Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kabinet 'Seribu' Pengusaha

Para pedagang mendominasi kabinet. Akankah aroma konflik kepentingan bakal merebak saat pemerintah membuka tender proyek infrastruktur Maret nanti?

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABINET Indonesia Bersatu mungkin bisa disebut kabinet "seribu" pengusaha. Dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, paling tidak, ada enam pengusaha dan dua bekas eksekutif swasta. Dibandingkan kabinet-kabinet sebelumnya, jumlah pengusaha yang masuk Kabinet Yudhoyono tergolong paling banyak.

Kini, bisa dibilang, para pengusaha mendominasi kabinet. Di pucuk ada Wakil Presiden M. Jusuf Kalla. Terakhir, sebelum masuk ke kabinet Abdurrahman Wahid sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Kalla menjadi Komisaris Utama Bukaka Teknik Utama. Di jajaran menteri koordinator, ada dua pengusaha, yakni Aburizal Bakrie (pemilik Bakrie & Brothers), dan Alwi Shihab.

Di kelompok menteri, ada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Fahmi Idris (Kodel), Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi Hatta Radjasa, dan Menteri Negara Pariwisata Jero Wacik. Selain mereka, Menteri Negara BUMN Sugiharto dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Yusuf Asy'ari lama menduduki jabatan eksekutif. Sugiharto di kelompok usaha Medco, dan Yusuf di RCTI.

Sebut saja soal Aburizal Bakrie. Bekas Presiden Komisaris Bakrie & Brothers ini harus menyelesaikan salah satu masalah yang menjadi ganjalan pemerintahan sebelumnya, yakni divestasi saham Kaltim Prima Coal. Di perusahaan batu bara ini, Ical memiliki saham melalui Bumi Resources.

Perusahaan ini membeli 100 persen saham perusahaan tambang yang beroperasi di Kalimantan itu dari tangan Rio Tinto dan BP senilai US$ 500 juta. Kini, pemerintah sedang berunding dengan Bumi Resources untuk meneruskan proses divestasi KPC.

Namun, Ical membantah ada konflik kepentingan jabatannya dengan urusan pembelian saham KPC itu oleh pemerintah. Sebab, seluruh permasalahan menyangkut negosiasi yang terkait dengan masalah energi, sesuai dengan peraturan pemerintah, harus melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. "Ini merupakan kebijakan satu pintu yang diterapkan pemerintah," kata Ical kepada Amal Ikhsan dari Tempo, pekan lalu.

Hal yang mirip juga dihadapi Jusuf Kalla. Dalam tender pembangunan proyek perluasan Bandar Udara Hasanuddin di Makassar, salah satu pesertanya adalah Bumi Karsa, perusahaan milik keluarga Kalla. Pengembangan proyek senilai US$ 94 juta (Rp 846 miliar) ini, mau tak mau, menebar bau tak sedap. Sumber Tempo mengungkapkan, dalam beberapa kali rapat membahas perluasan Hasanuddin, Kalla menekankan perlunya kontraktor lokal diutamakan.

Sebelumnya, Kalla pernah tersandung di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid. Ketika itu Kalla diberhentikan karena diduga terlibat KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) dalam proyek pembangunan transmisi listrik dari Klaten, Jawa Tengah, ke Tasikmalaya, Jawa Barat, senilai US$ 75 juta.

Aroma konflik kepentingan sepertinya bisa jadi bakal muncul lagi pada saat pemerintah membuka tender 91 proyek infrastruktur senilai Rp 202,5 triliun pada Maret nanti. Seusai Infrastructure Summit, medio Januari, pemerintah tampak optimistis proyek-proyek yang akan ditawarkan nanti ramai peminat. Nah, Bakrie dan Kalla, lagi-lagi, diperkirakan bakal ikut tender karena sejumlah anak perusahaannya memang bergerak di bidang infrastruktur.

Menurut Ical, pemerintah memang ti-dak membatasi peserta tender. Bila per-usahaan lokal mampu, itu lebih baik. "Asal punya uang dan kemampuan," kata Ical seusai acara itu. Namun, pemerintah berjanji akan membuka tender itu secara fair dan transparan. Itulah janji pemerintah dalam Jakarta Declaration, yang dibacakan sebelum pertemuan tingkat tinggi itu ditutup Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Janji itu akan kami tepati," ujar Ical. Jika tidak, kepercayaan investor pada pemerintah benar-benar runtuh.

Cuma, apakah segampang itu menghapus konflik kepentingan? Memang tak mudah menghindari konflik seperti ini. Paling tidak, menurut Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Sutrisno Iwantono. "Semuanya kembali kepada etika si pejabat," katanya. Bila pejabat itu sukarela tidak mau ikut dalam tender proyek yang digeluti kelompok usahanya, itu lebih baik. "Tapi saya tidak bisa menganjurkan itu," katanya. "Sebab, memang tidak ada peraturan yang melarangnya." Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri tidak melarang keluarga pejabat berbisnis.

Ketika menerima rombongan KPPU di kantor kepresidenan, Desember 2004, kata Sutrisno, Presiden hanya memberi catatan agar bisnis yang dilakoni keluarga maupun kelompok usaha milik pejabat dilakukan secara adil, transparan, dan mengikuti iklim persaingan usaha yang sehat. "Persaingan yang sehat itu berlaku bagi semua kalangan," ujar Sutrisno. Sehingga, tidak adil bila ada kelompok usaha tertentu dilarang berbisnis gara-gara pemiliknya menjadi pejabat.

Bagi Sutrisno Iwantono, memang tak mungkin melarang perusahaan tertentu, sekalipun milik pejabat, supaya tidak ikut tender proyek infrastruktur itu. Apalagi, perusahaan itu sudah lama dibangun. "Masak, gara-gara saudaranya atau pemimpin perusahaannya menjadi pejabat, lalu tidak boleh ikut tender," ujarnya. Asal saja tender itu transparan, peserta yang memenuhi syarat bisa ikut dan tidak ada perlakuan istimewa terhadap peserta tertentu.

KPPU, kata Sutrisno, akan membentuk tim pemantau pelaksanaan tender proyek-proyek infrastruktur itu. "Ini bagian dari kontrol," ujarnya. Pelanggaran dalam tender, misalnya persekongkolan di antara para pelaku usaha untuk memenangkan pelaku usaha tertentu, bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sanksinya, tender bisa dibatalkan dan pihak yang bersalah didenda Rp 25 miliar. "Bila ada tuntutan ganti rugi, maka nilainya tidak terbatas," kata Sutrisno.

Namun, kata bekas calon presiden Siswono Yudohusodo, menghapus stempel masyarakat tentang adanya konflik kepentingan di kalangan pengusaha yang juga pejabat memang tidak mudah. Karena itu, jalan terbaik adalah menghindari konflik kepentingan itu sendiri. Ia mencontohkan, ketika menjabat Menteri Transmigrasi, Permukiman, dan Perambah Hutan, Siswono melarang kelompok usahanya, PT Bangun Tjipta Sarana, menggarap proyek di kementeriannya. Katanya, "Lebih baik mencari proyek lain. Dunia usaha kan luas sekali."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus