Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mereka 'Gagu' Bercakap Melayu

Jemaat muda Indonesia di Australia gagap berbahasa ibunya. Ke gereja berbahasa Indonesia sebagai "bagian dari gaya hidup".

26 April 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG anak muda memasuki ruang Caufield Indonesian Uniting Church di Caufield North, Melbourne. Tampangnya tampan, dandanannya mutakhir, tapi lagaknya cuek. Dalam acara santap siang, perhatiannya sempat singgah ke aneka makanan yang terhidang. Dan belum lagi santap siang selesai, dia mendatangi ayahnya, meminjam kunci mobil….

Lo, bukankah sebentar lagi acara diskusi Alkitab dengan Haskar Pasang segera dimulai? Tapi apa peduli? Ternyata anak itu tak lagi akrab dengan komunitas orang tuanya, para perantau yang masih terikat dengan tanah kelahirannya, Indonesia. Dia merasa terasing. "I understand them, just not speaking," ujar pemuda berusia 21 tahun itu.

Dalam perayaan Paskah yang diadakan Badan Kerja Sama Umat Kristiani Indonesia di Brunswick, Victoria, dua pekan silam, Pendeta Barnabas Sudirgo Ong memberikan ceramah. Di sana, hadir pula pemuda yang sama. Untuk membumbui ceramahnya, Barnabas menceritakan pengalamannya ditelepon seorang anak muda pada suatu tengah malam, yang mengancam akan bunuh diri. Barnabas menjawab, "Mau bunuh diri? Silakan saja." Pagi esoknya, ia menelepon anak muda tersebut dan merasa lega mendapat jawaban dari si anak muda. "Terima kasih, Tuhan, ia tidak bunuh diri," Barnabas bersyukur dalam hati. "Karena, kalau bunuh diri itu benar-benar dilakukannya, saya akan merasa bersalah," ujarnya. Sementara hadirin yang lain tertawa riuh, si pemuda diam saja. Anak ini tak sepenuhnya tahu apa yang mereka tertawai.

Pemuda itu bernama Candra Kapa, anak Sely Kapa, ketua majelis Caufield Indonesian Uniting Church. Ia mengaku dapat mengerti apa yang dicakapkan para orang tua itu tapi tak mampu menangkap rasa bahasa dan humor yang terkandung dalam pembicaraan mereka. Komunikasi dengan mereka dalam bahasa Indonesia tak begitu nyambung.

Candra hanyalah salah satu dari puluhan atau mungkin ratusan anak Indonesia yang dapat disebut sebagai generasi kedua dari sebuah komunitas perantau. Mereka lahir atau tumbuh besar di Australia dan hanya bercas-cis-cus dalam bahasa Inggris. Kata-kata Indonesia sudah tak terucap lagi—seperti orang gagu: terasa tapi tak tersampaikan. Adik Candra juga demikian. Begitu pula Michelle Stella Pangemanan dan Vincent Pangemanan di Brunswick Indonesian Uniting Church dan St. Andrew's Brunswick Uniting Church. Michelle mengaku memahami 60-70 persen ceramah berbahasa Indonesia pendeta—tapi, ya itu tadi: "gagu".

"Tantangan utama gereja adalah second generation dan perkawinan campuran," kata Pendeta Apwee Ting, Ketua Badan Kerja Sama Umat Kristiani Indonesia di Melbourne. Begitu pula menurut Cely Goeltom, sekretaris Caufield Indonesian Uniting Church. Ada masalah tambahan: kultur bergereja Indonesia yang menempatkan pendeta seperti pemegang kuasa firman Tuhan. Pendeta berkhotbah dan jemaat cuma mendengarkan. Akibatnya, cukup banyak anak muda yang mulai tak puas dan meninggalkan gereja Indonesia. "Mereka tak bisa berdebat dengan pendeta," kata Pendeta Apwee Ting.

Di Negeri Kanguru, kebanyakan dari mereka ini adalah generasi multikultural. "Teman-teman sehari-hari saya adalah orang Australia," ujar Vincent—teman di sekolah, teman bergaul, dan teman ber-dugem ria. Demikian pula Michelle. Meski ada beberapa anak Indonesia di kelas yang sama, katanya, "Saya tidak begitu dekat dengan mereka." Kalaupun mereka bertemu di gereja dengan sesama anak Indonesia, tak ada kebutuhan batin untuk bergaul akrab—berbeda dengan orang tua mereka. Apalagi tempat tinggal mereka biasanya berjauhan dan tersebar di pinggiran Melbourne. Ada yang tinggal di kawasan Epping seperti keluarga Pangemanan. Yang lainnya berumah di kawasan Caufield atau Box Hill. Kalau mereka ingin berkunjung satu sama lain, dibutuhkan dua jam perjalanan dengan trem atau sekitar satu jam dengan mobil pribadi.

Di gereja pun mereka tak berusaha memperlancar bahasa ibu dengan teman seasal. Sebab, yang "gagu" berbahasa Indonesia biasanya akan bergabung dengan sesama "gagu" atau duduk menyendiri dengan orang tuanya. Candra, anggota jemaat Caufield, misalnya, akan langsung menclok di dekat Vincent, anggota jemaat Brunswick. Sedangkan Michelle duduk manis di sebelah bundanya, Emma Pangemanan.

Di rumah pun mereka tak ber-"cakap Melayu" dengan sempurna. "Ibu saya selalu berbahasa Indonesia dengan saya," ujar Michelle, "tapi saya selalu ngomong bahasa Inggris." Demikian pula Candra. Bahkan kadang ibunya, Annie Kapa, juga berbahasa Inggris dengan dia, terutama di luar rumah.

Lalu kenapa mereka datang juga ke gereja berbahasa Indonesia? "Untuk menghormati orang tua," ujar Candra sambil memandang ibunya. Sementara itu, bagi Michelle, mahasiswa 20 tahun, "Going to the church is part of my lifestyle."

Itu khas jawaban pribadi-pribadi "yang terbelah". Tapi bagaimana agar kehadiran mereka di gereja ada manfaatnya? "Kami akan melakukan penerjemahan dalam kebaktian," ujar Cely Goeltom. "Kami mengadakan diskusi Injil dalam bahasa Inggris sebulan sekali," kata Yohan Irving Luntungan, pengurus seksi pemuda sebuah gereja Indonesia di Brunswick.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus