SEPANJANG hari bau sengat menusuk hidung di Desa Borong Loe,
Kabupaten Goa, Sulawesi Selatan. Asalnya dari cerobong asap
pabrik Perum Kertas "Gowa" yang bercokol di desa itu. Selain
asap, pabrik itu juga memuntahkan sisa zat kapur dan air
limbahnya. Itu pun berbau tak sedap. Tapi buangan itu sempat
bermanfaat, terutama air limbah yang disalurkan pabrik itu
melalui sebuah kanal sepanjang 2 km.
Tidak kurang 400 ha sawah di tiga desa--Borong Loe, Timbuseng
dan Samata --ketibat rezeki air dari pabrik itu. Dan sawah
sekarang bisa ditanami dua kali setahun.
Daeng Taili, Ketua Kelompok Tani Minasa Baji --satu di antara 16
kelompok tani setempat--konon orang pertama yang memanfaatkan
air limbah pabrik itu. "Setelah melihat saya berhasil, petani
lain ramai-ramai ikut," tuturnya.
Galib Daeng Ngati, Kepala Desa Borong Loe mengatakan jaringan
irigasi "normal" bahkan tidak bisa menyamai kapasitas "irigasi
air limbah itu". Produksi sawah meningkat setelah petani
menggunakannya--dari 3 ton per hektar menjadi 4 ton. Bahkan,
menurut Daeng Talli, 6 ton per hektar tak mustahil tercapai.
Para petani tampaknya yakin bahwa air limbah itu juga berfungsi
sebagai pupuk.
Cuma pemakaian air limbah itu masih harus dijaga betul. Soalnya
pabrik itu sesekali membuang air panas berwarna merah seperti
teh. "Kalau kebetulan air panas itu sempat masuk ke sawah,
tanaman padi bisa mati," ujar Bakka, seorang petani muda.
Mendengar pengalaman para petani di Borong Loe, Menteri Negara
PPLH Emil Salim tampak manggut-manggut. Ia berkunjung ke daerah
itu September lalu. Meski begitu, Emil Salim tetap menyarankan
agar monitoring dilakukan atas dampak negatif yang mungkin ada
dalam pemakaian air limbah itu. Untuk itu pihak pabrik
mengadakan kerjasama dengan Universitas Hasanuddin (Unhas).
Direktur Produksi pabrik itu, Barnas Sachmana, mengatakan selama
hampir 15 tahun ia bekerja di situ, belum pernah ditemukan
gejala penyakit akibat polusi. "Cuma ada influenza," tambahnya.
Pabrik Perum Kertas "Gowa" yang menempati tanah seluas 40 ha di
Borong Loe, diresmikan 30 Januari 1967. Produksinya yang semula
hanya 8 ton sehari, tahun 1971 menjadi 30 ton, dan sejak tahun
1977 mencapai 50 ton. Ini berupa berbagai jenis kertas cetak,
kertas tulis dan kertas terlapis, yang diolah dari bahan baku
kayu dan bambu.
Untuk produksinya berbagai jenis zat kimia dipergunakan sebagai
bahan pembantu. Selain zat yang biasa seperti kapur, tawas,
kaolin atau natrium sulfat, ada juga yang seram, bahkan
terkadang beracun. Ini meliputi zat seperti hidrogenkhlorida,
bariumkhlorida, asam belerang, soda api, natriumsulfat dan
bahkan merkuri (air raksa). Sebagian terbesar zat itu disadap
kembali hingga bisa dimanfaatkan lagi, tapi akhirnya dalam satu
atau lain bentuk Semua zat itu terbuang -- melalui cerobong asap
ataupun kanal air limbah.
Saluran kanal pembuangan itu bermuara di Sungai Jeneberang.
Setiap hari pabrik itu menggunakan 20 ribu m3 air sungai itu
dalam proses produksinya dan hampir 95% dari jumlah ini terbuang
lagi melalui kanal itu, yang akhirnya mengalir ke Selat Makasar.
Tapi air limbah itu terlebih dahulu ditampung dalam sebuah bak
yang berfungsi mengendapkan larutan berbagai zat, agar kanal
tidak tersumbat olehnya. Ini juga menjaga agar BOD (Biological
Oxygen Demand) dalam perairan tidak menjadi terlalu tinggi oleh
berbagai zat racun dan busuk dalam air limbah itu.
Melihat antusiasme para petani menggunakan air limbah pabrik,
Ir. Paulus Saranga M.Ed. pernah tergugah menelitikenyataan itu.
Ia seorang guru di SPMA (Sekolah Pertanian) Negeri yang
kebetulan juga terletak di tepi kanal itu. Hasil penelitiannya
kemudian disusun menjadi sebuah skripsi. Juga Paulus mengakui
bahwa produksi tanaman meningkat setelah air limbah itu
dipergunakan, tapi ia berkesimpulan bahwa mutu padi itu merosot.
Kadar khlor yang tinggi dalam air limbah itu, menurut Paulus,
menurunkan mutu biji-bijian, termasuk padi. Ia juga melakukan
penelitian atas pengaruh air limbah pada kacang tanah dan kacang
kedelai di kebun SPMA. Ternyata semua kulit kacang itu berkerut,
pertanda mutu menurun.
Bagi ikan, air limbah itu jelas berpengaruh negatif. Pernah air
saluran pembuangan itu meluap hingga memasuki kolam pemeliharaan
ikan milik SPMA. Semua ikan emas dalam kolam itu mati
menggelepar.
Untuk menunjang penelitiannya, Paulus menganalisa sample air
buangan itu dari lima tempat. "Memang belum semua unsur saya
teliti, karena biayanya mahal," ujarnya. Meski begitu, dengan
hasil penelitiannya itu Paulus meraih gelar insinyur (tahun
1980) dari Fakultas Pertanian Unhas. Anehnya skripsi Paulus itu
ditahan dan dilarang Unhas untuk dipublikasikan.
Dari pengamatannya ketika belajar di Amerika Serikat, menurut
Paulus, industri kertas tergolong pencemar nomor 4 terbesar,
sesudah industri minyak, kimia dan baja. Tapi pabrik kertas di
Desa Borong Loe itu belum terbukti mencemarkan. Justru air
limbahnya membantu menaikkan produksi pertanian dan menambah
frekuensi bertanam.
Hanya lingkungan berbau busuk karenanya. "Kami sudah biasa
dengan bau seperti itu," ujar Abdullah, petani lain. Dan
walaupun seputarnya tampak jorok, anak-anak tetap tampak sehat,
berlari-lari di tebing kanal atau menceburkan diri bersama
kerbau asuhan mereka ke dalam airnya. Sementara itik tampak
asyik berenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini