Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari atas pentas di pelataran amfiteater terbuka Jiwa Jawa Resort di kaki Gunung Ijen, suara angklung paglak mengalun lirih. Tempo alunan instrumen musik tradisional itu kemudian kian cepat dan mengentak, disusul lantunan rebana dan kendang Banyuwangi. Denting piano dan petikan bas masuk menimpali. Paduan musik tradisional yang dimainkan kelompok Pathok Laraswangi, Banyuwangi, dengan grup musik etnik bernuansa jazz dari Yogyakarta, Kua Etnika, itu membawakan tembang kuno suku Osing bertajuk Nggiring Angin.
Kolaborasi kedua kelompok musik itu menghangatkan perhelatan Ijen Summer Jazz 2016 di amfiteater Jiwa Jawa Resort Ijen, Kecamatan Licin, Banyuwangi, Jawa Timur, yang berhawa dingin, pada 10 September lalu. "Nggiring Angin merupakan tembang kuno asli suku Osing di Banyuwangi yang tak diketahui penciptanya. Kami dan Kua Etnika spontan membikin musiknya," kata Haidi Bing Slamet, pemimpin kelompok Pathok Laraswangi.
Ijen Summer Jazz merupakan satu di antara puluhan perhelatan musik jazz yang belakangan marak digelar di pelbagai daerah di Indonesia. Pergelaran ini terbagi dalam tiga sesi, yakni pada 30 Juli, 10 September, dan 22 Oktober 2016. Untuk sesi kedua ini, Ijen Summer Jazz menghadirkan dua bintang utama: kelompok Kua Etnika dan biduanita jazz kawakan Indonesia, Ermy Kullit. "Saya senang bisa tampil di Ijen Summer Jazz. Festival ini menunjukkan semakin banyaknya penggemar jazz di daerah," ujar Ermy, 61 tahun, seusai pentas.
Ijen Summer Jazz merupakan bagian dari rangkaian Jazz Gunung, sebuah pergelaran jazz yang memadukan musik, manusia, dan alam. Sebelumnya, Jazz Gunung menggelar Jazz Gunung Bromo di kawasan dataran tinggi Bromo, Jawa Timur, pada 19-20 Agustus lalu. Menurut penggagasnya, Sigit Pramono, Jazz Gunung sebagai salah satu upaya merayakan kesenian. "Jazz Gunung merupakan peristiwa seni dan budaya," kata Sigit, 56 tahun, bankir dan mantan eksekutif di sejumlah bank.
Perhelatan jazz itu tak hanya menyuguhkan pertunjukan musik jazz, tapi juga memperkenalkan keunikan lokasi pertunjukan. "Acara Ijen Summer Jazz ini juga ingin memperkenalkan kawasan Gunung Ijen dan Banyuwangi," tutur Sigit. "Kami memulai dengan Banyuwangi Beach Festival pada 2014."
Sigit menyatakan, lewat Ijen Summer Jazz, ia juga ingin menyuguhkan musik tanpa sekat. Dengan mempertemukan jazz dan musik suku Osing, Sigit ingin membuat sekat antara musik tradisional dan modern lebur. "Sehingga pergelaran Ijen Summer Jazz ini akan memberikan jazz dengan suasana dan rasa Indonesia," ujarnya. Ijen Summer Jazz, tutur Sigit, juga bagian dari Banyuwangi Festival, yakni rangkaian pertunjukan seni budaya untuk memperkenalkan budaya lokal di sana.
Format yang disuguhkan Jazz Gunung juga berbeda dengan festival jazz "formal" seperti Java Jazz yang digelar saban tahun di Jakarta. Selain digelar di alam terbuka di lereng Gunung Ijen, kapasitas tempat pertunjukannya tak begitu besar. Amfiteater Jiwa Jawa Resort Ijen, tempat digelarnya Ijen Summer Jazz, hanya berkapasitas sekitar 300 penonton. "Kami memang membuat format kecil, sehingga para penonton fokus, berkonsentrasi menikmati musik di alam terbuka," kata Sigit.
Format yang sama disuguhkan Jazz Gunung Bromo. Salah satu perhelatan Jazz Gunung tahunan sejak 2009 itu digelar di amfiteater terbuka Jiwa Jawa Resort di Desa Wonotoro, Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur. Tempat pertunjukan yang berada di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut itu berkapasitas sekitar 400 penonton. Sigit mengungkapkan amfiteater terbuka itu sebagai yang tertinggi di Indonesia. "Mungkin ada di tempat lain yang lebih tinggi, tapi di lapangan saja. Tapi ini di amfiteater khusus yang dibuat untuk penyelenggaraan konser musik jazz," ujar pemilik Jiwa Jawa Resort ini.
Untuk tahun ini, Jazz Gunung Bromo mengusung tema "Pesta Merdeka di Puncak Jazz Raya". Itu karena penyelenggaraan jazz ini, pada 19-20 Agustus lalu, berdekatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan RI. "Jazz Gunung ini sebuah perayaan kemerdekaan, baik kemerdekaan yang dimaknai sebagai dirgahayu republik ini maupun perayaan setiap seniman untuk berkata dan mengekspresikan karyanya," ujar Djaduk Ferianto, yang bersama seniman Butet Kartaredjasa dan Sigit Pramono menggagas Jazz Gunung Bromo.
Kelompok musik etnik asal Bandung, Samba Sunda, membuka Jazz Gunung Bromo 2016. Puluhan musikus tampil memeriahkan dua hari perhelatan jazz di Bromo itu. Mereka yang tampil pada hari pertama antara lain Fusion Jazz Community, Ring of Fire Project featuring Bonita & Richard Hutapea, Dwiki Dharmawan Jazz Connection, dan Shaggydog. Sedangkan pada hari kedua, tampil antara lain Rompok Bolong, Peni Candra Rini, Nial Djuliarso Trio featuring Arief Setiadi, Shadow Puppets, dan The Groove.
Vokalis The Groove, Rieka Roeslan, menuturkan, tampil di Jazz Gunung Bromo 2016 memberi banyak pengetahuan baginya. "Banyak yang kami tidak tahu tentang musik kemudian kami ketahui dengan bertemu senior seperti Mas Djaduk," katanya. Lewat kesempatan tampil di festival jazz ini, tutur Rieka, musik juga menjadi lebih terbuka, tidak lagi ada senior, membuat anak muda lebih luwes tampil apa adanya, tanpa takut. "Kalau dulu panggung jazz seperti menakutkan, seram. Tapi, melalui orang-orang seperti Mas Djaduk, akhirnya menjadi lebih cair," ucapnya.
Menurut Djaduk, Jazz Gunung Bromo memang bukan sekadar tentang bisnis. "Ini peristiwa budaya, tak sekadar berbicara tentang nilai ekonominya. Jazz Gunung Bromo ini investasi," ujarnya. Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Kabupaten Probolinggo Anung Widiarto mengatakan pergelaran Jazz Gunung Bromo sangat berpengaruh pada pengembangan pariwisata Probolinggo. Hal yang sama dikatakan Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Kabupaten Probolinggo, Digdoyo Djamaluddin. Hotel di kawasan Bromo bahkan sudah habis dipesan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. "Ada 14 hotel di kawasan Bromo dengan jumlah total kamar sekitar 400," ujarnya.
Jazz juga meramaikan kawasan wisata Ubud, Bali, sejak 2013. Sabtu malam, 13 Agustus lalu, musikus jazz Amerika Serikat, Louis Armstrong, seolah-olah hidup kembali di Museum ARMA, Ubud. Tarikan suara Michael Varekamp, musikus jazz asal Rotterdam, Belanda, yang dalam dan berat—apalagi setelah lagu What a Wonderful World dilantunkan—membuat ratusan penonton enggan beranjak walau malam kian larut dan udara yang dingin mulai menusuk. Tembang legendaris milik Louis Armstrong itu menutup perhelatan Ubud Village Jazz Festival (UVJF) 2016.
Lagu penutup ini sekaligus sebagai penegasan bahwa festival tahunan yang digelar sejak 2013 itu merupakan festival jazz yang menghormati para leluhurnya. Penggagas UVJF, Yuri Mahatma, menyatakan mereka selalu memperkuat warna jazz dari tahun ke tahun ketimbang harus melebarkan sayap dengan menggaet pengunjung dari segmen musik yang lain. "Bukan kami anti-musik yang lain, tapi kami percaya, setiap panggung harus punya identitas sendiri," kata Yuri, 43 tahun, yang sempat menimba ilmu jazz di Belanda.
Yuri menuturkan, ide itu muncul dari pengalaman setelah hampir 15 tahun menjelajahi dan menikmati sejumlah festival di Indonesia dan luar negeri. Meski berlabel jazz, ternyata banyak yang terjebak untuk berkompromi dengan warna musik pop buat menjaring penonton dan mendapatkan sponsor. Sebagian dengan alasan bahwa jazz terlalu rumit untuk dinikmati dan harus melalui tahap mendidik penonton. Pilihan itu sempat mengundang protes dari sejumlah rekannya yang menganggap UVJF akan sulit bernapas panjang. Tapi Yuri percaya, "Justru kejelasan identitas yang akan menjadi modal membedakan festival ini dengan yang lain."
Yuri tak sendirian. Ia melahirkan gagasan itu bersama Anom Wijaya Dharsana, pakar sound engineering yang tumbuh dengan pengalaman menangani berbagai pertunjukan jazz di Eropa. Sebelum melahirkan UVJF, keduanya telah menggagas gerakan Underground Jazz Movement di Bali untuk memperkenalkan jazz ke berbagai segmen dan komunitas, khususnya di kalangan anak muda. Mereka ingin mendobrak mitos bahwa jazz adalah musik yang elitis. "UVJF pun sebenarnya adalah gerakan komunitas," kata Anom.
Saat pertama kali UVJF digelar pada 2013, 90 persen pergelaran ini merupakan hasil kerja gotong-royong, dari musikus lokal, nasional, dan luar negeri hingga alat dan sound system. Konsep ini masih terus dipertahankan dengan melibatkan komunitas yang lebih luas, seperti dari kalangan fotografer dan komunitas peduli lingkungan.
Keberanian itu bukan tanpa risiko. Yang pasti, secara finansial UVJF belum bisa dibilang menangguk untung. Dengan pengunjung sekitar 3.000 orang setiap kali digelar, penjualan tiket, sponsor, dan sewa stan belum bisa menutupi biaya produksi, yang tahun ini mencapai sekitar Rp 800 juta. Tahun lalu mereka malah menanggung kerugian hingga Rp 170 juta karena sejumlah musikus batal hadir karena pesawatnya terhalang oleh letusan Gunung Raung, Jawa Timur.
Soal tempat bisa dikatakan terjamin karena mereka mendapatkan lokasi di halaman barat Museum ARMA yang biasanya menjadi tempat pertunjukan tari Bali. Di area seluas sekitar 1,5 hektare itu sudah terdapat satu panggung dengan lapangan rumput berkapasitas 500 kursi penonton. Halaman ini pun cukup luas sehingga panitia bisa membuat satu lagi panggung kecil untuk setting pertunjukan yang lebih kecil dengan penonton sekitar 100 orang. Satu panggung lagi terpisah di halaman dalam museum dengan penataan yang lebih akrab.
Selain untuk jazz, Yuri dan Anom sejak awal ingin menjadikan event ini sebagai aktivitas yang ramah lingkungan. Itu ditunjukkan dengan kata "village". Penataan area perhelatan ini selalu berubah dari tahun ke tahun dengan ragam yang berbeda. Pada 2014, saat memasuki arena, penonton diajak memasuki lorong yang cukup panjang sebelum sampai di panggung. Lorong itu seperti pengantar imajiner untuk memasuki sebuah dunia lain di luar bayangan mereka.
Pada 2015, jalan masuk dibuat melingkar sehingga harus melewati persawahan hanya dengan panduan obor kecil di sepanjang jalan setapak. "Kita ingin mereka bisa melepaskan diri dari bayangan pertanyaan, apa itu jazz," ujar Anom. Pada tahun itu konsep panggung terbuka juga didominasi material bambu sebagai latar dan aksesori arena.
Konsep itu berubah lagi pada tahun ini. Kehadiran pengunjung langsung disambut dengan latar persawahan. Panggung Giri, sebagai panggung utama, dihiasi anyaman jerami dan padi dengan latar belakang video mapping mengenai alam Bali. Dua panggung yang lebih kecil juga dihiasi topi petani dan lelakut alias orang-orangan sawah untuk mengusir burung. "Bambu tak lagi digunakan karena setelah perhelatan terlalu banyak sampah yang tak bisa digunakan," kata Diana Surya, arsitek yang menata ruang dan panggung bersama rekannya, Kelik Suwantara.
Paduan jazz dan suasana di Ubud itu ternyata resep ampuh untuk mengundang musikus dunia hadir di Bali. Sebagian saling merekomendasikan supaya mau datang dan bermain meskipun secara komersial belum sesuai dengan standar tarif mereka. Tahun ini, misalnya, UVJF dihadiri Peter Bernstein (gitaris jazz asal Amerika Serikat) dan Reuben Rogers (pemain bas jazz dari Amerika) yang sudah malang-melintang di panggung dunia. Saat Yuri mengontak mereka atas rekomendasi musikus yang pernah tampil sebelumnya di UVJF, ternyata keduanya sudah mendapat informasi mengenai acara ini. "Mereka senang karena bisa mendapat informasi yang utuh mengenai festival dan soal Bali," ujar Yuri.
Yogyakarta memiliki dua perhelatan jazz tahunan yang juga digelar di tempat terbuka, Prambanan Jazz dan Ngayogjazz. Prambanan Jazz terinspirasi konser Andrea Bocelli, penyanyi tenor ternama Italia, di Tuscany pada 2008. Di luar ruangan sekitar tempat Bocelli menggelar pentasnya, bebatuan ditumpuk rapi. Sekilas bebatuan yang menumpuk itu mirip candi. "Dari situ saya berpikir membuat konser dengan suasana berbeda, menikmati musik dengan latar candi," kata Anas Syahrul Alimi, penggagas Prambanan Jazz, di sela acara jazz itu di kompleks Candi Prambanan, 20 Agustus lalu. "Konser jazz perlu dibuat di luar ruangan untuk mendapatkan suasana dan pengalaman yang berbeda dibanding konser-konser jazz di dalam gedung."
Anas menyatakan Prambanan ia pilih sebagai tempat konser karena menjadi mahakarya candi Hindu terbesar di Indonesia. Ia tak memilih Candi Borobudur di Magelang karena akses transportasi yang terbatas. Di Yogyakarta, Prambanan lebih mudah terjangkau dari Bandar Udara Adisutjipto. Pengunjung juga lebih mudah mendapat akses transportasi, rental mobil, hotel, penginapan, dan kuliner di Yogyakarta.
Prambanan Jazz perdana digelar pada 2015. Perhelatan jazz ini mengusung konsep memadukan mahakarya Candi Prambanan dengan musikus jazz ternama. Saat itu Prambanan Jazz, yang digelar sehari, mendatangkan pemain saksofon kondang asal Amerika, Kenny G. Tahun ini konsernya lebih besar, selama dua hari, dengan bintang tamu antara lain Boyz II Men—kelompok R&B asal Amerika Serikat—dan Rick Price, penyanyi era 1990. Untuk tahun depan, Anas dan timnya telah membidik musikus kondang seperti Andrea Bocelli, Al Jarreau, dan George Benson.
Prambanan Jazz murni diselenggarakan oleh tim swasta yang sponsor utamanya juga perusahaan swasta. Tahun ini panitia perlu persiapan delapan bulan. Tahun lalu Anas sangat sulit menggaet sponsor. Bahkan Prambanan Jazz tahun itu tidak punya sponsor utama. Tapi konser tersebut tidak merugi. Untuk biaya produksi penyelenggaraan acara, panitia memperolehnya dari hasil penjualan tiket. Tahun ini tiket dibanderol Rp 200 ribu-Rp 1,5 juta. Panitia menjual 18.950 tiket. Panitia kali ini gencar berpromosi sehingga pengunjung lebih banyak ketimbang tahun lalu, yang terjual 5.500 tiket. "Dibanding festival jazz yang besar lainnya, harga tiket Prambanan Jazz lebih terjangkau," ujar Anas.
Adapun Ngayogjazz mempunyai konsep yang berbeda dengan Prambanan Jazz. Menurut penggagasnya, Djaduk Ferianto, lewat perhelatan musik tersebut, ia dan timnya mendekonstruksi kesan bahwa jazz itu elite dan mahal. "Ideologi yang kami pakai sederhana, kok, yaitu merakyat dan kegembiraan," kata Djaduk. Sejak 2006, Djaduk membangun Ngayogjazz bersama musikus Yogya lainnya, yakni Hattakawa, Wendra, Aji Wartono, Bambang, dan Hendi. Bersama Hattakawa dan Wendra, Djaduk punya gagasan membuat pementasan musik di Malioboro. Ada kerinduan terhadap Malioboro tempo dulu, sebagai pusat seni budaya. Kawasan di jantung Kota Yogyakarta itu belakangan memang didominasi kegiatan ekonomi.
Tapi, setelah proposal jadi, gempa meluluh-lantakkan Yogyakarta. Ngayogjazz pertama baru bisa digelar setahun kemudian, pada 2007. Mereka cuma bermodal Rp 30 juta. Ngayogjazz pertama digelar di Padepokan Bagong Kussudiardja. Sukses itu membawa mereka menggelar Ngayogjazz kedua di Tembi, Bantul, pada 2008 dan Ngayogjazz 2009 di Gabusan, Bantul. Pelaksanaan Ngayogjazz 2010 mundur karena Gunung Merapi meletus pada akhir Oktober tahun itu. Ngayogjazz baru muncul pada Januari 2011 di pelataran rumah pelukis Djoko Pekik di Sembungan, Bantul. Ngayogjazz kembali digelar pada tahun yang sama pada November di Kotagede, Yogyakarta.
Ngayogjazz terbuka bagi para pendukung dan pengisi. Pendekatannya adalah berembuk secara penuh kekeluargaan. Ngayogjazz tahun ini akan berlangsung pada 19 November di Desa Kwagon, Godean, Sleman. Musikus yang tampil antara lain Fariz R.M. dan Tohpati. Panitia juga menyeleksi 52 komunitas jazz yang mendaftar untuk tampil pada tahun ini.
Bagi Djaduk, bermain jazz di kampung tak membuat musik itu menjadi rendah. Ketika banyak orang beranggapan bahwa jazz adalah musik elite yang hanya bisa dinikmati di gedung mewah, ia menemukan sebaliknya: jazz bukan musik mahal dan sulit. "Jazz tumbuh dari masyarakat Afro-Amerika yang terpinggirkan, seperti kesenian rakyat," ujar Djaduk.
Artika Rachmi Farmita (Banyuwangi), David Priyasidharta (Probolinggo), Rofiqi Hasan (Bali),Shinta Maharani (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo