kaset, sedang di Jakarta lagu yang
sama sudah merosot ke 3 - seribu tapi masih sulit dijual.
PT Pacific Nickel Indonesia kini ditunggu untuk membuka pulau
Gag, Ik 100 mil dari Sorong. Dengan rencana ylvestasi proyek
nickel itu, mungkin mencapai US$ 1 milyar, pasti Sorong akan
kecipratan rezeki pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini