Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Antara Pungli dan Korupsi

19 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapatnya bersama Komisi Pemilihan Umum dan Kementerian Dalam Negeri akhirnya memutuskan bahwa terpidana hukuman percobaan diizinkan mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah pada Pemilihan Umum 2017. Keputusan rapat 10 September 2016 itu menuai protes.

Cerita tentang calon kepala daerah yang pernah terlibat kasus hukum ditulis dalam rubrik Hukum majalah Tempo edisi 14 Desember 1985. Judul beritanya adalah "Antara Pungli dan Korupsi". Tulisan diawali dengan ribuan orang yang datang ke Pengadilan Negeri Banda Aceh menyaksikan Bupati Aceh Selatan Ridwansyah dalam perkara korupsi.

Ridwansyah, 44 tahun, diseret jaksa Abdurrahman ke meja hijau dengan tuduhan memungut uang secara "liar" dari 266 calon pegawai negeri ketika menjabat Kepala Biro Kepegawaian pada Sekretariat Wilayah Daerah Istimewa Aceh, sejak 1980 sampai 1983. Dari para calon pegawai pemerintah daerah itu, Ridwansyah menarik pungutan Rp 200-500 ribu, yang semuanya diperkirakan meliputi jumlah Rp 62 juta.

Ceritanya, ada surat Menteri Dalam Negeri dan Surat Keputusan Gubernur yang memberikan kesempatan bagi pegawai honorer untuk dikukuhkan menjadi pegawai negeri melalui proses pemutihan. Di situ juga dicantumkan bahwa formulir daftar isian data pegawai untuk pemutihan itu hanya bisa diisi oleh orang-orang yang sudah berstatus pegawai honorer daerah.

Ternyata Ridwansyah, selaku Kepala Biro Kepegawaian dan Sekretaris Panitia Pemutihan, bersama anggota stafnya, T. Rusdi, memanfaatkan kesempatan itu untuk kepentingan pribadi. Ia, menurut tuduhan jaksa, telah memberikan formulir tadi kepada pelamar yang bukan pegawai honorer daerah. Tentu saja dengan imbalan uang. Akibatnya, pegawai yang benar-benar berhak tidak mendapat kesempatan untuk diangkat menjadi pegawai negeri.

Untuk itu, mula-mula Ridwansyah mendapat "hukuman disiplin" dari Gubernur, 9 Februari 1985. Dalam surat keputusan itu disebutkan bahwa kenaikan pangkatnya ditunda selama setahun. Setelah itu, 30 Oktober 1985, ia dibebaskan sementara dari jabatan bupati. Sebagai penggantinya, Gubernur menunjuk Zainal Abidin, dari Kantor Gubernur Aceh, dengan status pejabat sementara.

Sebenarnya perbuatan Ridwansyah diketahui sejak ia belum diangkat sebagai bupati, 1983, yaitu ketika beberapa orang dari calon pegawai negeri yang terkena "pungli" ternyata gagal diangkat. Para calon yang gagal itu, di antaranya Ernawati dan Nurmainah, mengadu ke Kantor Gubernur. Tapi persoalan ini bisa diselesaikan Sekretaris Wilayah Daerah Aceh, waktu itu, Ayub Yusuf dengan mengembalikan uang kedua gadis tersebut Rp 600 ribu.

Namun masih banyak calon lain yang juga gagal menjadi pegawai negeri. Karena itu, kata sumber tadi, Ridwansyah disponsori seorang pejabat teras di Kantor Gubernur untuk menduduki jabatan sebagai bupati di Aceh Selatan. Diharapkan, dengan jabatan barunya itu, Ridwansyah bisa mengembalikan uang para korban. Sementara itu, anggota stafnya, Rusdi, dimutasikan ke Perwakilan Provinsi Aceh di Jakarta dengan tujuan bisa mengurus pengangkatan calon-calon pegawai tersebut di pusat.

Ternyata, tutur sumber itu, Ridwansyah, walau sudah menjadi bupati, tetap tidak bisa mengembalikan uang para korban. Rusdi juga tidak berhasil mengegolkan calon-calon itu menjadi pegawai negeri. "Ridwansyah malah kesulitan uang karena ia harus memberi upeti kepada pejabat yang mengorbitkannya tersebut," ujar sumber itu.

Belakangan, rupanya, hubungan Ridwansyah dengan "bapak angkat"-nya itu pun renggang. Konon, gara-gara ia tidak lagi memenuhi kewajibannya membayar upeti. Si bapak angkat rupanya membocorkan rahasia Ridwansyah ke pusat. Itulah sebabnya, akhirnya Ridwansyah harus ke meja hijau.

"Keterlambatan" perkara itu disidangkan—sampai Ridwansyah diangkat sebagai bupati—disesalkan berbagai pihak. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh, Usmanuddin, misalnya, berkata, "Sekarang, sebagai kepala daerah, kan menjadi aib bagi pemda untuk menyeretnya ke pengadilan." Padahal, menurut dia, "Seseorang yang akan menjadi kepala daerah perlu 'tanda bersih diri'. Dan, dengan lolosnya ia dari proses, berarti ia sudah lulus. Jadi, kalau memang ia tersangkut perkara korupsi, kenapa tidak dari waktu itu dipersoalkan."

Pengacara Ridwansyah, Nasrullah, mengatakan bahwa kasus itu bukan menjadi tanggung jawab Biro Kepegawaian, melainkan Panitia Pemutihan. "Seharusnya ketua panitia, Sekwilda Aceh, yang bertanggung jawab. Sebab, Ridwansyah hanya sekretaris," ujar Nasrullah. Karena itu, ia curiga perkara tersebut hanyalah permainan politik untuk menjatuhkan sang Bupati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus