Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Lagi "Jeruk Makan Jeruk"

Aparat Bea-Cukai kini giat mengawasi impor. Barang elektronik selundupan menyusut drastis.

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CAP Roxy Mas sebagai surga konsumen telepon seluler harga miring agak pudar tiga bulan belakangan ini. Dulu, memang, pusat perdagangan di Jakarta Barat itu terkenal sebagai tempat untuk memperoleh telepon genggam aneka merek dengan harga lebih murah Rp 200-300 ribu dari harga standar.

Konsumen awam mengenal produk itu sebagai telepon genggam BM alias black market (pasar gelap). Biasanya barang tak dilengkapi garansi pabrik atau distributor. Bekalnya cuma jaminan pemeliharaan dari toko penjual. Maklum, barang BM biasanya masuk ke Indonesia secara haram alias selundupan.

Namun, cobalah ke sana sekarang ini. Anda akan mendapati jawaban kompak para pedagang: "Barang sedang kosong." Telepon seluler BM, yang biasanya berlimpah di sana, sekarang menyusut drastis. Ani, penjual di satu toko, menjelaskan, telepon genggam BM yang masih tersisa tinggal yang bermerek Nokia.

Merek lain habis karena pasokan tak lagi mengalir. Harganya pun tak semiring dulu. "Paling-paling hanya selisih Rp 20 ribu dengan telepon seluler resmi," ujar pedagang di toko lain. Bukan cuma telepon seluler, barang-barang elektronik BM juga ikut raib di pasar.

Di Glodok, yang terkenal sebagai pusat perdagangan barang elektronik di Jakarta, para pedagang mengaku tak lagi menjual TV atau compo BM. "Barang BM yang tersedia tinggal pemutar cakram video digital (DVD)," kata seorang pedagang.

Menyusutnya pasokan barang BM selama tiga bulan terakhir, jelas, disambut gembira para produsen maupun distributor resmi barang-barang elektronik. Soalnya, barang BM selama ini menjadi pesaing berat barang-barang mereka yang diproduksi di dalam negeri atau diimpor lewat prosedur resmi.

Kelakar "jeruk makan jeruk" benar-benar terjadi di pasar elektronik Indonesia. Distributor Sony Indonesia, misalnya, harus bertarung dengan penjual Sony buatan Malaysia yang dipasarkan di sini. Begitu pula dengan merek lain. "Kami sulit bersaing dengan merek kami sendiri karena harga mereka lebih miring," kata seorang distributor.

Kini, peta pertarungan mulai berubah. Ketua Umum Gabungan Elektronik Indonesia, Rachmat Gobel, menjelaskan, berkurangnya peredaran barang elektronik selundupan telah mendorong industri di dalam negeri meningkatkan produksinya. "Persaingan antarprodusen pun menjadi lebih sehat," ujar Rachmat, yang juga Presiden Direktur PT Panasonic.

Bangkitnya produk elektronik resmi diakui pula oleh Jino Sugianto, Direktur Penjualan dan Pemasaran PT Sharp Yasonta Antarnusa. Penjualan produk Sharp, menurut Jino, meningkat sejak awal November tahun lalu. "Ini karena kosongnya pasar dari barang elektronik BM," katanya.

Rachmat dan Jino patut berterima kasih pada aparat Bea dan Cukai. Sejak tiga bulan terakhir, mata para petugas pabean lebih tajam memelototi barang yang masuk wilayah Indonesia. Di Pelabuhan Tanjung Priok, misalnya, para petugas akan langsung menahan barang impor yang pemiliknya tak mengumumkan isi barangnya melalui sistem pertukaran data elektronik.

Kalaupun pemilik memberi penjelasan, petugas tetap curiga, peti kemas langsung masuk jalur merah. Ini berarti petugas akan memeriksa barang, baik secara administratif maupun fisik. Barang-barang konsumtif, retail dan elektronik, biasanya masuk jalur itu. "Barang-barang itu tergolong high risk," kata Sutedjo, Kepala Seksi Pencegahan Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok.

Galaknya petugas Bea dan Cukai terlihat dari naiknya angka barang impor yang masuk jalur merah. Sebelum pemerintahan baru, barang impor yang masuk jalur merah hanya 20 persen. Kini meningkat jadi 30-35 persen. Petugas Bea dan Cukai juga menahan aneka jenis barang impor yang masuk kategori larangan, pembatasan, atau melakukan praktek manipulasi do-kumen.

Awal November tahun lalu, misalnya, petugas Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok menahan lima kontainer yang pemiliknya tak menjelaskan isi barang. Setelah peti kemas dibuka, isinya ternyata telepon seluler. Pada akhir November, giliran dua peti kemas ditahan. Pemilik menyebut isinya senjata mainan. Setelah dibuka, ternyata pistol logam dengan peluru hampa dan pistol gas.

Mendapati ketatnya pengawasan di Pelabuhan Tanjung Priok, para penyelundup rupanya berikhtiar menggunakan gerbang masuk lain. Tapi mereka kecele karena petugas Bea dan Cukai ternyata siap di mana-mana. Di Bandara Tabing, Sumatera Barat, yang biasanya sepi dari kegiatan impor barang, petugas menahan 3.000 unit telepon seluler yang dicoba untuk diselundupkan lewat tas penumpang.

Rachmat Gobel dan Jino Sugianto mengakui gebrakan aparat Bea dan Cukai cukup efektif menekan penyelundupan barang elektronik. Saat ini barang ilegal yang lolos tak sebanyak dulu. "Efektivitasnya sekitar 50 persen," kata mereka kompak.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Eddy Abdurrachman menerangkan, selama tiga bulan terakhir, aparatnya memang mengubah paradigma kerja. "Sebelumnya kami mengutamakan pelayanan, sekarang kami juga giat melakukan pengawasan," ujarnya. Bagi Bea dan Cukai, pelayanan dan pengawasan ibarat dua sisi pada sebuah koin.

Kendati secara internal instansi Bea dan Cukai sendiri melakukan pembenahan, Eddy tak membantah perubahan paradigma didorong oleh instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika baru terpilih, 100 hari lalu, SBY langsung melakukan inspeksi ke kantor pusat Bea dan Cukai di kawasan Rawamangun, Jakarta.

Presiden Yudhoyono meminta aparat pabean bekerja ekstrakeras memberantas praktek penyelundupan di seantero Tanah Air. Penyelundupan, menurut SBY, tak hanya merugikan penerimaan negara, tapi juga merusak daya saing produk dalam negeri. "Pada akhirnya, praktek itu berakibat negatif pada penyediaan tenaga kerja," kata SBY seperti dikutip juru bicara Presiden, Andi Mallarangeng, ketika itu.

Presiden Yudhoyono juga berpesan agar Bea dan Cukai berupaya meningkatkan penerimaan negara. "Tiap rupiah penerimaan negara bisa meningkatkan pendidikan, kesehatan, dan pengentasan kemiskinan," ujar Andi, masih mengutip Presiden. Dan pada tahun lalu, penerimaan negara dari Bea dan Cukai mencapai Rp 41,6 triliun, 3,4 persen di atas target Rp 40,25 triliun.

Setelah Presiden memberi instruksi, giliran Menteri Keuangan Jusuf Anwar mengatakan akan membuat kontrak politik dengan Direktur Jenderal Bea dan Cukai untuk meningkatkan kinerja dan mengurangi kebocoran. Jika dalam tiga bulan instansi pabean tak menunjukkan kinerja yang memuaskan, "Direktur Jenderal harus mundur."

Namun, seperti halnya Komisi Pengawasan Bea dan Cukai yang sampai sekarang tak jelas kabarnya, kontrak politik itu ternyata tak pernah benar-benar diteken. Setidaknya begitu menurut Eddy Abdurrachman. "Pak Menteri cuma menyampaikan secara lisan, tapi tak pernah ada kontrak tertulis," katanya.

Toh, tanpa kontrak, menurut Eddy, petugas Bea dan Cukai tetap berusaha bekerja secara optimal. Untuk menggentarkan para penyelundup, Eddy mengerahkan 37 kapal patroli cepat yang dimiliki instansinya untuk melakukan patroli, terutama di daerah-daerah yang dianggap rawan penyelundupan.

Pengawasan terhadap barang impor pun diperketat. Kantor pusat sampai mengirim tim khusus ke 12 pintu masuk utama untuk membantu petugas lokal mengawasi arus barang impor. Hasilnya, dalam 100 hari, petugas pabean berhasil menggagalkan tak kurang dari 44 upaya penyelundupan.

Agar pengawasan lebih terpadu, Bea dan Cukai juga menjalin kerja sama dengan berbagai instansi, misalnya dengan Karantina. Dalam waktu dekat, menurut Eddy Abdurrachman, akan diteken kesepakatan serupa dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Perdagangan, dan kepolisian.

Kendati getol melakukan pengawasan, Bea dan Cukai tak melupakan sisi pelayanan. Terhadap importir yang memiliki rekam jejak bagus dan sifat bisnisnya jelas, petugas pabean tak segan memasukkannya ke jalur prioritas. Barang yang melalui jalur ini bisa langsung keluar dari pelabuhan tanpa pemeriksaan administrasi dan fisik. "Sampai sekarang, sudah 58 perusahaan yang masuk daftar jalur prioritas," kata Eddy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus