Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koleganya itu adalah dosen Osaka University, Jepang, penemu cara menguji keaslian kopi luak. “Kami tinggal kirim sampel,” ujarnya, Senin, 13 Mei lalu.
Kerja sama Pusat Penelitian Kopi dengan Osaka University bermula pada 2012. Kala itu, Sastia mendatangi kantor Yusianto dan mengutarakan niatnya menguji keaslian kopi luak melalui metode metabolomik. Gayung bersambut, selama ini Pusat Penelitian Kopi juga kesulitan dalam hal sertifikasi ataupun autentikasi kopi secara ilmiah karena keterbatasan alat. “Bu Sastia berkontribusi memperkenalkan kualitas kopi Indonesia secara ilmiah,” katanya.
Kolaborasi penelitian ini berlanjut hingga sekarang. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia mempunyai akses ke sampel, pembibitan, penanaman, panen, hingga pasca-panen, serta ada banyak ahli di bidang kopi. Lembaga ini juga mempunyai laboratorium di bawah naungan grader bertaraf internasional yang mendapat lisensi kopi spesialti dari Amerika seperti Yusianto. Sayangnya, laboratorium itu kurang didukung peralatan metabolomik untuk mengidentifikasi senyawa secara komprehensif karena harganya yang sangat mahal.
Yusianto kembali bertemu dengan Sastia beserta dua mahasiswa bimbingannya asal Jepang dan Indonesia pada September 2018. Mereka melanjutkan penelitian mengenai kopi dengan segmentasi lebih luas. “Bu Sastia mencari tahu senyawa apa yang mempengaruhi cita rasa kopi sehingga ada grade yang rendah ataupun tinggi,” ujarnya.
Sang tuan rumah lantas menyediakan sampel kopi dari berbagai ketinggian di seluruh wilayah Indonesia. Ada 101 sampel biji kopi yang kemudian dibawa ke Negeri Sakura untuk diteliti lebih mendalam. Sastia dan timnya mulai menguji komponen penyebab kualitas kopi bisa mendapat grade 80 ke atas alias premium.
Senyawa kandungan kopi yang kompleks membuat Sastia dan tim membutuhkan waktu penelitian yang cukup lama. Setelah beberapa kali pengujian, Sastia menemukan marker yang mempengaruhi cita rasa kopi itu. “Aku ukur dari grade 80 ke 85 itu, ada peningkatan sekitar tujuh kali lipat galactinol-nya,” ucap Sastia.
Menurut Sastia, meski cukup mempengaruhi kualitas hingga cita rasa kopi, konsentrasi enzim galactinol ini sangat kecil. “Kalau galactinol kita rasakan di larutan, tidak akan bisa. Slightly sweet. Kecil banget presentasinya,” kata alumnus Jurusan Biologi Institut Teknologi Bandung ini.
Namun dari konsentrasi yang kecil itu, ketika galactinol berinteraksi dengan senyawa lain yang terkandung dalam biji dengan nama ilmiah Coffea ini, para panelis bisa merasakan perbedaannya. “Selama ini kita susah mendeskripsikan kualitas kopi yang bagus karena apa. Tapi setidaknya ada tren yang bisa kita lihat, makin tinggi kualitas kopi, kandungan galactinol makin tinggi pula,” ucapnya.
Ada 12 kopi Nusantara dengan grade tinggi ini yang masuk ke pasar internasional. Dari hasil pengujian Sastia, Java Coffee yang berasal dari perkebunan di Jawa Timur memiliki grade tertinggi, yakni 85,5. Menurut Yusianto, Java Coffee memang yang paling terkenal karena dikembangkan sejak zaman kolonial Belanda yang tersisa di PT Perkebunan Nusantara XII. “Namanya sudah melegenda dan punya premium marker,” kata Yusianto.
Pusat Penelitian Kopi juga masih sering mengirimkan sampel kepada Sastia untuk dianalisis di luar topik penelitian tadi. “Kami punya tenaga dan ahli cita rasa, tapi tidak punya alat-alat analisis secara kimiawi,” ujarnya. Pengetahuan mengenai komponen kimiawi kopi ini diperlukan meski ciri khas kopi bisa diidentifikasi dari pengembangannya di suatu wilayah. “Komponen kimia ini sebagai pendukung pengetahuan mengenai cita rasa,” katanya.
Penemuan pertama soal senyawa kimia yang mempengaruhi cita rasa dan kualitas kopi akan dipaparkan Sastia dalam konferensi metabolomics di Belanda pada akhir Juni mendatang. Sastia juga masih sibuk merampungkan penulisan jurnal penelitian selama dua tahun terakhir tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo