Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Merdeka di Bawah Bayang Negara

14 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yudi Latif

  • Deputi Rektor Universitas Paramadina & Direktur Eksekutif Reform Institute

    DI muka hakim kolonial, pada bagian penutup pleidoi Indonesia Menggugat (1930), Soe-karno bertutur: ”Kami menye-rahkan segenap raga dengan serela-relanya kepada tanah air dan bangsa.… Juga kami berusaha ikut me-ngem-balikan hak tanah air dan bangsa atau perikehidupan yang merdeka. Tiga ratus tahun, ya walau seribu tahun pun, tidaklah bisa menghilangkan hak negeri Indonesia dan rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu.”

    Dengan pernyataan itu, Soekarno- menambatkan perjuangan kemer-deka-an Indonesia ke dalam jangkar ”kebang-saan”. Suatu bangsa, menurut Ernest Renan, terbentuk karena dua hal: bersama-sama menjalani suatu riwayat dan mempunyai keinginan hi-dup menjadi satu.

    Jika penjajahan telah memberi ke-samaan riwayat bagi mayoritas penduduk Indonesia, atas dasar imajinasi apakah keinginan hidup untuk bersatu bisa dirajut? Suatu bangsa, kata Ben Anderson, adalah ”suatu komunitas politik terbayangkan”; terbayangkan dalam arti selalu menyiratkan ”batas” dan ”daulat”.

    Dalam sejarah Indonesia, berbagai eksperimen pergerakan bergulat dan acap kali bergesekan dalam menentukan batas dan daulat ini. Budi Utomo membatasi imajinasi persatuan kebangsaan itu pada ”kejawaan”, Indische Partij pada ”kependudukan”, Sarekat Islam pada ”keislaman”, dan Komunisme Indonesia pada ”solidaritas kelas”. Tetapi semua eksperimen itu gagal, hingga semua gerakan terpaksa (oleh tekanan sejarah) menyadari perlunya mempertautkan diri ke dalam suatu historical bloc; suatu kompleks ”kehendak kolektif” yang dihasilkan oleh pertautan ide dan nilai dari berbagai kekuatan sejarah yang tersebar dan terpecah.

    Memasuki era 1920-an sampai 1930-an, di bawah tekanan malaise ekonomi pasca-Perang Dunia I dan depresi ekonomi dunia, negara kolonial semakin menunjukkan watak paranoidnya dengan mengaktifkan rezim ”rust en orde” (ketenteraman dan ketertiban). Di bawah rezim drakonian ini, m-edia massa dan rapat umum dikontrol ke-tat, tokoh-tokoh politik terkemuka ditangkap dan diasingkan. Saat yang sama, kelesuan ekonomi membiakkan kemiskinan dan proletariat intelek-tual yang menyulut radikalisme. Secara perlahan, semua elemen pergerakan mulai dipersatukan ke dalam blok historis untuk memerdekakan diri dari musuh bersama: negara kolonial.

    Dari Belanda, Bung Hatta dan koleganya di Perhimpunan Indonesia mengajukan konsepsi kemerdekaan -de-ngan empat pilar: persatuan nasio-nal, solidaritas, non-kooperasi, dan kemandirian. Konsep itu tak lain adalah sintesis dari platform politik gerakan-gerakan perjuangan terdahulu. Persatuan nasional merupakan tema Indische Partij, non-kooperasi tema kaum komunis, dan kemandirian tema Sarekat Islam. Sedangkan solidaritas hanyalah simpul yang menyatukan ketiga tema tersebut. Dari dalam nege-ri, Soekarno dan sejawatnya datang dengan proposal serupa. Pada 1926, ia menulis di Suluh Indonesia Muda, ”Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”, yang memimpikan sintesis antara ketiga ideologi tersebut sebagai fondasi persatuan nasional dan kemerdekaan.

    Semuanya tiba pada kalimatun sa-wa, perlunya mengutamakan kemerdekaan politik. Tidak berarti- meremehkan persoalan sosio-ekono-mi dan tidak pula melupakan sifat multikultur keindonesiaan. Mereka me-nyadari bahwa perjuangan nasio-nalisme Indonesia tidaklah berhenti pada kemerdekaan politik, tetapi- -harus berlanjut dengan apa yang disebut Soe-karno sebagai ”sosio-nasio-nalisme” dan ”sosio-demokrasi”; yak-ni ”nasionalisme dan demokrasi yang mencari selamatnya perikemanu-siaan dengan mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki”. Kebanyakan mereka juga menyadari perlunya menyelamatkan kemajemukan Indonesia dari sangkar besi sentralisme negara kolonial. Namun, bagi mereka, kemerdekaan harus diraih terlebih dahulu, dan hanya Indonesia bersatu, yang bersedia menyingkirkan perbedaan-perbedaan sempitlah, yang bisa meruntuhkan negara kolonial.

    Di sini terlihat keunikan formasi ne-gara-bangsa Indonesia. Dalam perjalanan negara-negara Eropa Barat, perkembangan kesadaran nasional berjalan paralel dengan formasi nega-ra-(bangsa), sedangkan di Eropa Te-ngah/Timur terbentuknya negara-bangsa itu merupakan perpanjangan dari kesadaran etno-kultural. Adapun di Indonesia, negara (baca: negara kolonial) ada terlebih dahulu, kemudian muncul kesadaran dan persatuan nasional sebagai reaksi terhadap negara kolonial. Dalam literatur sosiologi politik, Indonesia lebih tepat disebut ”state-nation”, ketimbang ”nation-state”. Konsekuensinya, negara merupakan alasan pokok bagi konstruksi maupun destruksi rasa kebangsaan.

    Dengan konsentrasi pada penempaan ”nation building” sebagai karsa menggulingkan ”negara kolonial”, perhatian terhadap ”state building” nyaris tak terpikirkan. Padahal de-ngan berlalunya kolonial, berbagai warisan penjajahan dalam tata-kelola kenegaraan menyusup lewat pintu belakang republik, melanggengkan struktur-struktur ketidakadilan yang menyulitkan perwujudan sosio-nasio-nalisme dan sosio-demokrasi.

    Keberhasilan para perintis kemer-dekaan membentuk kesadaran nasio-nalisme baru tidak diikuti oleh keberhasilan dalam pembangunan ke-negaraan. Konstruksi blok historis wa-risan pra-kemerdekaan tidak bisa di-pertahankan karena ketidakmampuan pemimpin pascakolonial untuk mendefinisikan dan menghadapi musuh baru yang lebih sublim: tirani, korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan.

    Untuk masa yang panjang, terjadi ketidakselarasan antara watak kene-garaan dan kebangsaan. Watak multikultur kebangsaan Indonesia dina-fikan oleh watak sentralistik bangun ke-ne-garaan. Ketimpangan antara pusat dan daerah terjadi dengan penging-karan terhadap hak-hak politik, so-sial, ekonomi, dan budaya masyarakat lokal.

    Karena penguasaan kapital oleh se-gelintir pihak di titik pusat, persebar-an kapital yang melicinkan mobilitas vertikal dan horizontal terhambat. Sifat insular negeri kepulauan yang menyulitkan kontak dalam intensitas tinggi tak menemukan jembatan katalisnya. Situasi ini telah lama dirisaukan Bung Hatta. Membandingkan pengalaman Italia (negeri agraris) dan Inggris (negeri industri) dalam mengembangkan persatuan nasio-nal, ia temukan bahwa rasa persatuan nasional di Italia lebih rapuh. Menurut dia, sifat petani yang terikat hatinya pada tanah menyulitkan mobilitas dan intensitas hubungannya dengan kalangan yang lebih luas. Rasa persa-tuan nasional secara umum lebih kuat di negeri industri, tempat rak-yatnya yang memburuh terlepas dari ikatan tanah dan disusun bersatu oleh pabrik dan disiplin kerja. Di sini, mobilitas penduduk tidak dipaksakan, semisal lewat transmigrasi, melainkan tumbuh secara sukarela mengikuti perge-rakan kapital.

    Dalam ketersendatan lalu lintas- pergaulan, masyarakat lebih banyak- terkungkung dalam kepompong komu-nalisme. Pengikatan rasa kebangsa-an dari ensemble komunalisme ini se-kadar bertumpu pada solidaritas- emosional yang tersisa dari warisan kesamaan sejarah, bahasa, dan buda-yakeagamaan. Tanpa solida-ritas fung-sional yang lahir karena persama-an kepentingan dan pemenuhan kese-jah-teraan bersama, fantasi- keber-tautan kebangsaan itu mudah re-tak oleh ge-rak sentrifugal dari ingat-an pedih ketidakadilan dan keterkucilan.

    Dengan proses belajar kolektif lebih banyak dimediasikan oleh paguyub-an yang tertutup, ketimbang oleh asosia-si yang terbuka, universum simbolik yang menyediakan kerangka interpretasi sosial lebih membiaskan gra-matika komunalisme. Akibatnya, kekecewaan sosial-ekonomi sering di-sub-limasikan ke dalam sentimen et-no-religius.

    Buruknya manajemen kenegaraan me-lemahkan horizontal comradeship antargugus kebangsaan. Civic nationalism sebagai watak kebangsaan Indonesia terus-menerus terancam oleh etno-nationalism. Seperti menjadi suratan tangan, Indonesia dipersatukan oleh negara dan dicerai-beraikan oleh negara.

    Enam puluh satu tahun setelah ne-gara ini diproklamasikan, Indonesia ma-sih tetap sebuah proyek yang belum tuntas. Setiap hari ulang tahun ke-merdekaan tiba, peringatan Bung Karno kembali mencuat dari alam -kuburnya: ”Ya, belum ada ’journey’s end’ bagi kita—perjuangan kita jauh be-lum selesai, pembangunan pun menung-gu bertimbun-timbun—hai bangkitlah kem-bali bangsaku, nyala-kanlah kembali dalam jiwamu apa yang kita namakan ’semangat proklamasi’.”

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus