Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMILIH jalan hidup sebagai pembela korban kekerasan, Usman Hamid seperti menyabung nyawa sendiri. Suatu malam di bulan Januari 2005, Usman pulang lebih larut karena sibuk menyelidiki kasus Munir, yang tewas dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam tiga bulan sebelumnya. Tiba-tiba saja mobil yang ditumpangi Usman dan istrinya dipepet orang di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Dua mobil saling bergesek sepanjang 500 meter. Suami-istri itu nyaris celaka. Sampai sekarang tak jelas siapa yang ingin ia celaka malam itu.
Lahir di Jakarta 30 tahun silam, Usman Hamid nyaris menyerahkan masa mudanya untuk membela para korban tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Profesi tak aman ini sudah dijalani sejak ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta. Di ujung masa kuliah, Usman malah mewakili mahasiswa menyelidiki kasus 12 Mei 1998. Di hari neraka itu empat mahasiswa tewas ditembak.
Usman dan sejumlah mahasiswa mendesak pemerintah untuk meneliti proyektil peluru yang ditemukan. Pemerintah setuju. Dan berangkatlah Usman, yang saat itu 22 tahun, ke Montreal, Kanada, untuk meneliti logam pencabut nyawa itu.
Kasus 12 Mei belum sepenuhnya terkuak, tapi kegigihan Usman menarik perhatian sejumlah tokoh hak asasi manusia. Dia diminta bergabung dalam Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia. Usman menjadi sekretaris jenderal komisi itu pada usia 25 tahun. ”Peran Usman menggerakkan tim sangat besar. Pikirannya banyak diterima,” kata Albert Hasibuan, ketua komisi.
Usman bekerja dengan sebuah prinsip: korban kekerasan harus menyadari hak-haknya sebagai korban, lalu meminta negara memenuhi hak-hak itu. Prinsip tersebut menuntunnya menemui keluarga korban kekerasan di kampung-kampung terpencil di Aceh—kadang kala di tengah perang yang masih berkobar.
Selama dua tahun sampai 2003, ia keluar-masuk pedalaman Lhokseumawe dan Aceh Utara. Dia mendata korban tindak kekerasan, orang hilang, dan sejumlah pembunuhan bermotif politik. Keluarga korban yang tadinya takut bicara akhirnya berhasil ia yakinkan untuk mengadu kepada lembaga yang berwenang.
Ada satu hal yang menghalangi kerja Usman: uang. Dia kerap menjumpai keluarga korban yang memilih mengampuni tersangka pelaku kekerasan demi uang. Dia menjumpai hal ini dalam pengusutan kasus Talangsari di Lampung dan kasus Tanjung Priok. Pendapat Usman tegas, keluarga korban harus menolak uang damai dari tersangka. Sebab, ”Keluarga korban berhak mendapat uang lebih banyak dari negara.”
Kemudian dia berkisah tentang keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di Cile dan Argentina. Di sana keluarga korban berhasil menyeret pemerintah ke meja perundingan. Di akhir perundingan, pemerintah dua negara itu bersedia menanggung biaya pendidikan dan kesehatan anak-istri korban kekerasan.
Sejumlah keluarga korban Tanjung Priok dan Talangsari setuju didampingi Usman untuk mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, kepolisian, Dewan Perwakilan Rakyat, dan pemerintah untuk menuntut hak sebagai korban. Jelas langkah begini tak selamanya menyenangkan pihak yang berkuasa.
Itu sebabnya Munir, senior Usman di Kontras, aktivis yang tewas dibunuh dengan racun itu, suatu saat memaksa Usman mengenakan jaket antipeluru. Usman pernah memakainya, tapi kemudian melepasnya lagi. Zaman memang berubah, tapi ancaman terhadap pekerja hak asasi manusia seperti Usman belum tentu berkurang. Ancaman bisa datang dari pihak mana saja.
Toh, Usman Hamid terus bekerja di jalur penuh bahaya ini. Mungkin ia sadar bahwa ia hanya seorang David, yang tak ada artinya di hadapan Goliath. Tapi kalau tak banyak anak muda memilih jalur ini, siapa yang akan membela anak negeri yang terlindas kekerasan demi kekerasan?
Usman terus menguatkan tekad dan hati. Kalau ia merasa semangatnya kendur, ia punya resep jitu untuk memompa diri: berkunjung ke rumah keluarga korban. Pulang dari sana, semangatnya kembali menyala, nyalinya pasang naik. Ia siap kembali melawan—dengan atau tanpa rompi antipeluru.
Usman Hamid Tempat/tgl lahir: Jakarta, 6 Mei 1976 Pekerjaan: Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Riwayat Pendidikan:
Pendidikan khusus:
Riwayat Pekerjaan:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo