Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRAMA Sabilulungan mengalun merdu di restoran Dapur Sunda, Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, pada Selasa sore, 7 April 2015. Di tengah keramaian pengunjung, seorang perempuan paruh baya terlihat serius berdiskusi dengan tiga pria di salah satu sudut restoran. Endah Kaniasari Ansoroeddin, perempuan 47 tahun itu, menyimak dengan sabar penjelasan ketiga karyawannya.
Sebagai Chief Executive Officer PT Dapur Sunda, Endah selalu mengunjungi restoran-restorannya dan bertukar pendapat dengan karyawan. Dia juga rutin menggelar rapat bersama para manajer restorannya, satu-dua kali sepekan, untuk membicarakan berbagai hal, dari soal kebersihan, servis, hingga target penjualan. "Sekarang kompetisi makin ketat, Dapur Sunda sudah makin besar. Saya serahkan 100 persen pengelolaan ke mereka," kata Endah, yang sehari-hari bekerja di kantor pusat Dapur Sunda di Jalan Persatuan Raya, Kebayoran Lama.
Dapur Sunda didirikan pada 1985 oleh pasangan suami-istri Ansoroeddin-Siti Komariah, orang tua Endah. Mula-mula mereka menyewa garasi sebuah rumah di Cipete Raya, Jakarta Selatan. Endah mengenang tempat itu sangat sederhana. Luasnya pun tak seberapa, 100 meter persegi, cuma bisa diisi sekitar 50 pengunjung.
Seiring dengan berjalannya waktu, rumah makan yang menjajakan masakan khas Jawa Barat itu mulai dikenal luas. Bisnis mereka berkembang. Kini Dapur Sunda memiliki sembilan cabang di Jakarta dan Bali. Di Ibu Kota, gerai mereka bertebaran di mal elite, seperti Bellagio Boutique Mall, Mega Kuningan; Pondok Indah Mall; Pacific Place, Kebayoran Baru; dan Mall of Indonesia, Kelapa Gading. Sedangkan di Bali, cabang Dapur Sunda terletak di Sunset Road, Kuta.
Ansoroeddin dan Siti Komariah mempunyai empat anak, semuanya perempuan. Mereka adalah Endah Kaniasari, Gina Gardeniasari, Katleyasari, dan Rosesari. Pada 1992, Ansoroeddin memutuskan mulai mengalihkan urusan Dapur Sunda kepada anak-anaknya. Sebagai sulung, Endah yang paling pertama diminta bergabung.
Saat ditawari ayahnya untuk ikut mengelola Dapur Sunda, Endah sudah bekerja sebagai pramugari di Garuda Indonesia selama enam tahun. Usianya baru 24 tahun. "Ayah menanyakan apakah saya mau jadi pengusaha dengan bergabung secara profesional di Dapur Sunda," ucap ibu empat anak itu.
Endah bukan ahli tata boga. Dia juga bukan lulusan program studi manajemen. Tapi pengalaman berkeliling dunia, mengunjungi restoran-restoran bagus saat menjadi pramugari, memberinya banyak gagasan bagaimana sebuah restoran seharusnya dikelola. Maka, tatkala mendapat kepercayaan dari ayahnya, dia segera melakukan dua perubahan penting: memperkaya menu dan memodernkan manajemen.
Awal berdiri, Dapur Sunda cuma menawarkan 15 menu, seperti gurami goreng, mi kocok, karedok, dan pepes ikan. "Ya, kayak menu warteglah," kata Endah. Kini jumlah sajian di rumah makan itu sudah empat kali lipat lebih banyak, 48 di antaranya telah dipatenkan nama dan resepnya. Menu tersebut antara lain Cobek Gurame, Gurame Terbang, Toge Jambal, Toge Babat, Ayam Geprek, Seupan Gurame, dan Tumis Gurame.
Gebrakan Endah berbuah manis. Saat dia mulai bergabung, omzet Dapur Sunda cuma sekitar Rp 400 ribu per hari. Sedangkan, pada 1995, angka penjualan harian meningkat signifikan menjadi Rp 1 juta. Malah kini omzet Dapur Sunda sudah mencapai Rp 150 juta per hari, dengan jumlah karyawan sekitar 400 orang.
Menurut Endah, salah satu kunci keberhasilan bisnis Dapur Sunda adalah cara mereka memperlakukan karyawan. Di Dapur Sunda, karyawan tidak dianggap sebagai pekerja, tapi mitra, bahkan keluarga. Perlakuan tersebut membuat karyawan betah. Banyak dari mereka mulai bekerja di Dapur Sunda semasa gerai makan itu masih dikomandoi orang tua Endah.
"Dalam memimpin, Ibu Endah tegas tapi fair. Profesionalitas sangat ditekankan," kata Saja Riani, salah satu karyawan senior di Dapur Sunda. Saat mulai bekerja pada 1996, Saja bertugas di dapur sebagai pembakar ikan. Pria 36 tahun itu kini menempati posisi manajer di gerai Dapur Sunda cabang Pondok Indah Mall.
Endah juga masih mempertahankan hubungan bisnis dengan para pemasok lama restorannya. Sebenarnya, dengan skala perusahaan yang kian besar, Dapur Sunda bisa saja menyediakan kebutuhan bahan bakunya sendiri. Langkah itu tidak mereka ambil. "Kalau itu kami lakukan, tidak ada pemberdayaan, dong. Kami tidak mau begitu," kata Endah. Bagi dia, pemasok harus tumbuh seiring dengan perkembangan bisnis Dapur Sunda. Karena itu, jumlah pemasok Dapur Sunda boleh dikata tak berubah sejak awal berdiri, yakni 10-15 pengusaha. Di antaranya penyedia sayuran hijau yang, menurut Endah, dulu hanya seorang tukang sayur gerobak dorong.
Meski sudah berhasil mengembangkan Dapur Sunda hingga memiliki sembilan cabang, mimpi Endah tak berhenti. Dia ingin restoran khas Sunda itu mendunia. Salah satu rencananya adalah membuka cabang di negara-negara Asia Tenggara, setelah pasar Masyarakat Ekonomi ASEAN diresmikan pada akhir 2015. "Saya masih mempelajari peluang pasar bebas ini," tutur Endah. Dia mengatakan akan membuka cabang di luar negeri jika tidak ada kewajiban untuk melibatkan mitra lokal.
Persaingan di bisnis restoran memang semakin ketat, tapi bagi Endah semua bisa diraih. "Kuncinya adalah fokus, selalu berinovasi, kreatif, dan menjaga kualitas dan kepuasan pelanggan," katanya.
Sebenarnya, dengan skala perusahaan yang kian besar, Dapur Sunda bisa saja menyediakan kebutuhan bahan bakunya sendiri. Langkah itu tidak mereka ambil. ”Kalau itu kami lakukan, tidak ada pemberdayaan, dong. Kami tidak mau begitu,” kata Endah. Bagi dia, pemasok harus tumbuh seiring dengan perkembangan bisnis Dapur Sunda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo