Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kegiatan meramban menjadi gaya hidup dalam memenuhi ketahanan pangan.
Meramban bisa menjadi salah satu solusi mencari alternatif sayuran minor tak terkontaminasi pestisida.
Tidak banyak jenis tumbuhan yang dapat mengakibatkan keracunan hingga kematian.
Kamis siang, 24 Agustus lalu, lima perempuan paruh baya berkumpul di teras rumah Britania Sari yang berada di Perumnas Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tak lama kemudian, si empunya rumah keluar dan menyapa para tetangganya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masing-masing dari mereka membawa wadah. Ada yang terbuat dari tampah bambu dengan diameter sekitar 30 sentimeter. Ada pula yang menenteng besek bambu anyaman. Mereka lalu bersama-sama menyusuri area lapangan di depan rumah Sari, berlanjut ke pekarangan rumah tak berpenghuni hingga lahan kosong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sambil bersenda gurau, mata mereka berfokus pada tanaman yang tumbuh liar di sepanjang perjalanan. Kemudian mereka memetik beberapa helai daun dan mengumpulkannya di wadah. "Ini kremak bukan ya, Bu?" ujar Sari sambil menunjukkan dedaunan yang menghampar seperti rumput. Salah satu anggota rombongan, Yeti, menghampiri Sari dan melihat daun tersebut. "Iya, ini enak ditumis atau dilalap juga bisa," kata Yeti sembari memetik daun tersebut.
Mereka tengah mencari tumbuh-tumbuhan liar untuk dikonsumsi. Kegiatan ini dikenal dengan istilah foraging atau meramban. Sejak Mei lalu, Sari bersama ibu-ibu di sekitar rumahnya rutin mengadakan foraging di lingkungan tempat tinggal mereka. Kegiatan ini pun telah menjadi gaya hidup mereka dalam memenuhi ketahanan pangan.
Sari menginisiasi kegiatan ini setelah menemukan sejumlah keluarga prasejahtera di sekitarnya. Untuk membantu mereka, ia dan suami lantas mengadakan program Jumat Berkah. Ia pun membagikan sayuran dan bahan pangan dalam kondisi mentah karena harganya lebih terjangkau. "Satu besek sudah lengkap. Ada sayur, bumbu dapur, telur, serta protein hewani atau nabati."
Karena kegiatan berbagi juga membutuhkan dana tidak sedikit, Sari pun putar otak mencari cara untuk bisa membantu tetangganya yang tak mampu agar bisa makan sehari-hari. Tercetuslah ide membuat program ketahanan pangan. Program pertama adalah pembuatan kebun dapur. Kebetulan, Sari sudah hobi berkebun sejak 2014. Ia dan suaminya menyulap beberapa halaman rumah warga milik kelompok prasejahtera menjadi kebun sayuran.
Pegiat foraging, Britania Sari, menunjukan urap dari hasil meramban di sekitar rumahnya di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 24 Agustus 2023. TEMPO/ Nita Dian
Lewat dana pribadi dan donatur, Sari menyediakan bibit sayuran budi daya, seperti kembang kol, kacang panjang, bayam, dan kangkung.
Nah, program kedua adalah meramban. "Tujuannya mau kasih tahu bahwa sebenarnya banyak sayuran di sekitar kita yang tidak perlu ditanam, tapi bisa dikonsumsi," ujarnya.
Kegiatan meramban ini diikuti sekitar 10 warga sebulan sekali pada pekan pertama. Namun bulan ini sudah dua kali mereka melakukannya lantaran sayuran non-budi daya itu bakal disiapkan untuk arisan RT, sekaligus memperkenalkan kegiatan meramban secara luas ke warga.
Sari mempelajari cara meramban lewat kelas online yang ia ikuti pada 2020. Masa pandemi, yang memaksa semua orang berkegiatan dari rumah agar tidak tertular virus corona, membuat perempuan berusia 39 tahun itu khawatir tidak bisa makan dan mencari bahan pangan. Ia lalu mengikuti kelas meramban yang diadakan Sustainable Indonesia.
Pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan liar juga ia dapatkan dari membaca buku berjudul Panduan Meramban. Saat kegiatan berlangsung, guru bahasa Prancis itu justru lebih banyak mengandalkan informasi dari tetangganya yang merupakan masyarakat lokal. Salah satunya Yeti, yang mampu mengidentifikasi tumbuhan liar hanya dalam sekali melihat.
Setelah sekitar 30 menit berkeliling, tampah dan besek ibu-ibu ini mulai penuh oleh aneka gulma, seperti daun mangkok-mangkokan, mengkudu, tikim, kedondong laut, anclok, harendong, dan bayam liar. Sari pun mengajak ibu-ibu tersebut kembali ke rumahnya. Daun yang tadi mereka petik kemudian diolah menjadi urap.
Sari menyuguhkan rebusan sayur dengan bumbu parutan kelapa ini kepada Tempo. Lauknya ditemani ikan asin, sambal, tempe bacem, tahu, dan bakwan jagung. Urap tersebut dicampur dengan kacang panjang, kol, dan taoge. Rasanya tak jauh berbeda dengan urap pada umumnya. Daun anclok, misalnya, punya bentuk dan tekstur mirip kangkung. "Lebih enak ini daripada kangkung," kata Yeti.
Warga, Tuti Merawati (kanan), bersama tetangga meramban di sekitar rumahnya di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 24 Agustus 2023. TEMPO/ Nita Dian
Tuti Merawati, warga yang baru mengikuti kegiatan meramban bersama Sari, menilai kegiatan foraging itu bisa menambah khazanah pengetahuan akan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya. Pertama kali mengikuti foraging, Tuti sering terkejut dan terheran-heran mendapati tumbuhan liar juga bisa dikonsumsi. Bahkan pengolahannya tak jauh berbeda dengan sayuran budi daya.
Kendati lebih sering ikut memasak dibanding meramban, Tuti mengaku sudah mencicipi aneka sayuran dari tumbuhan liar. Seperti daun biden, cikra-cikri, mangkok-mangkokan, anclok, serta daun mengkudu yang kerap diolah sebagai pelengkap nasi goreng. "Kita iris kecil-kecil sebagai pengganti kol atau sawi," ujar nenek berusia 70 tahun itu.
Menurut Tuti, meramban tak sekadar mencari tumbuhan liar untuk mengisi perut, tapi juga bisa meningkatkan relasi sosial. Kegiatan meramban menjadi sarana bagi Tuti untuk berkumpul bersama tetangganya. "Happy bisa ramai sama ibu-ibu lainnya. Kami ke kebun ramai-ramai dan ikut mencoba makanan."
Pegiat foraging, Putri Sarihati di tempat foraging favoritnya di Bantaeng. Sulawesi Selatan. Dok. Pribadi
Kegiatan meramban ini tak hanya menjadi gaya hidup para ibu di Pulau Jawa. Di Sulawesi, Putri Sarihati juga menggunakan momen ini untuk menjalin ikatan emosional bersama anak. Saban akhir pekan, perempuan berusia 34 tahun ini mengajak kedua putranya mencari tumbuhan liar di taman kota di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Karena areanya terbengkalai, di sana banyak tumbuh tanaman liar.
Salah satu tanaman yang kerap ia cari adalah ketumbar bolivia. Bunganya sekilas mirip dandelion. Putra-putranya suka sekali memainkan bunganya yang terbang jika ditiup itu. Adapun daunnya dimasak Putri dengan spageti. "Anak-anak makin semangat mencarinya."
Selain di taman kota, Putri kerap mengajak kedua putranya meramban di kawasan gunung. Di sana, ia mencari tumbuh-tumbuhan yang tidak ada di tempat tinggalnya yang berada di area pesisir. Misalnya jotang dan sintrong. Ia pernah menanam bibitnya di kebun rumahnya, tapi selalu gagal tumbuh.
Putri mengatakan kegiatan meramban ini bisa menjadi salah satu solusi mencari alternatif sayuran minor yang tak terkontaminasi pestisida. Juga menambah konsumsi serat harian. Ia percaya, jika memakan 33 jenis tanaman berbeda dalam sepekan, bakteri pencernaannya akan bahagia. "Kalau kita meramban, meski sepucuk, tapi campur-campur buat pecel, itu sudah lumayan banget," kata perempuan kelahiran Madura itu.
Untuk mengidentifikasi tanaman liar, Putri membekali diri dengan pengetahuan dari kelas online tentang meramban yang diikutinya pada 2020. Tak lupa buku panduan. Ia juga banyak belajar dari tetangganya yang merupakan masyarakat setempat. "Kayak daun turi kan tidak pernah disayur. Tapi ternyata bisa disayur. Tetangga yang kasih tahu," tuturnya.
Pegiat foraging, Putri Sarihati, menunjukan Bidens pilosa di Bantaeng. Sulawesi Selatan. Dok. Pribadi
Usut punya usut, meramban bukanlah kegiatan baru bagi Putri. Saat kecil, ia sudah sering diajak ibunya mencari tumbuhan liar di pematang sawah. Saat itu, belum ada istilah meramban. Tanaman yang biasa diramban adalah singkong dan lamtoro. Khusus lamtoro, sang ibu kerap mengolahnya menjadi botok, makanan khas Jawa dari parutan kelapa.
Putri tak pernah lupa ekspresi ibunya acap kali pergi meramban. Apalagi saat berhasil menemukan tumbuhan liar yang bisa dimakan. "Memori itu indah banget. Jadi, aku merasa melakukan yang sekarang, meski tanpa ibuku. Itu ngobatin kangen, bangkitin nostalgia."
Peneliti etnobotani dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wawan Sujarwo, mengungkapkan bahwa kegiatan meramban sudah dilakukan sejak manusia purba ada. Berdasarkan catatan sejarah, setelah ditemukan sistem penulisan ribuan tahun silam, sudah banyak dokumentasi tentang pengobatan tradisional Cina dan etnobotani.
"Jadi, tradisi foraging sebenarnya tanpa disadari sudah dilakukan. Entah itu digunakan untuk pangan, obat, ataupun kebutuhan bumbu," ujar profesor berusia 38 tahun itu.
Di Indonesia, merujuk pada catatan dari buku Karel Heyne, seorang ahli botani yang dipekerjakan pemerintah kolonial Belanda, terdapat sekitar 30 ribu spesies tumbuhan. Dari jumlah tersebut, kata Wawan, diperkirakan sepertiganya merupakan tumbuhan berguna. Jadi, Wawan menilai Indonesia memiliki kekayaan tumbuhan terestrial (di daratan) yang tinggi.
Di sisi lain, Wawan yakin tidak banyak jenis tumbuhan yang dapat mengakibatkan keracunan hingga kematian. Hal ini berbeda dengan sumber daya hewan. Di dunia tumbuhan, kata Wawan, hampir semua pucuk daun muda itu edible alias bisa dimakan. Namun, untuk menjadikan tumbuhan liar sebagai tanaman budi daya, butuh proses panjang. Wawan mengatakan tugas lembaganya membudidayakan kekayaan sumber daya hayati, khususnya tumbuhan, yang berpotensi pangan itu.
Wawan pun menyambut baik banyaknya gerakan atau kesadaran masyarakat yang kini mencari tumbuhan liar untuk dikonsumsi. Selain untuk ketahanan pangan, manfaat yang didapat adalah kesehatan. Ia menyebutkan foraging sebagai kegiatan kembali ke alam. "Karena semua bisa kita dapatkan di alam. Pola masyarakat kita itu sudah saatnya kembali ke yang sehat-sehat."
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo