RIBUAN wanita berkerudung meratap di Masjid Bone Sompe, Kota Poso, Rabu malam silam. Doa bercampur tangis yang menyayat mengiringi prosesi jenazah yang baru saja disalatkan itu. ”Ya, Allah, terimalah Madong di sisi-Mu seperti mujahid lainnya,” ucap seorang ibu, yang diamini ibu-ibu di belakangnya.
Lalu takbir menggema seiring dengan berputarnya roda mobil jenazah meninggalkan halaman masjid. Ratusan pemuda tanggung berteriak, ”Khaebar, khaebar.... Ya yahud, Jundu Muhammad, saufa ya’ud,” dengan tinju mengepal ke udara. Bendera hijau bertuliskan ”Laillaha Illallah” dikibar-kibarkan. Selaksa kendaraan bermotor mengapit mobil jenazah menuju desa asal Madong di Kecamatan Ampana, 150 kilometer dari Kota Poso. Arak-arakan selepas waktu isya itu membuat berdiri bulu roma.
Muhammadong alias Madong, 27 tahun, tewas dihunjam pelor polisi di kawasan hutan gunung Mompane, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, sehari sebelumnya. Ia orang yang paling dicari polisi terkait dengan penyerangan lima desa di sana, termasuk Beteleme, pada 9 Oktober lalu, yang menewaskan 13 orang. Ia diketahui memimpin pasukan yang bergerak dari Kota Poso, Tayawa, Translolemba, Lembah Masara, Tamaenusi, Kolonodale, dan Desa Peleru. Ikut binasa dalam operasi polisi itu Aswan alias Acho, yang sempat menulis surat ”wasiat” kepada keluarganya pada 29 September lalu.
Madong adalah idola bagi pengikutnya. Kelompok muslim Poso memujanya sebagai panglima perang. Keberaniannya memimpin ”laskar-laskar langit” dalam setiap konflik fisik dengan kelompok massa Kristen tak perlu diragukan lagi. Menurut rekan karibnya, Madong selalu berada di garis terdepan dalam serangan ke basis Kristen sejak 2001. ”Almarhum tak pernah absen dalam amaliah (pergi berperang),” ujar pria yang merahasiakan jati dirinya itu.
Pria berjenggot tipis ini memang bukan orang sembarangan. Sumber TEMPO mengatakan bahwa Madong pernah dilatih Mustafa, Komandan Khos (pasukan berani mati) Jamaah Islamiyah, di Poso selama sebulan sekitar Februari 2001. Ia direkrut sebagai anggota pasukan pembuat bom. Mustafa, yang diciduk polisi di Bekasi, Jawa Barat, tiga bulan lalu, mengajarkan ilmu kemiliteran: menyerang, lepas dari kepungan musuh, dan menyerang sambil mundur. ”Saya dan Madong angkatan keempat,” ujar sumber itu.
Namun, di hati kaum hawa di kampungnya, ayah satu anak itu memiliki arti tersendiri. Selain cerita soal ”kepahlawanan di medan laga”, tampilan fisiknya yang menarik membuat mereka kesengsem. Bagaimana tidak, perawakannya tegap, gagah, dengan kulit yang putih bersih. Wajar kalau mereka tak mau ”ditinggalkan” si ganteng.
Debut pertamanya dalam kisruh Poso terjadi kala periode ketiga pada 2000, kelanjutan konflik awal pada Desember 1998. Saat itu kelompok Merah (sebutan bagi massa Kristiani) yang dipimpin Febianus Tibo melumat kelompok Putih, yang beragama Islam. Pada April tahun berikutnya, pengadilan Poso memvonis Tibo hukuman mati. Nah, Beteleme menjadi sasaran serangan Madong dkk. karena itu desa asal Tibo.
Rupanya serangan balas dendam itu menjadi akhir cerita Madong. Razia polisi pada 21 Oktober lalu di perbatasan Desa Mahoni dan Masaro, Kecamatan Lembo, memergokinya. Siang itu polisi curiga kepada penumpang di bak truk yang telanjang dada dengan celana panjang lusuh. Ia gelisah sewaktu didekati, kepalanya celingukan, seperti mau lari.
Belum diinterogasi, ia sudah berontak dan merampas golok milik petani yang lewat di depan pos. Hampir saja petani tadi dibacok. Untung, polisi bergerak sigap. Tanpa tembakan peringatan, moncong senjata diarahkan persis ke dadanya. Dor! Madong roboh. ”Kamu Madong, ya? Ayo mengaku! Kamu Madong, kan?” kata petugas yang memburunya hampir sepekan, setengah memaksa. Tapi yang ditanya cuek saja, hanya tersenyum kecil, lalu matanya mendelik. Mati.
Menurut sopir truk yang ditumpanginya, Madong naik dari pinggir hutan Desa Mahoni hendak ke Tompira, 7 kilometer dari Mahoni. Menjelang pos polisi, si penumpang mengetuk-ngetuk kaca belakang seraya memberikan tanda agar jangan berhenti. Sopir justru memerintahkan agar kernetnya memanggil polisi. ”Kalau tak mencurigakan, Madong bisa membuat kami kecolongan,” kata Direktur Samapta Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah, Ajun Komisaris Besar Polisi Silaban, kepada TEMPO. Polisi tak tahu persis wajahnya. Mereka hanya tahu nama dan perkiraan bentuk fisik sesuai dengan keterangan rekan-rekannya yang tertangkap. Dan takdir sang buron rupanya berakhir di ujung senapan.
Jobpie Sugiharto, Darlis Muhammad, Dedy Kurniawan (Poso)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini