Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROVINSI DKI Jakarta memerlukan gubernur yang cakap, berani, sekaligus mampu menjalankan pemerintahan dengan tata kelola yang baik. Satu saja dari tiga hal tersebut tidak terpenuhi, sulit membayangkan Ibu Kota dapat menjadi provinsi yang maju sekaligus adil bagi segala lapisan penduduknya.
Pada 2012, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama membawa harapan tinggi ketika terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI. Pembangunan angkutan cepat terpadu (MRT) segera dimulai setelah mandek selama bertahun-tahun. Penataan pedagang kaki lima dikebut. Taman kota dibangun di mana-mana. Kelas menengah Jakarta menikmati berbagai perubahan nyata.
Tak sampai dua tahun memimpin Batavia, Jokowi terpilih menjadi presiden. Basuki alias Ahok mengambil alih kursi DKI-1, didampingi Djarot Saiful Hidayat, yang disorongkan PDI Perjuangan sebagai pengganti Jokowi. Ahok tampil lebih garang daripada pendahulunya. Dalam pelbagai perkara, ia melawan politikus di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Hasil kepemimpinan Ahok cepat terasa dengan aneka proyek, seperti pembersihan kali, pelebaran trotoar di sejumlah tempat, dan perbaikan layanan Transjakarta. Banyak orang bertepuk tangan dan menempatkannya sebagai idola baru. Popularitasnya melambung tinggi.
Prestasi Ahok bukan tanpa catatan. Keputusannya membarter dana kontribusi tambahan dari pengembang reklamasi pantai utara Jakarta dengan proyek langsung menyalahi prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Apalagi pemungutan dana kontribusi tambahan itu pun belum ada dasar hukumnya. Skema barter yang sama diberlakukan pada denda bagi pemilik properti yang melanggar koefisien luas bangunan. Dua keputusan itu melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yang mewajibkan semua penerimaan dimasukkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Hubungan dekat Basuki dengan taipan-taipan pemilik perusahaan kakap properti juga mengundang pertanyaan. Interaksi khusus itu terlihat, terutama, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar perkara suap penyusunan rancangan peraturan daerah reklamasi. Hubungan semacam ini berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
Gempita membangun fisik Jakarta, Ahok menempatkan diri sebagai pemegang kebenaran tunggal. Ia merespons kritik dengan amarah. Ketika muncul pro-kontra penggusuran penduduk untuk "normalisasi" Kali Ciliwung, ia nyaris tak membuka pintu dialog. Kritik kepadanya mengemuka: sang Gubernur lebih mementingkan pembangunan fisik tapi mengabaikan aspek sosial.
Munculnya penantang Ahok dalam pemilihan gubernur 2017 akan memberi alternatif baik bagi penduduk Jakarta. Dalam pendaftaran yang akan dibuka pekan ini, sudah muncul kandidat penantang: Sandiaga Uno, yang disorongkan Partai Gerindra. Di luar itu, ada nama lain, seperti Anies Baswedan dan Yusril Ihza Mahendra. Keduanya, hingga akhir pekan lalu, belum diajukan partai mana pun.
Jakarta dalam lima tahun ke depan adalah kota megapolitan yang semakin kompleks. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan penduduk Ibu Kota pada 2022 akan mencapai 11 juta jiwa. Pertambahan penduduk ini meningkatkan masalah transportasi, permukiman, hingga lapangan pekerjaan. Kesenjangan ekonomi pun diperkirakan membesar.
Para penantang Ahok perlu menyiapkan konsep yang jelas untuk menjawab persoalan tersebut. Konsep itu harus bisa diwujudkan dalam berbagai kebijakan jika kelak mereka terpilih. Pada saat yang sama, mereka dituntut mampu menjalankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik—ditandai antara lain dengan kepatuhan menaati aturan.
Munculnya penantang Gubernur DKI inkumben juga positif bagi demokrasi. Persaingan lebih dari dua calon akan melunakkan benturan antar-pendukung. Pertarungan dua kandidat sejak awal, terutama dengan tingkat elektabilitas yang relatif seimbang, seperti yang terjadi pada pemilihan presiden 2014, memunculkan rivalitas keras di lapangan. Pendukung calon yang kalah akan menjadi "pembenci abadi" kandidat terpilih sepanjang periode pemerintahannya.
Pilkada masih lima bulan lagi. Meski survei melaporkan elektabilitas Ahok terus merosot, terlalu dini memprediksi siapa bakal jadi pemenang. Ahok masih bisa meningkatkan elektabilitasnya–misalnya dengan berintrospeksi dan mau mendengarkan kritik. Para penantang juga masih punya banyak kesempatan untuk merayu calon pemilih.
Siapa pun yang akan terpilih menjadi gubernur, mereka harus membuat DKI lebih baik. Pembangunan ekonomi mesti sejalan dengan pembangunan sosial. Kepedulian pada nasib si kecil perlu menjadi prioritas. Jakarta wajib dikelola dengan mengindahkan aturan. Dengan kata lain, Ahok atau bukan Ahok yang terpilih nanti, Gubernur Jakarta mendatang harus lebih baik daripada Ahok hari ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo