Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menutup pintu menjaga kelestarian

Kehidupan warga badui dalam di cikeusik,rangkasbitung. ketat dengan segala aturan dan pantangan. menjunjung tinggi agamanya.upacara pernikahan anak jaro runtah. bersama puun di rumah dan humanya.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suku Badui Dalam, di Cikeusik, hidup tertutup dengan sejuta pantangan. Tak boleh menanam kopi dan cengkeh. Dilarang: tidur lelap, berpoligami, mabuk, menari, menyanyi, dan sebagainya. Di alam yang bebas pencemaran, hidup mereka bagaikan ritual yang monoton. Yang jenuh lalu melakukan pelanggaran dan hidup di luar. Wartawan TEMPO Riza Sofyat sempat menyaksikan upacara perkawinan seorang warga. Riza menyimpulkan bahwa mereka memang memencilkan diri, tetapi sebenarnya bukan suku terasing. Berikut laporannya. ANDA ingin menenangkan diri? Memutuskan hubungan dengan dunia luar, lalu kembali ke alam sekian ratus tahun lalu? Membaurlah di Badui Dalam. Sebuah perkampungan yang sejuk dan alami, sekitar 75 kilometer di sebelah selatan Kota Rangkasbitung, Jawa Barat. Kedengarannya seperti iklan murahan. Tapi kampung terasing di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Rangkasbitung itu memang memiliki pesona tersendiri. Di ketinggian 800-an meter di atas permukaan laut, dengan suhu 20 sampai 22 derajat Celsius, tak ada polusi udara dan pencemaran lingkungan. Hanya suara burung dan binatang-binatang hutan. Air kalinya bening, dan tak pernah kering sepanjang tahun. Malam-malam di kawasan itu terasa lebih pekat. Tak ada listrik. Hanya lampu minyak kelapa atau minyak jarak, dengan sumbu sabut kelapa, mengerlip ngerlip dalam keredupan. Minyak tanah diharamkan. Tak ada bunyi radio atau suara musik. Yang ada hanya simfoni alam pedusunan. Penduduk bergaul akrab dengan alam. Perkakas buatan pabrik terlarang dipakai. Hidup berlangsung tanpa fantasi dan variasi. Segala sesuatu berjalan sama sejak dulu. Semua orang bangun sebelum matahari terbit, lalu melaksanakan ritual hariannya: berladang atau berburu. Untuk kemudian kembali ke rumah di sore hari. Dunia luar yang ingar-bingar dan penuh persaingan tak mereka gubris. "Orang pintar sekarang sudah mengalahkan orang bener, dan orang bener jumlahnya semakin sedikit," kata mereka. Bagi mereka, ketenangan dan kebahagian di kota penuh hiasan dosa. Segala fasilitas malah memperbesar keangkuhan untuk mengorbankan orang lain. "Kalau di dunia semua manusia memburu itu, ketenangan dan kedamaian hanya impian." Dalam adat Badui, untuk mewujudkan impian damai, semua warga tertib dan taat melakukan apa yang jadi kepentingan bersama. Badui adalah tempat hidup. Badui memberikan kesejahteraan. Karenanya, kelestarian harus dijaga terus. Menebang pohon tak bole dilakukan di waktu musim hujan, saat pohon bersemi. Sebab, kayu atau bambu di musim itu mudah lapuk, mudah dimakan rayap. Selain itu, karena ditebang tak beraturan, tanah akan cepat terkena erosi. Jika sudah demikian, maka kerusakan akan lebih parah. Hama tanaman kayu berkembang cepat. Demikianlah dalam keterpencilannya, mereka menghayati kebijaksanaan yang mengandung kiat kelestarian. Mereka tidak hanya berdisiplin dalam menjaga lingkungan, juga dalam menjaga diri. Lewat cara berpakaian, misalnya. Warna baju Badui Dalam adalah putih. Bagian bawahnya, yang cuma dililitkan, biru kehitaman. Baju itu tak berkancing, tak berkerah leher, dan berlengan panjang. Buatan tangan, tak boleh dengan mesin. Disebut jamang sangsang karena memakainya hanya disangsangkan, dilekatkan begitu saja. Selain baju dan kain yang dililitkan tadi, ada ikat yang tak lepas dari kepala. Ikat kepala itu menjadi penutup rambut mereka yang panjang. Wanitanya berpakaian biru kehitaman dengan selendang yang juga berwarna biru. Mereka sebagian masih menganut aliran dada terbuka dengan spontanitas alami, sehingga tak menimbulkan kesan jorok. Pantas dicatat, sepanjang sejarah mereka, kasus perkosaan tak pernah terjadi. Dari tiga buah kampung Badui Dalam -- Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo -- Cikeusiklah yang dianggap masih bersih dari pengaruh luar. Agama masih kuat. Banyak larangan muncul di sana. Dan larangan itu tak hanya diperuntukkan buat warga Badui. Orang luar pun bisa terkena. Misalnya, mereka tak boleh membunyikan radio. Tak boleh menyalakan senter dan merokok di rumah puun pimpinan tertinggi adat dan sekaligus sebagai pimpinan keagamaan. Puun adalah panutan seluruh warga menuju jalan dunia akhirat. Jabatannya diwariskan secara turun-temurun. Dalam kepercayaan masyarakat Badui, puun adalah manusia berdarah titisan Sanghiyang Batara Tunggal, yang bertugas menyampaikan amanat dan petunjuk hidup kepada anak keturunannya. Apa katanya selalu diturut. Tapi ia tidak sewenang-wenang. Konon, sabun dan odol atau geretan tak boleh dibawa ke perkampungan Badui. Larangan ini muncul lantaran bayangan pencemaran lingkungan. Setelah kendaraan yang kami tumpangi tak bisa mencapai lokasi, jalan kaki terpaksa dimulai. Melewati jalan setapak 7 kilometer di atas bukit-bukit dan melintasi tiga anak sungai, kami sampai di mulut perkampungan. Yang pertama nampak adalah lumbung-lumbung padi. Letaknya sekitar 30 meter dari perkampungan. Setelah itu, terlihat jelas sosok rumah-rumah beratap rumbia yang berjajar, berhadap-hadapan. Ada 40 rumah alias suhunan, plus sebuah balai desa untuk pertemuan warga serta untuk menyimpan peralatan musik angklung. Rumah panggung itu berdiri semeter di atas tanah, dengan tiga anak tangga. Biliknya dari gedek, hasil anyaman sendiri. Kayu dan bambu jadi penyangga utama rumah itu. Paku besi buatan pabrik pantang dipakai. Karena itu, cukup diikat dengan ijuk atau dipasak dengan bambu, atau diganjal dengan batu. Tak ada jendela, hanya ada sebuah pintu di depan rumah. Dan karena api dapurnya tak pernah padam, di dalam ruang itu terasa pengap dan perih. Di pelataran mereka tampak berserakan batu-batu kali, besar dan kecil. Batu tersebut adalah singkiran bekas pembuatan rumah. Tanah diratakan, dan batu-batunya "ditata" kembali di sekitar rumah. Membuat rumah tidak boleh merusak lingkungan. Di lorong-lorong yang hanya berjarak satu meter atau di halaman rumah, batu-batu itu berserakan. "Tumpukan batu itu memang disengaja. Maksudnya, agar jalan-jalan tak becek di kala hujan. Selain itu, agar kalau ada orang yang berbuat jahat, tidak bisa lari dengan cepat," kata Jaro Runtah, 62 tahun, tuan rumah kami. Jaro Runtah dulu diangkat sebagai Jaro Tangtu. Sebuah jabatan kepala adat untuk menentukan jalannya Tatatan Hukum Adat. Ia bekerja tanpa imbalan. Lama menjabat tak ditentukan, tergantung kesanggupan. Jika sudah tak sanggup, dia harus menyerahkannya kepada orang lain. Sejak enam tahun lalu Jaro telah mengalihkan tugasnya pada Sarka. Tapi ia tetap dianggap sesepuh dan omongannya masih didengar puun. Hampir 90 persen warga Badui hidup dari bertani di ladang-ladang. Sebagai rasa terima kasih atas hasil panen, setahun sekali warga memberikan sebagian hasil bumi mereka ke Residen (Bapak Ageung) Banten di Serang. Upacara Seba ini merupakan kelanjutan dari para sesepuh mereka. Masa panen dan musim tanam diatur, didahului dengan upacara adat. Dan seperangkat musik angklung yang dianggap sakral dikeluarkan dari balai desa untuk "dimainkan". Tandur dan panen biasa dilakukan bersama, tolong-menolong. Setiap pagi para istri mengambil gabah dari lumbung, lantas ditumbuk di sebuah lesung secara bersama-sama. Bunyinya bersahutan-sahutan. Setiap bunyi punya arti sendiri. Kemudian jadilah hidangan berlauk terasi atau ikan asin yang biasanya sudah tersedia sebelum suami turun ke sawah atau berburu. Sayur atau lalap lalapan tak mereka kenal. Jika ingin makan daging, harus menunggu tetangga hajatan. Atau menanti pesta hasil buruan berupa bajing atau kijang yang ditangkap dengan jaring. Orang Badui menyukai kopi. Tapi menanam kopi -- juga cengkeh -- tak diperbolehkan. Menurut para sesepuh, kalau adat mengizinkan mereka menanam kopi, maka timbul keinginan untuk menjual. Setelah berdagang begitu, bisa timbul rasa serakah, yang bisa merusak adat yang telah dibangun ratusan tahun. Kalau hanya palawija boleh, tapi ala kadarnya, hingga tak menjadikan serakah. Ada pasukan Gojin, yang bertugas menghancurleburkan barang-barang produk pabrik atau tanaman-tanaman yang dianggap tabu. Pasukan itu dibentuk oleh puun. Gojin menyusuri rumah-rumah di 27 kampung Badui, dalam waktu sebulan. "Jika pasukan Gojin turun, warga Badui Luar tidak berani bertindak apa-apa," kata Amat, seorang pemandu wisata. Selain berburu dan berladang, para lelaki menyadap nira aren untuk gula kelapa, mencari rotan, atau mencari sarang tawon untuk madu. Hasilnya dibawa ke Pasar Kroya seminggu sekali untuk dibarter. Tawar-menawar tak dikenal. Para gadis lebih banyak berdiam diri di rumah, membantu orangtuanya memasak, menenun pakaian atau membuat tas. Kain tenun, tas, atau golok khas Badui sudah jadi barang komoditi. Dalam catatan-catatan tentang adat Badui, fungsi istri hanya meladeni kebutuhan biologis. Tapi pada prakteknya para istri membantu suami menyiangi rumput di sawah. Mereka bekerja bahu-membahu. Seperti yang telah dinasihatkan para sesepuh di pelaminan dulu. Tak ada istilah mengeksploitir lelaki atau sebaliknya. Tak ada kamus cerai apalagi punya istri simpanan pada rumah tangga mereka. Keributan rumah tangga tak pemah terdengar. Dari sebuah perkawinan, rata-rata ditargetkan punya anak empat orang saja. Untuk menjarangkan kelahiran, ada ramuan tradisional bernama wajor nira aren yang dicampur dengan kayu garu yang telah diasamkan. Minuman ini rasanya hangat. Berfungsi juga sebagai obat masuk angin, pegel-pegel, atau penambah tenaga. Tapi kalau terlalu banayk bisa memabukkan. Anak-anak Badui bersahaja, seperti kehidupan orangtuanya. Dunia mereka adalah emperan rumah panggung dan sungai. Tak ada yang sekolah. Pelajaran angka dan budi pekerti ditularkan lewat ingatan dan mulut orangtua. Petuah yang penting untuk diamalkan adalah: tidak boleh membunuh manusia, mencuri, merampas, menipu, mabuk-mabukan, berpoligami, makan setelah matahari terbenam -- yang terakhir ini kecuali kalau ada hajatan. Juga tak boleh menanam bunga-bungaan untuk berhias diri. Tidak boleh tidur terlalu lelap. Tidak boleh menari, menyanyi. Pantang tetabuhan yang bisa melupakan diri. Tak boleh memakai emas permata karena bisa membuat orang lain sirik dan dengki. Jika ada yang jenuh hidup penuh larangan itu, kadang mereka sengaja berbuat kesalahan. Maksudnya agar dibuang ke wilayah luar. Atau ada juga yang sudah beralih ke agama Islam. Walau begitu, tak jarang, jika di Badui Dalam ada upacara adat keagamaan, mereka masih ingin menyatu. Asal-usul kata Badui ada berbagai versi. Ada yang mengartikan Badui menurut kamus bahasa Arab: lautan pasir -- badur atau ibada. Ada yang mengatakan Badui dari kata Budha. Ada pula yang menghubungkannya dengan Sendang Cibadui. Pak Amat, 62 tahun, pemandu itu mengatakan orang Badui adalah pengikut setia Prabu Pucuk Umun -- anak prabu Siliwangi yang beragama Hindu. Mereka melarikan diri ke lembah Pegunungan Kendeng dan Halimun karena kalah perang dengan Sunan Gunung Jati, yang membawa agama Islam. "Kepercayaan kami agama Sunda Wiwitan," kata Jaro Runtah. Wiwitan artinya yang pertama, yang memulai. Warga Badui mengklaim dirinya sebagai pusat asal perkembangan negara dan masyarakat. Riwayatnya, sih, negara yang luas, buana yang luas, orang banyak ini, sema dari mana, ya dari sini," kata Jaro Runtah. "Segala sesuatu banyak yang tak boleh dibuka, tak boleh dilanggar. Tak lain, kami yang di Cibeo, di Cikertawana, dan terutama di Cikeusik ini jadi pusat dan pelindung semua negara yang ada di Indonesia. Kalau pusatnya dibuka secara bebas, adat dan rahasianya, maka wilayah-wilayah yang dilindungi akan rusak. Artinya, akan terjadi bencana." Yang berniat memasuki daerah Badui Dalam akan ditanya secara langsung: Kristen atau Islam. Ada larangan orang Kristen tak boleh masuk, sebab wilayah mereka tak mau dimasuki penjajah. Penjajah dalam bayangan mereka adalah beragama Kristen. Yang bertampang sipit dan putih juga tak diperkenankan. Jaro Samin adalah kepala desa Kenekes yang pada 1982 diusir dari Badui Dalam. Kesalahannya, ia membawa rombongan mahasiswa orang Kristen. Samin kemudian dibuang ke luar Badui Dalam. Di sana ia dan keluarganya kemudian memeluk agama Islam. Mengapa orang Islam boleh masuk, padahal menurut sejarah mereka mengungsi karena didesak Islam? Karena orang Islam adalah saudara, karena Muhammad masih keturunan dengan Adam. Adam adalah junjungan orang Badui Dalam. Kami berasal dari Adam," kata Jaro Runtah. Warga Badui juga mengenal "syahadat". Bunyinya: "Kami menjunjung kepada Gusti Yang Maha Agung, yang telah menciptakan jagat raya beserta isinya." Walhasil, kalau ingin membaur di Badui Dalam, "Kalau tidak mau diusir dan menjadi tamu yang baik, lakukanlah yang kami bolehkan," kata Jaro Runtah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus