Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wajah Ampera Sekarang

Jembatan ampera di sungai musi, palembang, yang selesai dibangun 1965, bagian tengahnya tidak dapat dinaikturunkan kembali sejak 1974, sehingga menghambat kelancaran lalu lintas kapal-kapal besar.

17 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN bahkan mungkin sudah ratusan lukisan yang menggambarkan Jembatan Ampera di Sungai Musi menghias rumah penduduk Kota Palembang. Sejak selesai dibangun 1965 agaknya jembatar itu sudah menggeser makanan empek-empek sebagai ciri khusus kota yang dibelah Sungai Musi itu. Jembatan ini menghubungkan bagian Seberang Ulu dan Seberang Ilir kota itu. Dengan panjang 1.177 meter, lebar 22 meter, bagian tengah jembatan ini dapat dinai-turunkan jika kapal-kapal besar hendak melintas di bawahnya. Bagian yang dapat naik-turun ini 71,90 meter panjangnya, dengan berat 944 ton dan dapat mencapai ketinggian 32 meter. Menurut pihak P.U. Kotarnadya Palembang, sepanjang 1969 bagian itu pernah dinaikkan 22 kali, 1970 20 kali, 1973 ada 14 kali. Terakhir kali 11 Pebruari 1974. Sayang pada saat itu ketika hendak diturunkan kembali pada bagian Seberang Ilir tak dapat merapat rata dengan lantai jembatan, sehingga mencuat setinggi sekitar 10 Cm. Setelah diakali akhirnya dapat diluruskan kembali. Namun sejak itu bagian tengah itu tak dapat dinaik-turunkan lagi. Hingga sekarang. Menurut ir. Masalan Hasan, Kepala Bagian Bina Marga P.U. Propinsi Sumatera Selatan, peralatan yang menaik-turunkan bagian tengah jembatan itu sudah rusak cukup parah. Begitu pula kawat seling untuk naik-turun itu sudah berkarat hingga perlu diganti. Pihak Pemda Sumatera Selatan dalam tahun anggaran 1976/1977 lalu pernah menyediakan anggaran sebesar Rp 55 juta untuk perbaikannya. Tapi ternyata biaya ini masih kurang, meskipun pengaspalan dan pengecatan sempat dilakukan. Dengan Tongkang Kemacetan Jembatan Ampera ini tentu saja menghambat kelancaran lalulintas kapal-kapal besar di Sungai h1usi, terutama kapal yang harus merapat di dermaga Kertapati -- di bagian hulu jembatan. Sehingga selama ini kapal-kapal bertonase besar itu terpaksa harus menunggu di pelabuhan Bombaru -- di hilir jembatan. Muatan-muatan yang mestinya diambil langsung di Kertapati terpaksa diangkut dengan tongkang-tongkang. Dengan sendirinya hal ini mengakibatkan kerugian waktu bagi kapal-kapal tadi. Tapi juga dengan demikian para pemilik kapal harus menambah biaya tongkang 4 hingga 5 dollar AS tiapton. Menurut J. Tiranda Adpel Pelabuhan Palembang, hal itu misalnya harus dialami kapal-kapal pengangkut' batubata. Kemacetan jembatan itu rupanya belum juga dapat diselesaikan tahun 1978 nanti. Paling-paling dalam tahun anggaran 1978/1979. Sebab survey mengenai listeriknya saja baru akan dimulai dalam tahun depan. Tapi yang pasti pihak Kotamadya Palembang rupanya selama ini tak begitu merasakan kebanggaan warga kotanya terhadap sang jembatan. Nyatanya tanda-tanda pemeriksaan tak begitu tampak. Pagar-pagar tangganya pada keropos, bahkan sebuah di antaranya pernah lepas. Lis anak tangga dari besi kuningan di tangga bagian ilir kabarnya sudah pindah ke pasar loak. Dan di sanasini karat mulai merubah wajah sang jembatan .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus