Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABUT pekat meruap di Kawah Upas, Tangkuban Parahu, Jawa Barat, satu Ahad di Februari 1981. Meski sudah lewat jam delapan, panas matahari masih belum terasa di kawasan lebih dari 1.800 meter di atas permukaan laut itu. Dalam dingin, tujuh puluhan anak muda berbaris rapi di bibir kawah. Mereka akan disumpah sebagai anggota Wanadri, kelompok pencinta alam tertua negeri ini.
Di antara puluhan anak muda itu terdapat Ilham Aidit, putra Ketua Partai Komunis Indonesia Dipa Nusantara Aidit. Lelaki yang saat itu berumur 22 tahun ini mampu merampungkan pendidikan dasar Wanadri selama sebulan. Tempaan fisik dan mental yang keras—hidup di alam dan menerima pendidikan ala militer—terbayar lunas dengan menjadi bagian angkatan kesembilan Wanadri. "Berat badan turun 6-9 kilogram," kata Ilham ketika ditemui Tempo di rumahnya di Bandung awal bulan lalu.
Upacara dimulai. Mahasiswa arsitektur Universitas Katolik Parahyangan itu kaget melihat Letnan Jenderal Purnawirawan Sarwo Edhie Wibowo tegak menjadi inspektur upacara. Sarwo adalah bekas Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat—kini Komando Pasukan Khusus—yang disebut-sebut berada di belakang pelumatan kader PKI di Jawa dan Bali.
Ilham masih ingat jelas bagaimana dia dan Irfan, kembarannya, hampir mati ditembak ketika berusia sembilan tahun. Ketika Ilham dan Irfan asyik main kelereng, empat tentara datang ke rumah Yohanes Mulyana, saudara ibunya. Mereka bertanya kepada Yohanes, betulkah dia memelihara anak-anak Aidit. Yohanes mengajak petugas ke halaman dan melihat dua bocah itu. Melihat mereka masih kecil, dua petugas berpistol menyarungkan kembali senjatanya dan pergi. "Aku betul-betul gemetar," Ilham mengenang.
Ini bukan pertama kalinya Ilham melihat Sarwo. Anggota kehormatan Wanadri itu pernah memberi kuliah bertema l'esprit de corps bagi calon anggota Wanadri. "Tapi, kalau Sarwo melantik, artinya dia memberikan salam, berjabat tangan, dan berdekatan," katanya. Benar saja, selesai upacara, Sarwo mendatangi tiap peserta dan memberi selamat.
Jabat tangan dilayangkan Sarwo kepada Ilham. Saat itulah, kata Ilham, Sarwo membaca namanya yang tersemat di dada kiri baju lapangan. Lalu Sarwo mendekap Ilham. Di telinga anak muda itu, seperti ditirukan Ilham, Sarwo berucap, "Saya bangga, Ilham, kamu lulus jadi anggota Wanadri." Sebentar saja dekapan itu. Tapi Ilham merasa tubuhnya bergetar.
Tak ada percakapan lanjutan. Sarwo berlalu. Sebagai anggota Kabut Rimba, nama angkatan kesembilan Wanadri, Ilham pun aktif sebagai pencinta alam—kegiatan yang juga ditularkan oleh sang ayah dengan membawanya melihat-lihat sawah saat masih bocah. Aktivitas ini ia lakukan buat mengalihkan kenangan pahit pada cerita pembunuhan ayahnya.
KABUT tetap pekat di tempat yang sama, dua tahun kemudian. Sarwo kembali ke Kawah Upas untuk menyaksikan pelantikan anggota Wanadri. Jaket hijau mirip tentara Amerika dikenakannya. "Dia terlihat agak kurus," kata Ilham.
Ilham menjabat tangan Sarwo. Sang Jenderal menanyakan kabar Ilham dan posisinya dalam acara Wanadri. "Saya bilang, 'Jadi komandan operasi, Pak.' Dia juga menanyakan kuliah saya," cerita Ilham.
Sarwo diam sesaat dan menatap Ilham. Ia mengajak Ilham mencari tempat khusus untuk berbicara empat mata. "Saat itu, saya merasa dia mau berbicara (soal gerakan tentara membasmi PKI)," kata Ilham. Keduanya menjauh dari keramaian dan mengambil tempat sepi di dekat kawah. Jarak keduanya hanya sekitar satu meter.
Lelaki tua itu tak langsung berbicara. Matanya menjelajahi Kawah Upas. Diam sejenak, lalu Sarwo menatap Ilham dan tersenyum. Ilham mengingat dialog dengan Sarwo.
+ "Gimana kabar ibu kamu?"
- "Baik. Dia tinggal di Pondok Pinang."
+ "Sehat?"
- "Sehat."
Empat tahun sebelumnya, ibu Ilham, Soetanti, dibebaskan dari penjara Bukit Duri, Jakarta Selatan. Sewaktu ditahan, dokter ahli akupunktur pertama di Indonesia ini tak bertemu dengan anaknya selama 16 tahun.
Mendengar jawaban Ilham, Sarwo diam lagi. Tatapan matanya beralih ke tempat lain. Lalu Sarwo bersuara sedikit bergetar. "Ya, ketika itu adalah tugas negara yang dibebankan pada saya, dan saat itu saya yakin apa yang saya lakukan adalah benar. Tapi, berbelas tahun kemudian, saya pikir apa yang dilakukan negara ketika itu adalah keliru," Ilham menirukan perkataan Sarwo.
+ "Kamu bisa memahaminya, kan?"
- Ilham diam sejenak. "Ya, Pak Sarwo. Saya bisa memahaminya."
Sarwo menjabat tangan Ilham. Tangan kanannya masih memegang tangan Ilham. Lalu Sarwo merengkuh Ilham sekitar lima detik. Tangan kirinya menepuk-nepuk punggung Ilham.
+ "Oke. Mari kita kembali."
Rasa haru muncul kemudian. Meski Sarwo tak meminta maaf, bagi Ilham, perbincangan terakhirnya dengan Sarwo merupakan bentuk rekonsiliasi antara pelaku dan keluarga korban. "Seorang jenderal dalam perenungannya selama belasan tahun mengakui bahwa apa yang dilakukan negara ketika itu salah."
BENAR-tidaknya cerita dua pertemuan itu hanya diketahui oleh Ilham. Tak ada saksi mata yang mendengar langsung pernyataan Jenderal Sarwo. Iwan Abdulrachman, pendiri Wanadri yang hadir saat pelantikan Ilham, juga tak bisa memastikan kebenaran cerita Ilham. Sarwo tak pernah bercerita kepadanya.
Iwan menilai pelukan Sarwo saat Ilham dilantik merupakan kebiasaan untuk bersikap hangat kepada semua anggota. "Tapi barangkali agak lebih istimewa dengan Ilham karena dia tahu ini putra Aidit," kata Iwan. Pelukan Sarwo pada anggota baru ini juga diakui Erwin Fahmi, teman seangkatan Ilham di Wanadri. "Rasanya kami semua saat itu dipeluk, meski tidak erat," ujarnya.
Menurut Iwan, Sarwo sudah mengetahui Ilham bergabung dengan Wanadri. Kakak Ilham, Iwan Aidit, tergabung dalam angkatan kelima. Kelompok Wanadri menerima keduanya juga untuk pembinaan dan perlindungan. Pelukan Sarwo itu, bagi Iwan Abdulrachman, merupakan bentuk persaudaraan. "Terasa lebih sentimental karena Aidit korban peristiwa itu, lalu anaknya justru dirangkul oleh Sarwo, dirangkul Wanadri," katanya.
Juga untuk pernyataan Sarwo yang mengakui kesalahannya, Iwan tak bisa memastikan. Osman Bachrie, teman Ilham yang dilantik pada 1983, tak melihat Sarwo berbicara dengan Ilham. Tapi Erwin Fahmi yakin Ilham berkata jujur. Cerita itu sering diulangi Ilham kepadanya. "Cerita dia konsisten. Meski bagian kata-kata yang diucapkan Sarwo tidak sama persis, inti ceritanya sama," ujar Erwin.
Yang jelas, Jenderal Sarwo Edhie tak menjadi musuh Ilham. Osman bercerita, Ilham mengajaknya membesuk Sarwo yang sedang kritis di rumah sakit. Dari Bandung, Ilham dan Osman naik mobil. Tapi, malam harinya di Subang, mobil mereka mogok. Keduanya terpaksa tidur di mobil dan membatalkan rencana besuk. Beberapa hari kemudian, anggota kehormatan Wanadri itu berpulang. "Ilham dan saya kecewa tak sempat membesuk."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo