Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehadiran delegasi asing itu semula tak mencolok mata. Ya, delegasi Ikhwanul Muslimin masuk ke Jalur Gaza tatkala rakyat Palestina tenggelam dalam sukacita menyambut 1.027 tahanan yang disekap di penjara Israel, sebagai barter atas pembebasan Kopral Gilad Shalit.
"Kami datang untuk berpartisipasi dalam kegembiraan pelepasan saudara-saudara kami. Kami bangga pada mereka," kata Goma Amin, ketua delegasi. "Sebelumnya terlarang bagi kami mendatangi wilayah ini," dia menambahkan.
Sebelum pergolakan politik meroyan di negara-negara Arab, mantan Presiden Mesir Husni Mubarak melarang organisasi ini. Mubarak beranggapan ideologi Ikhwanul Muslimin yang mengharamkan hubungan dengan Yahudi akan menghalangi hubungan Mesir dengan dunia Barat.
Setelah Husni Mubarak jatuh, Ikhwanul Muslimin langsung menjadi partai dengan jumlah pendukung terbesar di Mesir. Mereka memperoleh 35 persen suara dalam polling prapemilu. Sekarang Ikhwanul Muslimin kerap dilukiskan sebagai organisasi yang sedang menikmati masa kejayaan.
Maka, ketika Ikhwanul Muslimin berkunjung ke Gaza, semua media di dunia Arab menganggap organisasi itu berhasil mengubah pandangan yang kritis di Kairo terhadap dirinya. Ikhwanul Muslimin dianggap sedang mencari cara mendapatkan perhatian dunia Barat tapi dengan tetap menentang Israel.
Pada Februari lalu, Direktur Intelijen Nasional Amerika James Clapper menyatakan, Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi sekuler yang besar dan bekerja untuk mengubah tatanan politik di Mesir. Ikhwanul Muslimin dianggap memberikan angin baru untuk Mesir dalam menjalankan hubungan diplomatiknya dengan dunia internasional. "Saat ini agenda mereka tidak hanya mengejar kekerasan, tapi juga hubungan internasional," ujar Clapper.
Dalam sejarahnya, Ikhwanul Muslimin melahirkan Hamas sebagai cabang gerakan lokal di Gaza. Banyak yang khawatir, apabila Ikhwanul Muslimin menang dalam pemilu di Mesir, gaya pemerintahan yang digunakan adalah gaya pemerintahan Hamas di Gaza.
Setiap individu di wilayah yang dikuasai Hamas—baik muslim maupun nonmuslim—diwajibkan tunduk pada hukum syariah. Inilah yang dikhawatirkan kelompok minoritas di Mesir. Apalagi beberapa saat setelah Ikhwanul Muslimin mendominasi masa transisi politik di Mesir, terjadi insiden pembunuhan 25 warga Kristen.
Kekhawatiran ini juga menjangkiti Israel, yang mengandalkan Mesir sebagai penengah dalam upaya perdamaian Timur Tengah. Pada saat mendukung perjuangan oposisi di Mesir, Ikhwanul Muslimin pernah berjanji akan membuat front terbuka menentang Israel.
Namun Mesir terbukti masih bisa mengendalikan Ikhwanul. Untuk ketiga kalinya dalam bulan ini, diplomat Mesir terlibat dalam upaya penyelesaian konflik di Gaza. Kegiatan diplomatik inilah yang pada akhirnya menenangkan Israel.
"Dalam waktu beberapa jam terakhir ini, Mesir telah menyelamatkan Gaza dari kehancuran yang parah," ujar Duta Besar Mesir untuk Palestina, Yasser Othman. "Mesir berhasil menahan Israel untuk tidak melakukan serangan ke Gaza," dia menambahkan.
Padahal, pada Senin pekan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di gedung parlemen Israel menyatakan secara berapi-api akan menindak tegas siapa pun yang mengancam keamanan Israel. "Sebuah filosofi keamanan tidak bisa mengandalkan pertahanan saja, tapi juga kemampuan ofensif sebagai dasar untuk pencegahan," ujarnya.
Netanyahu berkata keras setelah pada Ahad malam sebelumnya Israel melakukan serangan udara di daerah utara Gaza. Serangan itu menewaskan enam warga Palestina dan seorang warga Israel. Serangan itu kemudian dibalas dengan beberapa roket yang diarahkan ke tiga daerah di Israel, yakni Ashkedod, Beersheba, dan Gan Yavne.
Cheta Nilawaty (The Haaretz, Jerusalem Post, Reuters)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo