Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menyulap Limbah Sawit Jadi Layar Ponsel

Athanasia Amanda Septevani memanfaatkan tandan kosong kelapa sawit untuk bahan pembuat layar perangkat elektronik. Ramah lingkungan dan harganya bakal jauh lebih murah.

18 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Athanasia Amanda Septevani/TEMPO/Nurdiansah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Athanasia Amanda Septevani, penemu nanopaper untuk layar perangkat elektronik

 

Athanasia Amanda Septevani, 34 tahun, geregetan mendapati banyak telepon seluler kawannya nganggur setelah layarnya rusak. Sejumlah ponsel yang layarnya retak atau pecah itu tak lagi dipakai karena kawan-kawan Amanda cenderung enggan mengganti layar perangkat elektronik yang biayanya kerap hampir sama dengan harga gawai pintar anyar tersebut. Karena itu, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini ingin membikin terobosan: menciptakan layar perangkat elektronik murah yang tak gampang retak.

Namun Amanda menyadari ambisinya itu tak mudah terwujud karena ia harus menemukan bahan murah sekaligus lentur. Selama ini, kebanyakan layar yang ada di pasar berbahan gelas sehingga mudah rengkah. Ada juga layar perangkat elektronik berbahan polimer. Bahan ini memang lebih fleksibel, tapi sifatnya sintetis sehingga tak bisa diperbarui. “Sementara itu, saya ingin bahan yang ramah lingkungan,” katanya.

Amanda pun lantas terpikir pada nanoselulosa. Senyawa itu merupakan hasil dari selulosa yang diisolasi dan diproses secara kimia. Bila diproses lebih lanjut, nanoselulosa bisa menjadi lembaran tipis transparan atau biasa disebut nanopaper. Nanopaper inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai layar berbagai perangkat elektronik, baik jenis layar liquid-crystal display (LCD) maupun light-emitting diode (LED).

Layar itu nantinya tak hanya bisa diaplikasikan di ponsel, tapi juga untuk televisi dan laptop. “Saya yakin ini potensial dikembangkan karena masyarakat Indonesia cenderung konsumtif dalam membeli ponsel,” ujar Amanda. Riset dari Neurosensum tahun lalu menyebutkan pos pengeluaran masyarakat Indonesia untuk kategori gawai pintar mencapai 21 persen atau naik 1,2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

Athanasia Amanda Septevani di laboratorium Pusat Penelitian Kimia LIPI, Tangerang, Banten, 26 April 2019./TEMPO/Nurdiansah

Sejak awal Amanda ingin memakai bahan yang ramah lingkungan. Makanya ia hanya melirik limbah organik atau biomassa untuk nanoselulosanya. Material ini bisa diolah dari rumput liar, sisa cairan tahu, tongkol jagung, ataupun tandan kelapa sawit. Amanda akhirnya memilih tandan kelapa sawit karena Indonesia adalah salah satu produsen terbesar tanaman bernama Latin Elaeis ini. Ia menemukan banyak tandan kosong itu terhampar begitu saja setelah dikeruk dagingnya.

Menurut Amanda, pemanfaatan limbah menjadi energi terbarukan memiliki banyak efek positif. Salah satunya dari segi ekonomi. Jika diolah menjadi layar perangkat elektronik, ia menjamin harganya akan murah. “Saya belum menghitung rinci. Tapi, bila dilihat dari biaya pembuatan nanopaper saat di laboratorium, harganya tak akan mahal,” katanya. Untuk membuat selembar nanopaper sepanjang 5-6 inci, misalnya, Amanda hanya butuh 0,5 persen nanoselulosa.

Temuan ini mengantarkan Amanda meraih penghargaan L’Oréal-UNESCO For Women in Science pada November 2018. Penghargaan dari perusahaan kosmetik L’Oréal itu diberikan kepada para perempuan peneliti yang menghasilkan pemikiran dan produk inovatif. Pada 2018, Amanda mematenkan nanoselulosa temuannya itu. Sedangkan nanopaper baru dia daftarkan patennya bulan lalu.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Agus Harnowo mengklaim temuan Amanda sangat baru di bidangnya. Sejauh ini, tutur Agus, belum ada produsen yang memanfaatkan biomassa untuk layar perangkat elektronik. Bahkan jurnal ilmiah bergengsi Small sudah mempublikasikan penelitian Amanda pada 2018. “Bisa menembus Small adalah bukti penelitian Amanda punya tingkat kebaruan yang tinggi,” katanya.

Agus juga meyakini gagasan Amanda bakal mendapat respons positif dari pasar bila nanti sudah diimplementasikan menjadi produk komersial. “Ini sejalan dengan kesadaran masyarakat untuk mencari bahan yang ramah lingkungan,” ujarnya.

Adapun buat Amanda, penghargaan itu seperti kejutan bagi kiprahnya di dunia sains. Sejak kecil, perempuan kelahiran Semarang ini tak pernah terpikir menjadi peneliti, apalagi menjadi penemu produk yang bakal berguna buat orang banyak. Amanda kecil lebih suka bernyanyi. Bahkan, saat sekolah dasar, ia memenangi kontes menyanyi se-Kota Semarang. 

Cita-citanya pun seperti kebanyakan bocah lain. Amanda ingin menjadi dokter. Sesekali tebersit juga niatnya menjadi artis televisi. Namun, Amanda berseloroh, impian itu kandas karena kondisi. “Mana bisa jadi artis, kan harus cakep,” ucapnya, lalu tertawa. Harapannya menjadi dokter juga terkubur. Itu karena bapak-ibunya yang lulusan sekolah menengah atas tak punya cukup tabungan untuk membayar ongkos masuk fakultas kedokteran.

Pada 2002, Amanda ikut seleksi dan diterima menjadi mahasiswa Jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Semarang. Ia memilih jurusan itu karena saat SMA menggilai pelajaran kimia. Menurut Amanda, kimia sangat mengasyikkan. Itu pula yang membuatnya berfokus saat kuliah. Sebelum wisuda, ia sudah lolos seleksi sebuah perusahaan alat medis yang berbasis di Singapura. 

Amanda menjadi supervisor produksi di kantor cabang perusahaan itu di Batam, Riau. Namun, belum lama bekerja di perusahaan itu, ia mulai galau. Amanda merasa pekerjaannya monoton dan kurang menantang. Gaji yang besar tak cukup meredam keresahannya. “Saya merasa, kalau tiap hari kerjaannya hanya memarahi operator dan memastikan target produksi, ilmu saya di Teknik Kimia bisa hilang,” kata perempuan yang gemar menonton film di bioskop ini.

Pada 2009, Amanda akhirnya nekat pulang kampung dan menjadi penganggur. Niatnya saat itu bulat: menjadi peneliti. Amanda tak perlu menunggu lama. Sebab, tak lama berselang, ia diterima di LIPI dan bergabung di bagian Kimia Polimer. Tiga tahun kemudian, ia mendapat beasiswa dari Australia Awards untuk pendidikan master of philosophy di University of Queensland. Studinya kemudian naik ke program doktoral setelah ia melewati seleksi ketat serta mengantongi restu dari Australia Awards, LIPI, dan University of Queensland.

Untuk disertasinya, Amanda meneliti manfaat nanoselulosa sebagai peredam panas dalam sebuah bangunan. Namun, setelah merampungkan studi doktornya pada medio 2017, Amanda merasa penelitiannya itu hanya bisa diterapkan di negara bersuhu ekstrem. Itulah yang mendorong dia mencari manfaat lain dari nanoselulosa. Sampai akhirnya ia terpikir mengolahnya untuk layar gawai yang ramah lingkungan.

Pergumulan Amanda dengan penelitian kimia lingkungan bukan sekali itu saja. Sebelumnya, ia terlibat proyek pemulihan air Sungai Citarum, Jawa Barat, yang tercemar. Dalam proyek tersebut, Amanda juga memanfaatkan nanoselulosa yang bisa menyerap logam berat dan pewarna tekstil dari buangan pabrik-pabrik yang ada di sekitar Sungai Citarum. Selain itu, dia meriset pemanfaatan limbah cair tahu untuk pembuatan wound dressing atau perban penutup luka. Sekarang ia sedang bekerja sama dengan sebuah perusahaan swasta dalam pemberdayaan limbah biomassa di sejumlah desa.

Amanda mengatakan pemanfaatan limbah dalam penelitian dan proyeknya adalah bagian dari keinginannya mengurangi emisi karbon. “Saya enggak mau menambah beban bumi karena prinsip saya chemistry for environment, ilmu kimia untuk perbaikan lingkungan,” ujarnya.

 


 

Athanasia Amanda Septevani

Tempat dan tanggal lahir:

Semarang, 2 September 1984

Pendidikan:

Sarjana teknik kimia Universitas Diponegoro, Semarang (2006); PhD Australian Institute for Bioengineering and Nanotechnology The University of Queensland, Australia (2017)

Pekerjaan:

Peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Penghargaan:

L’Oréal UNESCO for Women in Science National Fellowship Awards 2018; Best Poster Prize Awards on International Symposium on Applied Chemistry 2017; Best Presenter Prize Awards on The Royal Australian Chemical Institute Student Polymer

Symposium, Brisbane, Australia, 5 Februari 2016; Graduate School International Travel Awards 2015 as Visiting Scientist, Oregon State University, Amerika Serikat; Best Presenter Prize Awards on Australian Institute for Bioengineering and Nanotechnology

Student Conference, Brisbane, Australia, 2 Oktober 2015; Runner-up of 3MT (Three Minutes Thesis) of Australian Institute of Bioengineering and Nanotechnology, The University of Queensland, Australia, 2015; Best Runner-up Poster on 5th International NanoBio Conference, Brisbane, Australia, 7-10 Juli 2014; The Runner-up Best Junior Researcher Award, Training and Educational Program for Junior, Researcher Indonesian Institute of Sciences Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Peneliti LIPI, 2011; Australia Awards Scholarship 2013-2016

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus