Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menumpang Pada Pertamina ?

Kota sorong, irian jaya, sudah lebih maju dibanding banyak kota lainnya. pengaruh industri minyak pertamina menonjol sekali disamping industri perikanan.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA muram atau gembira di kantor pusat PN Pertamina, Jl. Perwira, Jakarta, biasanya cepat terasa di Sorong, kota pelabuhan yang ribuan kilometer jauhnya di timur. Sorong bukan hanya nama kota, melainkan juga kabupaten yang berada di ujung semenanjung Cenderawasih (Kepala Burung), Irian Jaya. Anggota redaksi TEMPO Amir Daud berada 2 malam di kota Sorong baru-baru ini sebagai tamu Pertamina. Berikut ini kesannya dari sana. Pejabat pemerintahan kolonial Belanda dulu berkantor dan tinggal di pulau kecil, Doom, persis di depan pelabuhan Sorong sekarang. Pemerintahan kabupaten sekarang berada di kota Sorong yang dulunya khusus untuk warga maskapai minyak. Tapi Bupati Sutadji, demikian kesan orang di kota itu, seperti menumpang saja pada Pertamina. Pengaruh industri minyak menonjol sekali. Satu-satunya bidang usaha lain yang dianggap berarti bagi Sorong adalah perikanan. Karena di sini ada investasi swasta Jepang, tapi sumbangannya bagi kehidupan kota tidaklah seberapa bila dibanding dari sektor minyak. Kabupaten ini berpenduduk 123.000 jiwa dalam areal yang cukup luas -174.000 Km persegi, termasuk banyak pulau. Lebih sepertiga penduduknya berkumpul di kota Sorong yang kecil itu. Dan lebih separoh dari Ik. 45.000 penduduk kota itu adalah kaum pendatang, yang terbesar berasal Sulawesi Selatan. Orang Makassar Banyak kios di paslrnya dipegang oleh pendatang dari Sulsel, umumnya disebut sebagai 'orang Makassar.' Sering ada perkelahian, di mana orang Makassar membunuh atau dibunuh oleh orang Irian. Terkadang hanya karena soal sepele saja. Tapi belakangan ini sudah ada badan pendamai, atas prakarsa pihak kepolisian, yang mengikut-sertakan berbagai tokoh kelompok masyarakat. Orang pribumi yang tanpa pakaian tidak kelihatan di kota yang memang lebih maju dibanding dengan banyak kota lainnya di Irian- Jaya. Ketika ditanya apakah bukti kemajuan, bupati Sutadji menjawab spontan dengan contoh: Makin banyak orang Irian di kabupaten ini sekarang makan nasi. Makanan pokok di situ biasanya dan semustinya tetap dianjurkan, kasbi (ketela pohon) dan bapeda (bubur sagu). Tidak ada orang menanam padi di Sorong. Bulog kini rupanya harus memperbanyak droping beras karena perubahan pangan penduduk kabupaten itu. Ada kemajuan lain, yaitu tiap desa sudah memiliki Sekolah Dasar. Dengan SD itu bahasa Indonesia makin tersebar luas. "Kami sekarang bisa berkomunikasi dengan penduduk melalui anak sekolah," kata seorang pejabat yang suka dinas ke luar kota. Rajin Membaca Di kota itu sendiri, banyak pemuda Irian kelihatan keluyuran tanpa pekerjaan, walaupun sudah bersekolah. Namun mereka rajin pergi juga ke toko buku Gunung Agung untuk membaca dan, tentu saja, selalu tanpa membeli. Pertamina, sebelum dilanda krisis keuangan tiga tahun yang lalu, sudah memulai proyek pembangunan lapangan terbang di daerah pinggiran kota Sorong: Proyek itu kini terhenti. Sejumlah alat-besarnya untuk proyek itu kini pun dibiarkan terlantar, hampir jadi besi tua. Dulu pemurah, Pertamina kini sukar menyumbang untuk lingkungannya. Maka Sorong buat sementara tampaknya masih harus bergantung pada landasan terbang lama di Jefman, berjarak 45 menit dengan perahu bermotor dari kota. Jefman bisa didarati oleh pesawat jet kecil, yang bahan-bakarnya dipompakan (pakai tangan) dari drum, karena tidak ada mobil tangki. Memang tidak satu pun kendaraan roda-4 maupun roda-2 dijumpai di situ. Frekwensi penerbangan, termasuk helicopter, di Jefman meningkat. Helicopter menghubungkannya dengan perkemahan ladang minyak yang berdekatan, terutama Kasim (Petromer Trend Corp.) dan Salawati (Phillips Petroleum Co.). Dari ladang-ladang minyak baru itu (TEMPO, 10 Desember) cukup banyak mengalir uang orang yang berbelanda ke kota. Itu pula yang mendorong satu pengusaha keturunan Cina membangun Hotel Cenderawasih, terbesar dari cuma tiga penginapan di Sorong. Walaupun terbaik, Cenderawasih mungkin setaraf dengan hotel klas III di Jakarta, tapi tinggi tarifnya mengimbangi Hotel Indonesia Sheraton. "Memang semua malal di sini, pak," kata manajernya. Bahwa orang Sorong berduit, itu kelihatan di klub-malam Mona Lisa yang selalu ramai. Di toko, orang Sorong masih berani membeli dengan Rp 1000 per kaset, sedang di Jakarta lagu yang sama sudah merosot ke 3 - seribu tapi masih sulit dijual. PT Pacific Nickel Indonesia kini ditunggu untuk membuka pulau Gag, Ik 100 mil dari Sorong. Dengan rencana ylvestasi proyek nickel itu, mungkin mencapai US$ 1 milyar, pasti Sorong akan kecipratan rezeki pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus