KORBAN-korban kebakaran di Palembang dua bulan lalu masih
terkatung-katung. Dari 4000 keluarga lebih (mencakup 21.175
jiwa) yang kehilangan tempat tinggal, 450 keluarga memang sudah
ditampung di rumah Perumnas yang terletak di Sako, 11 km dari
pusat kota. Mereka ini terdiri dari pegawai negeri dan ABRI.
Tapi mayoritas korban sampai kini terpaksa menumpang di rumah
sanak saudara mereka sambil menanti pembangunan 50 unit barak.
Sepuluh unit di antaranya sudah berdiri di lokasi bekas
kebakaran, sedangkan 40 unit lagi masih akan dibangun di kawasan
Kancil Putih atau di Kalidone dekat pabrik Pusri. Barak-barak
itu dibangun dengan biaya sumbangan Presiden ditambah sumbangan
dari berbagai pihak, sebagian lagi ditanggulangi pihak Kodya
Palembang.
Sementara itu tidak kurang dari 30) orang, korban kebakaran
yang tergabung dalam Forum Komunikasi Korban Kebakaran sesudah
mengadakan rapat 21 Oktober '81 bersepakat menolak pembebasan
tanah yang mulai dilakukan pekan lalu. Pembebasan tanah bekas
kebakaran itu adalah karena di sana akan didirikan rumah susun
(flat) berlantai 4). Kgs. H.M. Nur, 50 tahun, salah seorang
korban keberatan menjual tanahnya seluas 206 mÿFD karena itu
adalah warisan turun-temurun. Begitu pula sikap Kms. M. Yusuf,
35 tahun: "sebaiknya pemerintah membiarkan kami membangun
rumah sendiri," katanya -- dengan catatan tidak keberatan
menyerahkan sebagian tanah untuk penataan kota, bila diperlukan.
Dalam satu dialog dengan Gubernur Sainan Sagiman 24 Oktober
lalu hal itu dikemukakan lagi. Tentang rumah susun, misalnya
seorang korban, Yusuf, berpendapat, "belum sesuai dengan keadaan
dan adat-istiadat masyarakat Palembang, masih banyak tanah
tersedia, kalau perlu bangun saja fat di tempat lain."
Gubernur Sainan tak banyak komentar dalam dialog itu. "Kami
tidak akan memikirkan kepentingan orang seorang, yang lebih
utama adalah kepentingan umum," katanya kemudian kepada TEMPO.
Di antara korban-korban kebakaran itu ada yang menamakan diri
Kelompok 17. Dalam surat pernyataan 7 September '81, kelompok
ini antara lain mendukung rencana pembangunan rumah susun demi
"terciptanya lingkungan yang sehat dengan fasilitas pelayanan
umum dan terjaminnya rasa aman bagi penduduk."
Dalam rencana induk Kodya Palembang, yang disetujui Mendagri
Maret 1978, wilayah bekas kebakaran itu (Kampung Ilir 22, 23, 24
dan 26) memang sejak semula akan ditata dan dirapikan sesuai
dengan syarat-syarat pemukiman yang baik: Karena itu pihak Pemda
Kodya Palembang tampaknya tetap ingin mendirikan rumah-rumah
susun di kawasan itu. Untuk itulah, menurut Dirut Perumnas Ir.
Soenardjono Danoedjo pembayaran ganti-rugi tanah dilakukan mulai
26 Oktober lalu, sehingga pembangunan rumah susun dapat dimulai
Desember 1981.
Pembayaran ganti-rugi menurut Soenardjono dilaksanakan dengan
beberapa klasifikasi, sesuai dengan status tanah (tanah milik,
tanah garapan atau tanah girik), dan luasnya. Yang punya
sertifikat ditetapkan Rp 35.000 per mÿFD. Sedangkan tanah garapan
mendapat Rp 15.000 per mÿFD. Penghuni yang tidak punya tanah alias
penyewa akan kebagian tempat di flat itu nanti, juga dengan
status penyewa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini