Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mula-mula, telinganya memerah setiap kali menawarkan program kunjungan ke museum kepada anak-anak muda. Selalu saja jawaban ketus yang dia terima. “Idih, ini sih program buat nyokap gue.” Rupanya, di kepala anak-anak muda itu, museum dan gedung-gedung tua tak lebih dari produk masa lalu yang cuma cocok untuk orang tua mereka. “Jadul”(“jaman dulu”), begitu mereka menyebut.
Tapi Adep—begitu ia dipanggil—tak hendak menyerah. Ia membantu program Wisata Kampung Tua milik Pemerintah DKI pada 2001 untuk melihat lebih jauh minat anak muda pada wisata sejarah. Dan dia menemukan sebuah kata kunci yang menjadi penyebab minimnya minat mereka: kemasan.
Segera Adep mendirikan perkumpulan Sahabat Museum pada 2002. Ia menawarkan paket-paket wisata dalam bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anak muda yang biasa menghabiskan waktu di mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan Jakarta. Museum ia ubah menjadi “tempat yang menyimpan cerita seru”. Label wisata sejarah ia permak begini: “Are You ‘Djadoel’ Enough? Plesiran Tempo Doeloe.”
Cara memandu pun ia kemas menjadi lebih “gaul”. Adep menghidupkan cerita-cerita dari masa lalu menjadi sesuatu yang dramatis. “Lihat! Itu bekas trem yang ditarik kuda, dibuat tahun 1869,” Adep tiba-tiba menunjuk ke sisi utara Museum Fatahillah. Cerita tentang perampokan dengan sado yang terjadi seratus tahun lalu meluncur begitu hidup dari mulutnya.
Ia memandu mereka menjelajah kisah-kisah Koning Willem III School (kini Perpustakaan Nasional) hingga Het Paleis van de Gouverneur-Generaal atau Istana Gubernur Jenderal. Ia memutar otak mengolah lokasi yang sama tapi dari sudut pandang berbeda. Muncul nama-nama seperti “Tamatlah Hindia Belanda” alias napak tilas keruntuhan pemerintahan kolonial, juga “Ontbijt di Stadhuisplein” atau “Sarapan Pagi di Lapangan Stadhuis”.
Hasilnya? Peminat tur yang semula sekitar 50 anak muda, kini telah mencapai 300-400 orang untuk satu kali perjalanan. “Ilmunya” sudah diturunkan kepada sekitar 30 orang yang menyediakan diri sebagai pemandu sukarela. Satu tur di Jakarta setiap bulan, empat kali tur ke luar kota dalam setahun. “Sejarah memang harus dikomersialkan. Ini masalah kemasan saja ,” ujarnya kepada Tempo.
Ia kini disanjung sebagai orang yang tahu benar membujuk anak muda untuk berwisata ke tempat yang semula mereka kira hanya cocok untuk emak mereka. Dan ini kabar yang lebih baik lagi: langkah Adep segera menjalar ke luar Jakarta, ke kota-kota lain yang juga menyimpan sejarah masa lampau—yang siap diperkenalkan kepada kalangan muda.
Ade Purnama Lahir: Padang, 20 Agustus 1976 Kontak: [email protected] dan http://[email protected] Karya:
Pendidikan:
Pemberi rekomendasi:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo