Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pertempuran di Bukit Mompane

Polisi menggerebek kawanan yang bersembunyi di kawasan perbukitan. Tiga tewas, 13 tertangkap. Bermula dari mi instan.

26 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPI menggelayut di lereng Mompane, Kamis petang dua pekan lalu. Di atas bukit itu awan merona kian pekat, dan kicau burung beo, yang riuh di siang hari, tak terdengar lagi. Berselimut kesunyian, dua puluhan polisi mengendap senyap, bak tayangan dalam gerak lamban, waspada dan siaga. Selang beberapa menit, pasukan itu mendadak berhenti. Tidak jauh dari posisi mereka, Inspektur Dua Clip, komandan pasukan, melihat sebuah gubuk beratap daun rumbia, berdinding bambu, dan mengepulkan asap. Sang komandan hakulyakin, gubuk ini dihuni ”musuh”. Clip memerintahkan pasukannya menyebar, membentuk formasi mengepung. ”Rekaman lamban” tadi berubah menjadi gerak cepat. Sebagian anggota pasukan mengepung dari sisi utara, sisanya dari selatan. Semuanya bersiaga penuh dengan bedil siap menyalak. Tapi, setelah satu jam mengepung gubuk itu, sang komandan tak kunjung memberikan perintah menyerbu. Padahal petang kian meremang, jarak pandang cuma puluhan meter. Angin dingin Bukit Mompane juga mulai menusuk tulang. Beberapa polisi mulai kesal, karena nyamuk ligat merubung. Sang komandan, yang tentulah memahami kegelisahan anggota pasukan, merasa perlu beberapa kali mengulangi perintahnya, ”Siaga di posisi masing-masing dengan senjata siap tembak.” Kesabaran itu ternyata tak sia-sia. Tiba-tiba tampak seorang pria keluar meninggalkan gubuk. Perawakannya sedang. Sebentar ia berdiri di depan gubuk. Para anggota pasukan makin mengetatkan pegangan pada senjata mereka, karena sang musuh menenteng senapan tempur jenis M-16. Sebentar pria tersebut terlihat menengok kiri-kanan, mengamati situasi, lalu bergerak ke arah selatan, hampir–hampir mendekati seorang polisi yang sedang bersiaga di situ. Polisi itu merapatkan tubuhnya ke balik sebatang pohon agatis besar. Tapi gerakannya dilihat oleh pria dari gubuk itu. Senyap segera berubah riuh. M-16 di tangan sasaran pengintaian itu menyalak dua kali ke arah polisi pengintai. Meleset! Peluru menghantam batang agatis. Pada saat kritis itulah Komandan Clip memerintahkan pembukaan serangan: ”Tembak!” Dua puluhan senjata panjang menyalak serempak, memancing lima pria lain keluar dari gubuk yang sama, dan langsung membalas serangan. Tembak-menembak berlangsung ketat, bagaikan pesta kembang api menyambut datangnya malam. Para musuh mengambil posisi berlindung di balik gubuk, menyulitkan polisi membidik jitu. Tiga orang di antara kawanan penghuni gubuk itu bergerak ke utara, langsung disambut tembakan beruntun polisi yang sudah menunggu di situ. Satu per satu mereka roboh. Para polisi yang berada di sisi selatan terus melancarkan tembakan beruntun ke arah gubuk. Setelah sekitar empat puluh menit baku tembak, tiba-tiba terdengar erang kesakitan dari dalam gubuk, berkali-kali, lalu berhenti. Dan tak ada lagi salak senjata maut dari dalam gubuk. Karena yakin situasi telah terkendali, Clip memerintahkan anak buahnya menghentikan tembakan. Bukit itu pun kembali senyap. Tak ada suara. Tapi kini muncul ketegangan baru. Inilah saatnya para anggota pasukan harus masuk menyergap ke dalam gubuk, dengan segala risiko. Karena itu Komandan Clip tak mau gegabah. Ia memerintahkan anah buahnya kembali bersiaga di posisi masing-masing, menunggu pagi. Di kegelapan malam, gerakan menyergap memang merupakan spekulasi berbahaya. Siapa tahu musuh belum kiamat, justru memancing lawan masuk untuk pertempuran jarak pendek. Meski tembakan tak lagi datang dari arah gubuk, ketegangan tak serta-merta berakhir. ”Bagaimana tak tegang, suasana di lokasi pertempuran itu gelap gulita,” tutur seorang polisi yang ikut menyerbu, kepada TEMPO. ”Kami cemas, jangan-jangan anggota gerombolan pengacau itu tiba-tiba menyusup dan menyerang persembunyian kami,” ia menambahkan. Di sanalah mereka berjaga hingga pagi, dan tetap tak terdengar tembakan dari arah gubuk. Setelah hari kian terang, dengan tetap mengendap-endap, para anggota pasukan mulai menghampiri gubuk. Di samping gubuk tampak terbujur tiga anggota kawanan itu, kaku tak bernyawa. Beberapa luka menganga di bagian dada dan perut. Belakangan diketahui masing-masing bernama Ali Lasawedi alias Gendut Ama, 30 tahun, Ari alias Taufik alias Upik, 25 tahun, dan Salman alias Sadam alias Sahdan, 22 tahun. Ketika polisi menyisir wilayah selatan gubuk, tiga orang lainnya ditemukan terluka parah. Mereka adalah Abdul Hair, Hasyim, dan Ridwan. Ketiganya menyuruk di rimbunan semak, tak kuasa beranjak karena dihajar peluru para polisi di bagian kaki. Dari lokasi kejadian itu polisi juga menyita sejumlah senjata berbagai jenis, seperti M-16, dua pucuk jenis FN, dua pucuk jenis mouser, dan dua magazin berpeluru penuh. Pada 08.00 WIT hari itu, sebuah helikopter meraung-raung di atas bukit, lalu mendarat di sebidang lahan kosong tak jauh dari bukit itu. Mereka adalah bala bantuan dari Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara, yang dipimpin langsung oleh Direktur Reserse dan Kriminal, Komisaris Besar Tatang Sumantri. Ketika diinterogasi polisi, ketiga korban luka parah itu mengungkapkan, sembilan kawan mereka lolos dari pengepungan. Sebab, ketika berlangsung baku tembak, mereka sedang mandi di sungai yang tak jauh dari gubuk itu. Tatang Sumantri segera memerintahkan pasukannya memburu sisa kawanan itu. Dari lokasi itu juga Tatang memerintahkan Komandan Brimob, Ajun Komisaris Besar Polisi Adi Dharma, ikut menguber kawanan ini. Di lereng Bukit Mompane rombongan pemburu menemukan jejak kaki dan sisa makanan. Itulah yang membuat mereka makin semangat. Tapi kawanan itu tak kunjung terlihat. Menjelang senja, di kejauhan terlihat asap menjulang. Polisi mendekat. Ternyata asap itu berasal dari sebuah gubuk di ladang jagung. ”Kebetulan polisi berada di lereng, dan kebun itu di dataran rendah” kata Tatang Sumantri. Tapi, ketika didekati, tak ada orang di situ. Kepada TEMPO Tatang menuturkan, operasi pencarian kawanan ini amat dibantu oleh warga kampung sekitar. Penyerbuan di Bukit Mompane itu bermula dari informasi seorang ibu rumah tangga di kampung di kaki bukit itu. Kamis petang dua pekan lalu, rumah si ibu kedatangan dua pria yang memaksanya memberikan makanan. Tapi si ibu mengatakan tak punya makanan. Kedua pria muda itu lalu menyodorkan beberapa bungkus mi instan dan memaksa si ibu memasaknya. Tapi, ketika ia keluar dari dapur dan siap menyuguhkan mi yang sudah dimasak, kedua ”tamu” yang menunggu di beranda itu sudah raib. Perempuan itu melaporkan kejadian tersebut ke polisi, yang lalu menyusun pasukan mengejar dua pria misterius itu. Di ujung kampung, para polisi itu melihat dua pria yang mencurigakan di pinggir jalan. Ketika didekati, mereka malah kabur ke arah Bukit Mompane. Sore harinya, pasukan dikerahkan menyusuri bukit, lalu terjadilah pertempuran berdarah itu. Aparat menuding, gerombolan inilah yang melakukan aksi penyerangan di sejumlah tempat di Poso, sebulan belakangan ini. Tapi belum bisa dipastikan dari kelompok mana mereka berasal. Sumber intelijen di Jakarta menyebut kelompok ini terkait dengan Jamaah Islamiyah, organisasi yang disebut jaringan teroris oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tapi, ”Saya belum bisa menjawab. Semuanya masih kami selidiki,” kata Tatang Sumantri dengan nada berhati-hati. Wenseslaus Manggut (Jakarta), Darlis Muhammad dan Dedy Kurniawan (Poso)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus