PULUHAN bahkan mungkin sudah ratusan lukisan yang menggambarkan
Jembatan Ampera di Sungai Musi menghias rumah penduduk Kota
Palembang. Sejak selesai dibangun 1965 agaknya jembatar itu
sudah menggeser makanan empek-empek sebagai ciri khusus kota
yang dibelah Sungai Musi itu. Jembatan ini menghubungkan bagian
Seberang Ulu dan Seberang Ilir kota itu.
Dengan panjang 1.177 meter, lebar 22 meter, bagian tengah
jembatan ini dapat dinai-turunkan jika kapal-kapal besar hendak
melintas di bawahnya. Bagian yang dapat naik-turun ini 71,90
meter panjangnya, dengan berat 944 ton dan dapat mencapai
ketinggian 32 meter. Menurut pihak P.U. Kotarnadya Palembang,
sepanjang 1969 bagian itu pernah dinaikkan 22 kali, 1970 20
kali, 1973 ada 14 kali. Terakhir kali 11 Pebruari 1974. Sayang
pada saat itu ketika hendak diturunkan kembali pada bagian
Seberang Ilir tak dapat merapat rata dengan lantai jembatan,
sehingga mencuat setinggi sekitar 10 Cm. Setelah diakali
akhirnya dapat diluruskan kembali.
Namun sejak itu bagian tengah itu tak dapat dinaik-turunkan
lagi. Hingga sekarang. Menurut ir. Masalan Hasan, Kepala Bagian
Bina Marga P.U. Propinsi Sumatera Selatan, peralatan yang
menaik-turunkan bagian tengah jembatan itu sudah rusak cukup
parah. Begitu pula kawat seling untuk naik-turun itu sudah
berkarat hingga perlu diganti. Pihak Pemda Sumatera Selatan
dalam tahun anggaran 1976/1977 lalu pernah menyediakan anggaran
sebesar Rp 55 juta untuk perbaikannya. Tapi ternyata biaya ini
masih kurang, meskipun pengaspalan dan pengecatan sempat
dilakukan.
Dengan Tongkang
Kemacetan Jembatan Ampera ini tentu saja menghambat kelancaran
lalulintas kapal-kapal besar di Sungai h1usi, terutama kapal
yang harus merapat di dermaga Kertapati -- di bagian hulu
jembatan. Sehingga selama ini kapal-kapal bertonase besar itu
terpaksa harus menunggu di pelabuhan Bombaru -- di hilir
jembatan. Muatan-muatan yang mestinya diambil langsung di
Kertapati terpaksa diangkut dengan tongkang-tongkang. Dengan
sendirinya hal ini mengakibatkan kerugian waktu bagi kapal-kapal
tadi. Tapi juga dengan demikian para pemilik kapal harus
menambah biaya tongkang 4 hingga 5 dollar AS tiapton. Menurut J.
Tiranda Adpel Pelabuhan Palembang, hal itu misalnya harus
dialami kapal-kapal pengangkut' batubata.
Kemacetan jembatan itu rupanya belum juga dapat diselesaikan
tahun 1978 nanti. Paling-paling dalam tahun anggaran 1978/1979.
Sebab survey mengenai listeriknya saja baru akan dimulai dalam
tahun depan. Tapi yang pasti pihak Kotamadya Palembang rupanya
selama ini tak begitu merasakan kebanggaan warga kotanya
terhadap sang jembatan. Nyatanya tanda-tanda pemeriksaan tak
begitu tampak. Pagar-pagar tangganya pada keropos, bahkan sebuah
di antaranya pernah lepas. Lis anak tangga dari besi kuningan di
tangga bagian ilir kabarnya sudah pindah ke pasar loak. Dan di
sanasini karat mulai merubah wajah sang jembatan .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini