Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Ada Tentara, Pemuda pun Jadi

Karena kekurangan personel, RPKAD melatih pemuda—sebagian besar anggota Gerakan Pemuda Ansor—untuk memburu kader Partai Komunis Indonesia. Dilatih menggunakan senjata AK-47.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEHARI setelah Kolonel Sarwo Edhie Wibowo dan pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) tiba di Semarang, situasi keamanan memburuk. Keputusan Panglima Kodam Diponegoro Brigjen Surjosumpeno pada 20 Oktober 1965 untuk membekukan semua kegiatan PKI dan organisasi massanya membuat daerah-daerah yang jadi basis pendukung PKI bergolak.

Hari-hari itu santer beredar kabar bahwa ribuan orang komunis mulai berkumpul, menutup jalan Solo-Yogyakarta dengan menebangi pohon dan memutus saluran telepon. Kerusuhan pecah di beberapa kota. Serikat-serikat buruh melakukan mogok massal. Pabrik dan jalur transportasi lumpuh.

Sarwo Edhie dan pasukannya bergerak cepat dari kota ke kota, memadamkan api yang terus menjalar. Sepekan di Jawa Tengah, dia menghubungi Markas Besar TNI di Jakarta, meminta tambahan pasukan. Tapi sebagian besar tentara belum ditarik pulang dari Kalimantan dan Sumatera, setelah diminta bersiap menyerbu Malaysia.

Ketika itulah Sarwo Edhie meminta izin melatih rakyat sipil, untuk mengimbangi massa terorganisasi PKI. Jakarta memberi lampu hijau. "Pelatihan untuk pemuda memang ide Pak Sarwo," kata Letnan Jenderal (Purnawirawan) Sintong Pan­jaitan, anak buah Sarwo kala itu, kepada Tempo, Oktober lalu.

Dalam buku karya John Hughes, The End of Sukarno: A Coup that Misfired, a Purge that Ran Wild, Sarwo Edhie mengakui perannya dalam pelatihan itu. "Kami beri mereka latihan… agar berani menumpas komunis ke akar-akarnya," kata Sarwo.

Akhir Oktober 1965, gelombang pertama pelatihan militer untuk pemuda dan rakyat sipil dimulai. Yoso Dumeri Faizin adalah salah satu pemuda yang ketika itu ikut dilatih. Ketika itu, umur anggota Barisan Ansor Serbaguna ini baru masuk kepala tiga. Kini, pada usia 79 tahun, ingatan Yoso masih kuat. Akhir September lalu, ketika ditemui Tempo, dia dengan lancar bercerita tentang pengalamannya dilatih RPKAD.

"Latihannya diadakan di kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga," kata Yoso menerawang. Selain dia, ada ratusan pemuda yang ikut latihan militer. Asal organisasinya beragam. Selain dari Gerakan Pemuda Ansor, ada peserta dari Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah dan Pemuda Marhaen dari Partai Nasional Indonesia.

Pada hari pertama, semua peserta pelatihan dibagi ke dalam tiga kompi. "Saya terpilih jadi salah satu komandan kompi," ujar Yoso bangga. Setiap kompi mendapat satu prajurit RPKAD sebagai pelatih.

Tiga hari pertama pelatihan hanya diisi ceramah dan diskusi ringan. "Kami diberi tahu bahwa PKI itu berbahaya dan kami harus menumpas mereka," kata Yoso. Dalam satu sesi ceramah, pelatih dari RPKAD menegaskan bahwa PKI anti-Tuhan dan berencana membunuh para ulama dan kiai Nahdlatul Ulama. "Kami juga diberi tahu, setelah pelatihan, kami bisa masuk tentara."

Latihan fisik dan persenjataan baru dimulai pada hari keempat. Ratusan pemuda itu diajari baris-berbaris dan kecakapan dasar lain. "Kami juga diberi tahu cara menggunakan pistol dan senapan AK-47," kata Yoso. Karena itulah, meski tak diberi seragam, "Kami merasa gagah seperti tentara."

Sebulan berlatih di kampus, para milisi ini pun dilepas ke lapangan. "Kami ditugasi ke desa-desa, membawa daftar orang PKI yang harus kami tangkap," ujar Yoso. Penugasan diatur sedemikian rupa agar anggota milisi tak perlu menggerebek desanya sendiri. "Selalu kebagian kampung orang lain." Daftar target operasi mereka dibagikan oleh RPKAD.

Setiap kali mereka melakukan operasi penangkapan, kata Yoso, pasti ada satu atau dua tentara dari komando resor militer atau rayon militer yang memantau di belakang. "Saya menangkap puluhan orang," ujarnya. Jika ada perlawanan, milisi sering terpaksa membakar rumah dan menembaki sasarannya. Semua tawanan diserahkan kembali ke tentara.

Di penjara dan kamp tahanan, puluhan ribu orang merah ini disortir: siapa saja yang aktivis dan siapa yang sekadar anggota pasif. Dalam buku Militer dan Politik di Indonesia, Harold Crouch menjelaskan bahwa aktivis PKI umumnya dieksekusi, sementara anggota pasif dipenjarakan tanpa proses hukum yang memadai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus