Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Barat sana ada guyonan, cuma dua hal yang pasti di dunia ini: ajal dan tagihan pajak. Di negeri ini, "Mengurus pajak saja pasti ada biayanya," kata Albert, usahawan yang memproduksi logam, sambil tertawa getir. Kejadian tak enak dengan petugas pajak itu mungkin juga disebabkan keteledoran Albert. Pengusaha kelas menengah ini mengaku pernah lalai mencatat pembukuan. "Akhirnya, sampai sekarang perhitungan pajak saya tak kunjung beres," ujarnya.
Kisah berbeda datang dari dua wajib pajak yang ditemui Tempo di Kantor Pelayanan Pajak Kebayoran Lama, akhir pekan lalu. Tono, yang bekerja di perusahaan kontraktor, merasa cukup puas dengan pelayanan yang diberikan. "Tampang yang jaga memang agak serem," katanya. Tapi, "Pelayanannya tidak bertele-tele," ujar Tri, karyawan perusahaan swasta. "Belum pernah ada yang minta duit ke saya," Tono menimpali.
Komentar Tono dan Tri tentu melegakan hati Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo. Maklumlah, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla memasukkan perpajakan sebagai salah satu agenda 100 hari pemerintahan mereka. Untuk menunjukkan kesungguhannya membenahi perpajakan, sepekan setelah terpilih sebagai presiden, Yudhoyono menyempatkan diri bertandang ke kantor Hadi.
Dengan nilai utang menggunung, pemerintah mau tak mau harus mencari jalan lain untuk membiayai anggaran. Tahun lalu, pajak menyumbang tak kurang dari 59 persen (Rp 238 triliun) dari seluruh penerimaan negara (Rp 403 triliun). Tahun ini Direktorat Jenderal Pajak dibebani target mengisi celengan pemerintah senilai Rp 255 triliun, atau sekitar 60 persen dari total penerimaan anggaran.
Niat menjadikan pajak sebagai celengan terbesar bukannya tanpa tantangan. Berbagai kasus kebocoran pajak masih terjadi. M. Taufiqurrahman Ruki, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengakui lembaga yang dipimpinnya kebanjiran pengaduan masyarakat tentang kenakalan aparat pajak. Yang paling banyak dikeluhkan adalah kelakuan para pemungut pajak yang sering mengajak wajib pajak bernegosiasi.
Laporan yang berceceran tak membuat KPK serta-merta merangsek ke kantor Dirjen Pajak. Taufiqurrahman menyatakan masih akan menunggu realisasi Dirjen Pajak melakukan sejumlah perbaikan. "Kita lihat dulu dalam tiga bulan mendatang," ujar Taufiq, awal Desember silam.
Perkiraan terbesar tentang penerimaan pajak yang tercecer dari pundi-pundi negara tak kurang dari 40 persen. Hadi sendiri meragukan angka kebocoran pajak bisa sebesar itu. Hitung-hitungannya sederhana saja: penerimaan pajak meningkat di saat seluruh asumsi makroekonomi merosot. "Tahun ini (2004) inflasi turun sehingga bisa mengurangi pajak pertambahan nilai (PPN), dan suku bunga turun, yang mengancam pajak penghasilan, target pajak (tahun 2004) justru tercapai. Itu berarti tidak ada kebocoran," Hadi menjelaskan.
Tapi ia tak menutup mata bahwa ada anak buahnya yang nakal. Sepanjang tahun kemarin, ada 129 pegawai pajak yang terkena sanksi. Di antara para terhukum itu, 14 orang mendapat ganjaran berat: 11 dipecat dan tiga diproses secara hukum. "Itu kami lakukan di depan upacara. Mirip pencopotan pangkat seperti yang dilakukan ten-tara," kata Hadi kepada Tempo.
Untuk mengurangi kemungkinan kongkalikong antara wajib pajak dan pemungut pajak, Direktorat Jenderal Pajak menerapkan komputerisasi pembayaran pajak. "Bagaimana bisa (kongkalikong) kalau tidak bertemu?" ujar Hadi. Dengan sistem komputerisasi yang baru diresmikan oleh presiden pekan lalu, para wajib pajak tak perlu mengurus pajaknya secara manual. Mulai dari urusan mendaftar, membayar, hingga melaporkan pajak, wajib pajak tinggal mengklik komputer.
Sistem komputerisasi itu diyakini tak hanya membantu wajib pajak, tetapi juga para pengawas, termasuk presiden sekalipun. Presiden Yudhoyono pernah mengutarakan niat membuat sistem teknologi yang dapat terhubung dengan komputer induk pajak. "Jadi, dari ruang kerja saya, saya bisa mengetahui langsung seberapa besar penerimaan negara," kata Yudhoyono.
Apa pula manfaat yang dipetik wajib pajak dari sistem komputerisasi ini? "Wajib pajak yang mengisi pajak dengan benar tak perlu lagi takut (diperas)," ujar Hadi. Tapi Ferry, manajer keuangan sebuah perusahaan multinasional, lain pendapatnya. Kendati senang dengan pemberlakuan sistem komputerisasi pajak, Ferry menyatakan itu tak akan menghilangkan praktek negosiasi.
"Sebagian besar tawar-menawar pajak terjadi karena si wajib pajak memang memiliki kesalahan, seperti pembukuan yang berantakan," ujar Ferry. Wajib pajak seperti itu, menurut Ferry, tinggal menunggu waktu saja untuk jadi bulan-bulanan petugas pajak yang nakal. Artinya, komputerisasi bukan satu-satunya faktor yang menutup peluang oknum pajak berulah.
Pada pertengahan bulan kemarin, Menteri Keuangan Yusuf Anwar menuturkan akan meminta Hadi dan rekannya, Direktur Jenderal Bea Cukai Edy Abdurrahman, menandatangani kontrak kerja selama tiga bulan. Kontrak itu memuat sejumlah target yang harus dicapai oleh kedua dirjen, termasuk mengurangi kebocoran. Ukuran lain adalah tata kelola organisasi yang baik, dan disiplin. Jika dinilai gagal mencapai kinerja yang baik, Yusuf meminta Hadi dan Edi angkat kaki.
Kontrak itu tak membuat Hadi ciut. "Kami ini maju siap, mundur pun harus siap," kata Hadi. Keyakinan Hadi melewati ujian seratus hari pertama masih terlihat hingga pekan lalu. Beberapa agenda reformasi pajak selesai dikebut Hadi. "Target penerimaan pajak sebesar Rp 65 triliun selama dua bulan pertama juga tercapai," katanya. Untuk periode 100 hari, Hadi masih belum mengetahui berapa pajak yang dapat dikumpulkannya. "Belum semua perusahaan menyelesaikan pembayaran gaji."
Agenda Direktorat Jenderal Pajak dalam 100 hari pertama tak hanya menutup keran kebocoran. Mereka juga harus mengotak-atik kembali peraturan yang selama ini dikeluhkan telah mematikan gairah berbisnis. Peraturan-peraturan yang dianggap mematikan iklim usaha tak hanya dibuat oleh pemerintah pusat, tetapi juga pemerintah daerah. Direktorat Jenderal Pajak memperkirakan saat ini ada 4.000 aturan pajak daerah yang merugikan para pebisnis.
Aturan pajak dari pemerintah pusat yang sering dikeluhkan adalah pengaturan sektor industri minyak dan gas. Pemerintah sendiri terlihat menanggapi serius keluhan para pengusaha. "Kita akan mengajukan amendemen Undang-Undang Pajak dan Bea Cukai," ujar Yusuf, pertengahan Desember lalu. Amendemen itu dimaksud untuk mencabut ganjalan pemberian insentif fiskal, yang diingini kalangan pengusaha.
"Yang akan diamendemen adalah undang-undang tentang PPN dan undang-undang tentang ketentuan umum perpajakan," kata Yusuf. Hingga kini ia belum menjelaskan seperti apa insentif fiskal yang akan diberikan. "Bentuknya masih dirumuskan agar tidak malah mengurangi penerimaan pajak," katanya.
Agenda 100 Hari yang Telah Dilaksanakan Direktorat Jenderal Pajak* Jumlah pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dinaikkan dari Rp 240 ribu per orang menjadi Rp 1 juta. Penurunan tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk 28 item. Penerapan komputerisasi dalam pendaftaran dan pelaporan pajak. Restrukturisasi organisasi Direktorat Jenderal Perpajakan. Modernisasi administrasi kini telah mencapai 60 persen, meningkat dari 30 persen. Penurunan tarif pajak dividen untuk daerah dan usaha tertentu menjadi 10 persen dari 20 persen. Empat ketentuan penghapusan jangka waktu pajak dipercepat. Diperpanjangnya masa kompensasi kerugian dari 5 tahun menjadi 10 tahun. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo