Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menumpas Sampai ke Akarnya

Setelah Soeharto mengendalikan situasi, dimulailah pengejaran terhadap orang-orang yang dituduh PKI.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATA Sumarso berkaca-kaca. "Saya kehilangan empat orang yang saya sayangi," kata mantan Ketua PKI Susukan, Kabupaten Semarang, itu. Bapak mertua dan tiga sauda­ranya, yang juga pengurus PKI, tak ada kabarnya hingga kini.

Setelah Mayor Jenderal Soeharto dan perangkatnya menguasai situasi, 1 Oktober 1965 menjelang malam, penangkapan orang-orang PKI dan simpatisannya mulai marak. "Massa dikoordinasi oleh tentara," kata pria 77 tahun itu.

Sumarso sendiri selamat karena tentara yang memimpin penangkapan melindunginya dari amukan massa. Buntut peristiwa Gerakan 30 September itu adalah banyaknya korban tewas. Yang paling banyak ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, dan Aceh. Jumlahnya memang simpang-siur: dari ratusan hingga jutaan orang. Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), dan pasukannya, yang bertugas di Jawa Tengah dan Bali, kemudian banyak mendapat sorotan.

Pada Desember 1965, Presiden Sukarno membentuk Komisi Pencari Fakta, yang dipimpin Menteri Dalam Negeri Mayjen Soemarno. Hasilnya, angka resmi korban hingga Desember adalah 80 ribu. Namun angka itu tak diyakini Sukarno. Ia bertanya langsung kepada salah satu anggota Komisi, Oei Tjoe Tat. "…Sekitar lima sampai enam kali lipat," kata Oei, seperti dikutip buku Gerakan 30 September oleh Julius Pour.

Sintong Panjaitan, yang pada masa itu ikut beroperasi di Jawa Tengah, menolak angka tersebut. Menurut dia, masih dalam hitungan ratusan. Ia juga menegaskan, bukan RPKAD yang membunuh, melainkan masyarakat. Menurut Sintong, justru RPKAD menghentikan aksi brutal massa. "Kalau kita mendapat laporan, kita langsung turun dan menghentikan massa," katanya.

1 1 1

SETELAH deklarasi Dewan Revolusi oleh Letnan Kolonel Untung di Radio Republik Indonesia pada 1 Oktober, beberapa daerah bergolak. Kepada John Hughes, yang dituliskan di buku The End of Sukarno: A Coup that Misfired, a Purge that Ran Wild, Sarwo Edhie mengatakan, di daerah pedesaan Jawa Tengah, mereka yang menentang komunis diculik dan rumahnya dibakar.

Militer pendukung Gerakan 30 September juga bergerak cepat. Harold Crouch dalam buku Militer dan Politik di Indonesia menyebutkan, pada hari pengumuman Untung di RRI Jakarta, Asisten Intelijen Komando Daerah Militer VII/Diponegoro Kolonel Suherman bersama Kolonel Marjono (kepala personel) dan Letkol Usman Sastrodibroto (kepala biro hubungan sipil-militer) menguasai Kodam VII/Diponegoro.

Panglima Kodam Mayor Jenderal Surjosumpeno sempat ditangkap, tapi berhasil kabur, kemudian menuju Magelang. Sekitar pukul 13.00, Suherman mengumumkan pengambilalihan komando di Kodam dan pembentukan Dewan Revolusi Jawa Tengah lewat RRI Semarang. Solo dan Yogyakarta menyusul sore dan malam harinya. Di Yogyakarta, Mayor Muljono gagal membujuk Komandan Resor Militer 72 Kolonel Katamso agar mendukung Untung. Katamso dan wakilnya, Letkol Sugiono, ditangkap. Jenazah keduanya ditemukan di sekitar Kentungan pada 20 Oktober 1965.

Malam harinya, berita-berita soal Jawa Tengah didengar di Jakarta. Soeharto pun mengumumkan pembatalan pengumuman Untung. Di Jawa Timur, seruan Soeharto disambut masyarakat anti-PKI, dan mulailah penyerangan terhadap orang-orang PKI. Di Jawa Tengah, Surjosumpeno bergerak. Satu per satu batalion ia rebut kembali. Lima dari tujuh batalion infanteri—lainnya bertugas di Sumatera Utara dan Kalimantan Barat—tadinya mendukung Gerakan 30 September.

Pada 5 Oktober, semua unit kembali di bawah kendali Surjosumpeno. Hanya, ia tak yakin dengan kesetiaan mereka. Soeharto pun mengirim pasukan RPKAD di bawah Sarwo Edhie. Dalam buku Robert E. Elson, Suharto: A Political Biography, disebutkan Soeharto bertekad bertindak cepat. "Setelah menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri apa yang ditemukan di Lubang Buaya, tugas utama saya adalah menghancurkan PKI, menghancurkan perlawanan di mana pun, di Ibu Kota, di daerah, dan juga di persembunyian di gunung-gunung," kata Soeharto.

Sarwo Edhie sepikiran. "Ketika saya mendesak kepada Jenderal Soeharto agar segera ditugasi ke Jawa Tengah, saya sama sekali tidak ingin mencari jasa atau kemegahan bagi diri sendiri. Saya hanya ingin mengajak rakyat menumpas PKI sampai ke akar-akarnya. Saya ingin membuka kedoknya, kemudian menunjukkan ke rakyat, siapa yang sebenarnya berada di belakang Gestapu," kata Sarwo Edhie kepada John ­Hughes, seperti termuat dalam The End of Sukarno.

Pada 19 Oktober malam, batalion RPKAD dari Jakarta mulai beroperasi di Semarang. Sebanyak 1.050 orang ditangkap. Massa ikut bergerak, membakari gedung-gedung milik PKI, juga milik warga keturunan Tionghoa. Dilanjutkan ke Magelang, pada 21 Oktober malam. Pasukan lain ada yang beroperasi di daerah lain.

Di beberapa daerah, perlawanan pendukung PKI masih ada. Ketika Sarwo Edhie akan menghadiri pemakaman Katamso dan Sugiono, pada 23 Oktober, ia mendapat informasi, massa komunis di sepanjang jalan Yogya-Solo memutus saluran telepon dan menebangi pohon di pinggir jalan. "Saya ke sana," kata Sarwo. Ia juga bergerak ke Solo, melumpuhkan aksi mogok Serikat Buruh Kereta Api di Stasiun Balapan.

Menghadapi gerakan para pendukung komunis nonmiliter, selain dengan selebaran, Sarwo Edhie banyak berbicara dengan masyarakat. Di Boyolali, misalnya, Sarwo menggelar rapat umum. "Siapa yang mau dipotong kepalanya saya bayar lima ribu?" tanya Sarwo, seperti ditirukan wartawan TVRI yang ikut dalam operasi RPKAD, Hendro Subroto. Tidak ada yang tunjuk tangan. Meski angka dinaikkan menjadi seratus ribu, semua tetap diam. "Agar kepalamu tidak dipotong dengan gratis, lawanlah PKI," ia berseru.

Maka pelatihan pun dilakukan. Sebenarnya, menurut pengajar di Departemen Studi Asia Tenggara National University of Singapore, Douglas A. Kammen, setelah Jawa Tengah dinyatakan dalam keadaan darurat perang pada 26 Oktober, dan Sarwo Edhie membentuk Gabungan Staf Keamanan, Sarwo minta tambahan pasukan. Tapi ditolak.

Sarwo pun memutuskan mendorong warga sipil antikomunis untuk membantu. "Kami beri mereka latihan dua atau tiga hari. Kemudian kami lepaskan, agar berani menumpas komunis ke akar-akarnya," kata Sarwo kepada John Hughes.

Menurut pengakuan Yoso Dumeri Faizin, bekas anggota Barisan Ansor Serbaguna, setelah dilatih, ia dan teman-temannya diperintahkan melakukan operasi penangkapan orang-orang yang dianggap anggota PKI. "Semuanya di bawah komando RPKAD atau tentara dari Korem," katanya.

Tapi ada pula yang langsung membunuhi. Wartawan harian Angkatan Bersenjata yang "embedded" dengan RPKAD di Jawa Tengah, Daud Sinjal, mengaku melihat mayat-mayat terapung di Bengawan Solo yang sedang banjir. Ia mendukung penjelasan Sintong, tidak melihat RPKAD membunuhi. Hanya, mereka siap di belakang massa.

Pada akhir Desember, Jawa Tengah dinilai mulai "bersih". Sementara itu, Feisal Tanjung dan sebagian anak buahnya diminta membantu Jawa Timur. Dalam buku Feisal Tanjung, Terbaik untuk Rakyat, Terbaik bagi ABRI, disebutkan Feisal bertugas dengan menyamar sebagai tentara Kodam Brawijaya, agar tidak menimbulkan tanda tanya dari pasukan lain, terutama dari Korps Komando Angkatan Laut.

Pada 7 Desember, Sarwo Edhie dan anak buahnya tiba di Denpasar, Bali, yang sudah panas. "Di Jawa Tengah, masyarakat harus digugah untuk melawan Gestapu, sedangkan di Bali, semangat rakyat begitu menggelora sehingga kami harus mengendalikannya." Tapi, menurut Douglas Kammen, baru dengan kedatangan RPKAD, masyarakat Bali seolah-olah mendapat izin membasmi PKI.

Pada akhir Desember, pasukan RPKAD yang dikirim ke Jawa Tengah mulai ditarik. Mereka menutup tugas dengan semacam "parade kemenangan" di seluruh daerah operasi, dari Kartasura, Solo, Yogyakarta, Purworejo, sampai Purwokerto. Kemudian Wonosobo, Magelang, Semarang, Kudus, Jepara, Lasem, Blora, Purwodadi, dan kembali ke Semarang. "Pada 31 Desember, mereka balik ke Jakarta," kata Kammen. Beberapa hari kemudian, mereka berdefile di depan Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus